“Nggak! Nggak mungkin!! Lepasin gue! Ini pasti salah paham! Ada yang jebak gue! Bukti kalian pasti cuma rekayasa ‘kan?! Lepasin gue!” sergah Adhisti kini dengan kuat ia menepis kedua tangannya yang dicekal kuat oleh dua polisi wanita itu.
Karena kekuatannya yang cukup keras dan mendadak, akhirnya Adhisti bisa meloloskan diri dari cengkeraman tangan dua polisi wanita itu. Tanpa menunggu hal lainnya, Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke arah Rafa yang tampak diam bagai patung di sebelah Rio yang tampak kesusahan bangkit.
“Bang, mereka mau bawa Chaaya ke kantor polisi! Kenapa lo diem aja?! Cegah dong, Bang! Lo mau liat adek lo di penjara, hah!?” sergah Adhisti seraya terus menggerak-gerakkan bahu kanan dan kiri Rafa dengan kedua tangannya.
“Nona Adhisti, sebaiknya anda menurut saja. Penolakan hanya membuat tuntutan anda semakin besar!” celetuk Abbiyya.
“Tuntutan apa hah?! Tuntutan apa yang lo bilang?! Gue nggak salah!” Mata Adhisti tampak melotot seolah hendak keluar dari tempatnya berada. Tubuhnya mulai menjadi licin akibat keringat yang mengucur. Gadis itu kembali menoleh ke arah sang kakak yang memandangnya kecewa.
“Bang, jangan diem aja, dong! Semalen abang bilang mau jagain Chaaya! Sekarang kenapa lo diem aja?! Mereka udah nuduh gue jadi pelaku pembunuhan, Bang!” Adhisti terus memegang kedua tangan Rafa berharap sang kakak segera memberikan respons yang sesuai harapan.
Namun, semua itu hanya angan semu. Rafa malah tampak melepaskan cengkeraman tangan Adhisti pada lengan tangannya dengan tatapan kosong menunjam mata Adhisti.
“Lepas, Chaay! Ikut mereka!” putus Rada langsung membuat Adhisti dan Rio yang masih meringis kesakitan kebingungan bukan main.
“Hh? Apa lo bilang? Lo lepasin gue buat ikut mereka?! Bang, lo gila?! Gue adek lo, Bang! Lo percaya sama tuduhan mereka dibanding percaya sama gue adek lo sendiri?!” sergah Adhisti.
“Gimana gue bisa percaya sama orang yang nyembunyiin hal besar dari gue, Chaay? Lo tutupin fakta itu dari gue, dan sekarang saat semuanya kebongkar, lo minta gue percaya sama lo? Gimana bisa? Gue kecewa sama lo, Chaay!” tutur Rafa lirih namun dengan nada ketus yang mencekik ludah Adhisti.
Dengan raut yang masih terkejut, akhirnya kedua polisi wanita itu kembali mencekal kedua tangan Adhisti dan langsung memborgolnya.
“Ayo ikut! Jelaskan semua pembelaanmu di kantor polisi saja!” sergah salah seorang polisi wanita sembari langsung mengajak Adhisti pergi dari sana.
“Gue kecewa sama lo, Bang! Tega lo lakuin ini sama gue!” bisik Adhisti sebelum akhirnya turut menurut pada dua polisi wanita yang membawanya keluar.
“Anda bisa mengunjungi adik anda di kantor polisi. Segera bawa kawan anda ke rumah sakit dan jika ingin membawa kasus ini ke ranah hukum, kami akan membantu,” tutur Abbiyya pada Rafa sebelum akhirnya ia turut pergi menyusul Adhisti.
Suara gemuruh para penghuni apartemen yang lain semakin membuat emosi Adhisti meluap. Segala umpatan dan ucapan syukur atas penangkapan Adhisti seolah menjadi backsound mengerikan proses penahanannya itu.
“Akhirnya pelakunya tertangkap juga!”
“Jangan sampai dia kabur Pak! Nanti dia bisa bunuh penghuni apartemen kami!” pekik salah seorang tetangga.
Singkat cerita, akhirnya kini Adhisti duduk di sebuah ruangan interogasi dengan kursi besi keras yang jauh dari kata nyaman dibandingkan sofa di unit apartemen bututnya. Abbiyya yang ada di hadapannya kini sedang mengamati sebuah map berisi resume kasus yang sedang ia tangani itu.
Sementara Adhisti tampak menunduk dan melamun, Abbiyya memutar map itu hingga menghadap Adhisti.
“Nona Adhisti, sesi ini akan segera dimulai. Jadi kami harap anda bisa fokus menjawab.” Perkataan Abbiyya itu langsung membuat Adhisti mengangkat kepalanya namun dengan tatapan yang nyalang dan tajam.
“Puas lo!? Puas lo bikin gue dibenci sama semua orang termasuk abang gue sendiri?! Puas lo bikin gue jadi tersangka atas apa yang nggak pernah gue lakuin?! Puas lo Abbiyya hah?!” sergah Adhisti dengan nada tinggi dan volume yang tak ada lirih-lirihnya.
“Jaga nada bicara anda, Nona Adhisti! Anda tahu sekarang dengan siapa anda berbicara bukan? Jadi tolong hargai posisi kami di sini!” sergah Abbiyya.
“Anjing!!” umpat Adhisti seolah tak menganggap serius ancaman Abbiyya barusan.
“Jika anda tak bisa bersikap baik, saya tak akan lagi menjaga rahasia anda yang belum semua tim kepolisian tahu, Nona! Semua rahasia dan kartu AS anda saya pegang. Jadi, ikuti semua proses ini dengan baik, atau saya bongkar semua rahasia anda.” Abbiyya kini ganti menatap Adhisti dengan tatapan gelapnya.
Pria itu mulai menatap Adhisti dengan tatapan intimidasi seolah memang mengetahui semua rahasia besar yang gadis itu miliki.
“Rahasia apa?! Lo nggak tahu apa pun tentang gue!” sergah Adhisti berusaha menjaga gelagatnya agar tak semakin dinilai aneh.
“Tugas saya di sini menyelesaikan masalah penemuan mayat di balik plafon kamar anda, Nona Adhisti. Bukan membahas rahasia besar anda selama ini. Jadi ikuti saja alur ini, dan semua rahasia anda akan aman. So, kita mulai sesi ini ya, Nona Adhisti!” pekik Abbiyya lalu mengetuk map di mana sebuah foto seorang wanita ada di sana.
“Kau mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya sedikit melirik ke arah Adhisti.
“Gak!” sergah Adhisti.
“Jangan membohongi saya, Nona! Saya tahu semua rahasia anda. Katakan yang sebenarnya. Anda kenal bukan dengan wanita ini? Motivasi anda sangat besar untuk menghabisinya dengan brutal!” pekik Abbiyya.
“Apa maksud lo!?”
“Persaingan bisnis dunia gelap perfilman digital! Guntur Corporation!” Seringai lolos dari bibir Abbiyya. Sementara Adhisti tampak amat terkejut mendengar Abbiyya mengetahui fakta gelap tentangnya.
