“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Aaa!! Bang Rafa!! Ada belatung!!” teriak Adhisti gadis yang kala itu tengah asik berbaring di ranjang kamarnya sambil mengutak-atik benda pipih bercasing coklat itu. “Bang Rafa!!” Kini dengan cepat ia melompat dari singgasana ternyamannya itu lalu menatap ngeri ke kasur juga selimut yang tergeletak sembarangan.Puluhan hewan kecil putih cenderung cream tampak menggeliat di atas seprai putih bercorak kotak milik Adhisti. Napas gadis itu langsung terengah-engah saat melihat ranjangnya menjadi tempat puluhan belatung berwisata.“Bang Rafa sialan!! Lo budeg ya?!” sergah Adhisti sembari langsung menukikkan badannya ke kiri dan berlari ke arah luar kamarnya. Namun di saat yang bersamaan rupanya Rafa tengah berlari ke arah kamar Adhisti. Alhasil keduanya mengalami benturan.“Bego banget, sih! Bisa jalan pake mata gak sih lo?!” sergah Rafa sambil mencekal kedua bahu adiknya itu.“Lo yang bego, Bang! Dari tadi gue manggil kenapa baru muncul sekarang?! Kalau gue lagi disekap pembunuh udah mat
Dengan cepat Adhisti menarik ponselnya dari telinga dan memasukkannya ke saku kembali. Wajahnya langsung meringis saat melihat seorang lelaki jangkung dengan kaos yang sedikit oversize di berdiri di ujung tangga bawah “Bang Rio? Kok di sini? Sudah tutup ya, Bang? Tokonya? Ehm, anu!” pekik Adhisti langsung menuruni tangga dan menghampiri lelaki tinggi bernama Rio itu.Adhisti langsung mencekal pergelangan tangan kiri Rio dan menariknya menuju arah yang berlawanan.“Kok sudah di sini sih, Bang?! Baru aja Adhis mau ke kios Abang! Tolong bukain lagi ya, Bang! Ini urgent banget! Please!” bujuk Adhisti lagi-lagi menggunakan trik yang sama dengan yang ia tunjukan pada Rafa beberapa menit lalu.“Mau beli apa?” tanya Rio menatap Adhisti dengan penuh curiga. Matanya benar-benar menyipit dan membuat Adhisti sebentar merasa terintimidasi. “Anu, mau beli lakban sama pengharum ruangan!” pekik Adhisti berusaha meyakinkan mungkin.Sambil membuka lagi tautan gembok pada kiosnya dan mengerek rolling
Malam itu Adhisti benar-benar kekeh dengan permintaannya untuk tidur bersama Rafa dan saat itu juga Rafa tak bisa lagi menahan semua keluhan serta rengekan Adhisti. Setelah membuka tiga buah pengharum ruangan di kamar Adhisti, gadis itu menenteng bantal dan ponselnya ke kamar Rafa lalu langsung berbaring di sebelah sang kakak lalu memeluknya erat. Rafa tak bisa berkutik, cowok itu hanya bisa terdiam menatap atap dengan napas yang sedikit ia tahan hingga Adhisti tampak tertidur pulas. “Dasar dari kecil tiap mau tidur sama gue ngeyel mulu nggak bisa dibantah! Andai saja dia tahu kenyataannya, gue yakin dia nggak bakal lakuin hal termasuk peluk gue kaya gini!” gumam Rafa sebelum akhirnya memindah dekapan Adhisti dan beranjak dari ranjangnya. Malam itu, ia membiarkan Adhisti menguasai kamarnya dan ia tidur di sofa. Ia tak ingin sesuatu terjadi malam itu antara dirinya dan Adhisti. Sejak kematian kedua orang tuanya, hal itu yang selalu dilakukan Rafa setiap Adhisti merengek ingin tidu
“Chaay! Lo kenapa, sih!? Kenapa malah marah-marah?! Ini kasus kriminal, Chaay! Kita nggak tahu siapa dia dan apa yang terjadi sama dia, lo mau disalahkan kalau biarin ini?!” sergah Rafa mengamuk.“Bang, kalau kalian manggil polisi ke mari, abang mau liat aku dibawa sama mereka?! Abang mau aku dipenjara, hah?!” sergah Adhisti kini melepaskan dirinya dari rangkulan Rafa yang membantunya berjalan.“Dhis, lo ngomong apaan, sih? Kenapa lo jadi seolah nutupin masalah ini?! Jangan bilang lo ada hubungannya sama kasus ini?! Lo yang bunuh orang itu dan letakin jasadnya di balik plafon rumah lo sendiri?!” sergah Rio menyela.“Jaga omongan lo ya, Bang Rio! Lo itu nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!! Mending balik aja sana ke unit lo! Nggak usah turut campur sama masalah gue dan keluarga gue!” sergah Adhisti menatap nyalang ke arah Rio.“Raf, gue rasa ada yang nggak beres sama adek lo ini! Ngapain dia ngelarang kita lapor ke polisi kalau dia aja nggak tahu apa-apa?! Kenapa dia ketakutan s
“Kalau begitu, usai pemeriksaan yang ada di sini selesai, bantu Ganendra terlebih pada gadis itu. Laksanakan dua kali pemeriksaan pun tak apa.” Anas menginstruksi. Dengan patuh Abbiyya hanya mengangguk lanjut mengecek beberapa hal di kamar Adhisti itu. Saat Abbiyya telah selesai dengan pemeriksaannya, ia pergi keluar dari kamar Adhisti dan berjalan menuju ruang tamu tempat Ganendra tengah mewawancarai Rio dan Rafa bergantian.“Anda, Nona Chaaya Adhisti, silakan ikut saya untuk pemeriksaan di ruangan lain!” titah Abbiyya dengan porsi tubuh tegap yang memesona. “Gue? Kenapa? Katanya sama petugas yang ini? Kenapa malah jadi lempar tangan gini?” sergah Adhisti malah tampak lebih galak dibandingkan Abbiyya.“Heh, Chaay! Jangan ngaco! Gak liat lagi ngomong sama siapa?! Sudah buruan ikut aja!” sergah Rafa sambil menepuk lengan tangan Adhisti.Dengan perasaan yang tak ramah dan hentakan di mana-mana, akhirnya Adhisti bangkit dari sofa dan berjalan mengikuti Abbiyya ke ruang makan unit terse
“Nggak! Nggak mungkin!! Lepasin gue! Ini pasti salah paham! Ada yang jebak gue! Bukti kalian pasti cuma rekayasa ‘kan?! Lepasin gue!” sergah Adhisti kini dengan kuat ia menepis kedua tangannya yang dicekal kuat oleh dua polisi wanita itu.Karena kekuatannya yang cukup keras dan mendadak, akhirnya Adhisti bisa meloloskan diri dari cengkeraman tangan dua polisi wanita itu. Tanpa menunggu hal lainnya, Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke arah Rafa yang tampak diam bagai patung di sebelah Rio yang tampak kesusahan bangkit.“Bang, mereka mau bawa Chaaya ke kantor polisi! Kenapa lo diem aja?! Cegah dong, Bang! Lo mau liat adek lo di penjara, hah!?” sergah Adhisti seraya terus menggerak-gerakkan bahu kanan dan kiri Rafa dengan kedua tangannya.“Nona Adhisti, sebaiknya anda menurut saja. Penolakan hanya membuat tuntutan anda semakin besar!” celetuk Abbiyya.“Tuntutan apa hah?! Tuntutan apa yang lo bilang?! Gue nggak salah!” Mata Adhisti tampak melotot seolah hendak keluar dari tempatnya
“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta m