Share

6. Tertangkapnya sang Pembunuh

“Nggak! Nggak mungkin!! Lepasin gue! Ini pasti salah paham! Ada yang jebak gue! Bukti kalian pasti cuma rekayasa ‘kan?! Lepasin gue!” sergah Adhisti kini dengan kuat ia menepis kedua tangannya yang dicekal kuat oleh dua polisi wanita itu.

Karena kekuatannya yang cukup keras dan mendadak, akhirnya Adhisti bisa meloloskan diri dari cengkeraman tangan dua polisi wanita itu. Tanpa menunggu hal lainnya, Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke arah Rafa yang tampak diam bagai patung di sebelah Rio yang tampak kesusahan bangkit.

“Bang, mereka mau bawa Chaaya ke kantor polisi! Kenapa lo diem aja?! Cegah dong, Bang! Lo mau liat adek lo di penjara, hah!?” sergah Adhisti seraya terus menggerak-gerakkan bahu kanan dan kiri Rafa dengan kedua tangannya.

“Nona Adhisti, sebaiknya anda menurut saja. Penolakan hanya membuat tuntutan anda semakin besar!” celetuk Abbiyya.

“Tuntutan apa hah?! Tuntutan apa yang lo bilang?! Gue nggak salah!” Mata Adhisti tampak melotot seolah hendak keluar dari tempatnya berada. Tubuhnya mulai menjadi licin akibat keringat yang mengucur. Gadis itu kembali menoleh ke arah sang kakak yang memandangnya kecewa.

“Bang, jangan diem aja, dong! Semalen abang bilang mau jagain Chaaya! Sekarang kenapa lo diem aja?! Mereka udah nuduh gue jadi pelaku pembunuhan, Bang!” Adhisti terus memegang kedua tangan Rafa berharap sang kakak segera memberikan respons yang sesuai harapan.

Namun, semua itu hanya angan semu. Rafa malah tampak melepaskan cengkeraman tangan Adhisti pada lengan tangannya dengan tatapan kosong menunjam mata Adhisti.

“Lepas, Chaay! Ikut mereka!” putus Rada langsung membuat Adhisti dan Rio yang masih meringis kesakitan kebingungan bukan main.

“Hh? Apa lo bilang? Lo lepasin gue buat ikut mereka?! Bang, lo gila?! Gue adek lo, Bang! Lo percaya sama tuduhan mereka dibanding percaya sama gue adek lo sendiri?!” sergah Adhisti.

“Gimana gue bisa percaya sama orang yang nyembunyiin hal besar dari gue, Chaay? Lo tutupin fakta itu dari gue, dan sekarang saat semuanya kebongkar, lo minta gue percaya sama lo? Gimana bisa? Gue kecewa sama lo, Chaay!” tutur Rafa lirih namun dengan nada ketus yang mencekik ludah Adhisti.

Dengan raut yang masih terkejut, akhirnya kedua polisi wanita itu kembali mencekal kedua tangan Adhisti dan langsung memborgolnya.

“Ayo ikut! Jelaskan semua pembelaanmu di kantor polisi saja!” sergah salah seorang polisi wanita sembari langsung mengajak Adhisti pergi dari sana.

“Gue kecewa sama lo, Bang! Tega lo lakuin ini sama gue!” bisik Adhisti sebelum akhirnya turut menurut pada dua polisi wanita yang membawanya keluar.

“Anda bisa mengunjungi adik anda di kantor polisi. Segera bawa kawan anda ke rumah sakit dan jika ingin membawa kasus ini ke ranah hukum, kami akan membantu,” tutur Abbiyya pada Rafa sebelum akhirnya ia turut pergi menyusul Adhisti.

Suara gemuruh para penghuni apartemen yang lain semakin membuat emosi Adhisti meluap. Segala umpatan dan ucapan syukur atas penangkapan Adhisti seolah menjadi backsound mengerikan proses penahanannya itu.

“Akhirnya pelakunya tertangkap juga!”

“Jangan sampai dia kabur Pak! Nanti dia bisa bunuh penghuni apartemen kami!” pekik salah seorang tetangga.

Singkat cerita, akhirnya kini Adhisti duduk di sebuah ruangan interogasi dengan kursi besi keras yang jauh dari kata nyaman dibandingkan sofa di unit apartemen bututnya. Abbiyya yang ada di hadapannya kini sedang mengamati sebuah map berisi resume kasus yang sedang ia tangani itu.

Sementara Adhisti tampak menunduk dan melamun, Abbiyya memutar map itu hingga menghadap Adhisti.

“Nona Adhisti, sesi ini akan segera dimulai. Jadi kami harap anda bisa fokus menjawab.” Perkataan Abbiyya itu langsung membuat Adhisti mengangkat kepalanya namun dengan tatapan yang nyalang dan tajam.

“Puas lo!? Puas lo bikin gue dibenci sama semua orang termasuk abang gue sendiri?! Puas lo bikin gue jadi tersangka atas apa yang nggak pernah gue lakuin?! Puas lo Abbiyya hah?!” sergah Adhisti dengan nada tinggi dan volume yang tak ada lirih-lirihnya.

“Jaga nada bicara anda, Nona Adhisti! Anda tahu sekarang dengan siapa anda berbicara bukan? Jadi tolong hargai posisi kami di sini!” sergah Abbiyya.

“Anjing!!” umpat Adhisti seolah tak menganggap serius ancaman Abbiyya barusan.

“Jika anda tak bisa bersikap baik, saya tak akan lagi menjaga rahasia anda yang belum semua tim kepolisian tahu, Nona! Semua rahasia dan kartu AS anda saya pegang. Jadi, ikuti semua proses ini dengan baik, atau saya bongkar semua rahasia anda.” Abbiyya kini ganti menatap Adhisti dengan tatapan gelapnya.

Pria itu mulai menatap Adhisti dengan tatapan intimidasi seolah memang mengetahui semua rahasia besar yang gadis itu miliki.

“Rahasia apa?! Lo nggak tahu apa pun tentang gue!” sergah Adhisti berusaha menjaga gelagatnya agar tak semakin dinilai aneh.

“Tugas saya di sini menyelesaikan masalah penemuan mayat di balik plafon kamar anda, Nona Adhisti. Bukan membahas rahasia besar anda selama ini. Jadi ikuti saja alur ini, dan semua rahasia anda akan aman. So, kita mulai sesi ini ya, Nona Adhisti!” pekik Abbiyya lalu mengetuk map di mana sebuah foto seorang wanita ada di sana.

“Kau mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya sedikit melirik ke arah Adhisti.

“Gak!” sergah Adhisti.

“Jangan membohongi saya, Nona! Saya tahu semua rahasia anda. Katakan yang sebenarnya. Anda kenal bukan dengan wanita ini? Motivasi anda sangat besar untuk menghabisinya dengan brutal!” pekik Abbiyya.

“Apa maksud lo!?”

“Persaingan bisnis dunia gelap perfilman digital! Guntur Corporation!” Seringai lolos dari bibir Abbiyya. Sementara Adhisti tampak amat terkejut mendengar Abbiyya mengetahui fakta gelap tentangnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ros Melia
apa rafa ngak bisa jd alibi chaya kan rafa satu apartemen kakak adik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status