“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta m
“Kenapa anda diam, Nona Adhisti? Amda terkejut bagaimana saya dan tim saya bisa menemukan beda ini padahal anda telah menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia di kamar anda?” tutur Abbiyya semakin membuat degup jantung Adhisti berpacu kencang.“Itu bukan punya gue! Itu mungkin punya pelaku yang sengaja ditaruh di sana buat jebak gue! Pokoknya itu bukan punya gue!” sergah Adhisti usai menolehkan wajahnya menghadap Abbiyya yang memandangnya sambil berdiri.“Jangan berbohong, Nona! Semakin anda berbohong, semakin kami mencurigai anda. Kami telah mengetahui semua jawabannya. Jadi jika anda berbohong, itu tak akan menyelamatkan anda dari hukuman melainkan semakin menjatuhkan anda!” terang Abbiyya lalu kembali duduk di kursi yang ada di hadapan Adhisti.Tangan pria itu membalik peti kayu ke arah lain. Sebuah ukiran amatir yang diduga diukir dengan sebuah cutter berkarat hadir di sana.“Bukankah Chaaya adalah nama anda, Nona? Ini adalah milik anda. Bahkan nota pembeliannya ada di dalam sana
Abbiyya berjalan menyusuri koridor Apartemen Bumi Tua 1996 yang sepi seraya menutup resleting jaket dinasnya yang berwarna hitam itu. Pria itu berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kaki kananya memijak lantai yang beberapa saat lalu ia datangi. Lantai tujuh. “Selamat sore!” pekik Abbiyya sementara tangannya sekali mengetuk pintu apartemen kayu bernomor 702 tersebut. Pintu itu sedikit menampakkan celah tanda sang penyewa apartemen tak menutupnya dengan benar. Saat tangan Abbiyya hendak kembali mengetuk, sedikit suara ia dengar dari dalam sana. “Lo kenapa nggak jenguk Adhisti, Raf! Kasihan dia di sana pasti ketakutan! Lo satu-satunya keluarga yang dia punya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain lo, lo tega biarin dia?” Suara Rio dengan cepat mampu dikenali oleh Abbiyya. “Gue juga khawatir sama dia, Ri! Cuma gimana lagi? Polisi nemuin pisau dengan noda darah korban dan sidik jari Chaaya di sana. Selama ini gue nggak pernah tahu Chaaya punya benda itu. Dan sekarang gue tahu denga
“Space room? Apa maksud anda dengan space room yang menghubungkan lantai satu dengan lantai lainnya?” tanya Abbiyya kini dahinya berkerut sementara matanya memandang ke arah Adhisti “Hh!” Adhisti mendengus dan kini merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Gue pikir lo dan tim lo hebat! Ternyata nggak sehebat itu, yah! Hal kaya gini aja lo nggak tahu! Dan lo? Malah menangkap gue?! Emang dunia ini aneh! Korban dijadikan pelaku, pelaku dijadikan korban. Miris!!” sergah Adhisti. “Jika anda tahu sesuatu mengenai kasus ini, semestinya anda beri tahu kepada tim kami. Mungkin saja ini dapat membantu merujuk pada pelaku lain jika memang anda tidak bersalah, Nona!” Abbiyya mulai berharap-harap cemas berharap Adhisti hendak mengatakan apa yang ia ketahui tentang space room itu. “Untuk apa?! Palingan setelah gue kasih tahu kalian semua akan malah semakin nuduh gue! Bukan begitu Abbiyya?!” sergah Adhisti. Baru saja mulut Abbiyya tampak hendak terbuka lagi, seorang petugas datang menghampiri
Abbiyya tampak sibuk dengan semua berkas yang ada mejanya, semua laporan kasus yang menimpa Adhisti di kamar apartemennya secara seketika membuat mejanya penuh dengan file laporan yang memang ia minta semalam. Tok! Tok! Tok! Seorang petugas tiba-tiba mengetuk ruang kerja Abbiyya dengan pelan, namun mata tajam Abbiyya langsung mengarah ke arah pintu dan mempersilakan pria itu masuk. “Ada kabar apa? Kalian telah membawa laporan yang saya minta semalam?” Abbiyya seorang yang tak menyukai basa-basi selalu menjalankan misinya dengan lantang. Ia akan cenderung terlihat galak dengan semua pertanyaannya yang tanpa pembuka itu. “Sudah, Pak! Berikut adalah laporan yang kami dapatkan dari pengurus apartemen mengenai selentingan berita space room tersebut!” pekik sang petugas lalu menyodorkan sebuah map sambil sedikit membungkuk. Abbiyya segera meraih map itu dan membukanya di tempat. Matanya langsung dengan tajam membaca deretan tulisan itu dengan teknik membaca cepat yang ia kuasai. “Pengu
“Apa?! Membebaskannya?! Apa kau sudah kehilangan akal pikiranmu, Abbiyya?!” Anas tampak mengamuk bahkan ia hingga bangkit dari kursi singgasananya. Pria itu menatap tajam Abbiyya yang kini hanya menatap meja kerja Anas. “Baiklah! Saya tahu anda adalah personil terbaik kami dan anda tak akan memberikan ide buruk untuk kasus yang bukan permainan ini. Jadi apa alasan anda, Abbiyya?” tutur Anas tampak berusaha meredam emosinya itu dengan baik. “Saya rasa ada banyak kejanggalan, Pak! Penangkapan Adhisti sebenarnya bukan kunci selesainya masalah ini. Saya merasa dia hanya kambing hitam bagi sang pelaku. Banyak kemungkinan lain yang mungkin bisa kita curigai,” papar Abbiyya kini sedikit mendongak melihat ke arah Anas. “Kemungkinan apa? Kemungkinan yang mana?” Anas kembali mendudukkan dirinya ke kursi kerja miliknya lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja tersebut. “Adhisti mengatakan jika apartemen yang ia tinggali itu memiliki space room yang mengarah kepada dengan lantai yang ber
“Hey, Abbi!” pekik Ganendra salah satu kawan satu pekerjaan dengan Abbiyya yang tiba-tiba muncul dari pintu ruangan Abbiyya. Dengan cepat Abbiyya menyelipkan foto itu kembali ke salah satu notesnya dan segera menutup lacinya rapat saat Ganendra semakin mendekatinya. “Sembunyiin apaan? Perasaan selalu ngunci rapat laci?” tutur Ganendra lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerja Abbiyya. “Adalah, bukan urusan lo juga! Kenapa tiba-tiba manggil gitu? Ada info baru? Atau mau diskusi soal kasus yang lagi lo tangani?” tanya Abbiyya. Ganendra dan Abbiyya merupakan kawan satu angkatan saat masa pendidikan, tak heran jika keduanya terlihat sangat akrab dan berbahasa gaul saat saling berbicara satu sama lain di luar tugas mereka. “Bukan! Lagi nggak ada yang mau didiskusikan! Cuma ada yang mau gue tanyain!” pekik Ganendra kini menyandarkan punggungnya ke kursi yang kala itu ia duduki. “Apa?” Abbiyya meraih kulkas mini yang ada di belakang meja kerjanya lalu mengambil dua
Keesokan harinya, tepatnya pukul 9 pagi, Abbiyya tampak berjalan mendekati sel tahanan Adhisti namun sedikit berbelok ke arah meja penjagaan. Pria itu memberikan selembar surat lampiran dan tak lama usai membacanya, sang petugas langsung berjalan ke arah sel Adhisti dengan satu gebok kunci. Suara gembok yang gemeletak langsung membuat Adhisti tersadar dari lamunannya yang sedikit membawanya pada alam bawah sadar alias ketiduran. Ia segera mendongakkan kepalanya dan mengedip-kedipkan matanya untuk mengetahui siapa yang baru saja membuat suara berisik hingga mengganggu waktu istirahat paginya itu. “Nona Chaaya Adhisti Pramagya, hari ini status anda diturunkan menjadi tahanan kota. Anda diperbolehkan kembali ke kediaman anda!” pekik sang petugas yang membukakan pintu sel. Wajah Adhisti yang kala itu sedang memfokuskan cahaya, kini malah semakin berkerut saat mendengar penuturan sang petugas. Adhisti segera bangkit lalu menghampiri petugas itu di ambang pintu jeruji yang selama dua mal