Share

Mayat di Balik Plafon
Mayat di Balik Plafon
Author: Annisarz

1. Belatung Tak Diundang

“Aaa!! Bang Rafa!! Ada belatung!!” teriak Adhisti gadis yang kala itu tengah asik berbaring di ranjang kamarnya sambil mengutak-atik benda pipih bercasing coklat itu. 

“Bang Rafa!!” Kini dengan cepat ia melompat dari singgasana ternyamannya itu lalu menatap ngeri ke kasur juga selimut yang tergeletak sembarangan.

Puluhan hewan kecil putih cenderung cream tampak menggeliat di atas seprai putih bercorak kotak milik Adhisti. Napas gadis itu langsung terengah-engah saat melihat ranjangnya menjadi tempat puluhan belatung berwisata.

“Bang Rafa sialan!! Lo budeg ya?!” sergah Adhisti sembari langsung menukikkan badannya ke kiri dan berlari ke arah luar kamarnya. Namun di saat yang bersamaan rupanya Rafa tengah berlari ke arah kamar Adhisti. Alhasil keduanya mengalami benturan.

“Bego banget, sih! Bisa jalan pake mata gak sih lo?!” sergah Rafa sambil mencekal kedua bahu adiknya itu.

“Lo yang bego, Bang! Dari tadi gue manggil kenapa baru muncul sekarang?! Kalau gue lagi disekap pembunuh udah mati duluan gue! Mau lo dihantuin arwah abah gegara gagal jaga anak perempuan semata wayangnya?!” omel Adhisti malah tampak lebih berapi-api dibanding Rafa.

Bukannya segera membalas omelan sang adik, Rafa malah tampak mengibaskan kedua tangannya di depan hidung sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Adhisti.

“Heh, lo nyimpen bangkai tikus atau kucing di sini?! Kamar lo busuk banget, Chaay!” sergah Rafa langsung menatap tajam ke arah Adhisti.

“Cih! Ngapain gue nyimpen bangkai, Bang! Ngaco lo! Yang ada, mereka yang sengaja mati di kamar gue dan bikin bau busuk kaya gini! Lo liat tuh kasur gue! Penuh belatung!” sergah Adhisti alias Chaaya sambil menunjuk ke arah ranjangnya.

“Belatung?!” Rafa langsung berjalan mendekat ke arah ranjang Adhisti. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat hewan-hewan kecil itu menggeliat.

“Chaay! Gila lo! Lo tidur sama hewan kaya gini?! Manusia apa mayat hidup sih lo?! Nggak bisa apa berteman sama hewan yang wajar aja?!” Rafa langsung menyingkap selimut tebal Adhisti dan mengibaskannya ke sisi lain kamar.

Tak tunggu aba-aba lain, seluruh belatung yang ada di atas selimut itu langsung berjatuhan ke lantai. Dan seperti yang keduanya lihat, kini jumlahnya malah bertambah dua kali lebih banyak saat berjatuhan di lantai berwarna cokelat itu. 

“Gila! Sebanyak itu?! Jadi sedari tadi gue tiduran sama para belatung itu?! Bajingan! Huwekk!!” Adhisti langsung berlari keluar kamarnya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya rapat-rapat.

Rafa yang kala itu ditinggalkannya di kamar langsung memeriksa plafon kamar sang adik. Sebuah celah hadir di sana membuat tampak seperti lubang hitam.

“Pasti jatuh dari sana! Dasar! Chaaya manusia apa bukan sih?! Dia kena covid?! Kamar bau busuk kaya gini bisa gak bau! Dasar jorok!” gerutu Rafa lalu langsung melepaskan pegangannya pada selimut itu dan menyusul sang adik.

Adhisti tampak mengeluarkan semua isi mulutnya yang hanya cairan encer itu di wastafel dapur mereka. Rafa berdiri di sebelahnya sambil memangku dagu mengamati Adhisti.

“Dari pada ngeliatin gue kaya gitu mending bikinin gue teh anget, Bang!” Tangan kiri Adhisti langsung menampol wajah kakaknya yang asik mengamatinya itu. 

Seperti seorang kakak yang sangat menyayangi sang adik, Rafa langsung menjalankan permintaan sang adik dan membuatkannya teh hangat.

“Nih, minum! Gue perlu tanya banyak hal sama lo setelah ini! Awas sampe pura-pura pingsan!” sergah Rafa. Tanpa menunggu omelan lain, Adhisti segera meraih gelas itu dan meneguknya kasar. Seketika wajah Adhisti tampak lebih glowing akibat paparan uap yang menimpa wajahnya itu. 

“Lo sakit?! Hidung lo udah bebal?! Nggak bisa bau aroma busuk kamar lo itu?!” Rafa menatap tajam sambil mengetuk-ketukkan telunjuknya ke meja makan.

“Bang, satu-satu kalau nanya! Okey? Gue nggak sakit! Hidung gue juga bisa bau tuh aroma busuk kok! Cuma gimana lagi? Masa gue harus manjat plafon?! Ya udah gue biarin aja! Eh, ternyata lama-lama gue terbiasa, ya udah, gue berharap tuh bau hilang! Lagian kucing atau tikus ‘kan nggak sebesar manusia! Keringnya juga bakalan cepet!” papar Adhisti.

“Bego lo, Chaay! Sekarang liat! Kelar ga masalah lo?! Yang ada makin-makin ‘kan?! Tuh pasti di balik plafin lo lebih banyak belatung lagi! Kalau udah gini ini siapa suruh bersihin? Gue?!” Rafa mengubah posisi duduknya, tangannya dengan lantang menunjuk ke arah kamar Adhisti.

“Ya maaf, Bang! Niat Adhis awalnya ‘kan nggak mau nyusahin. Terus sekarang gimana? Abang mau biarin Adhisti tidur di kamar itu bareng semua belatungnya??” Adhisti dengan mahir dan tanpa rasa bersalah sekarang malah memberikan puppy eyes untuk Rafa.

“Terus? Lo nyuruh gue tidur di sofa dan lo pakai kamar gue?! Ogah! Sudah gede masih aja hobi nyusahin! Siapa suruh bikin huru-hara malem-malem kaya gini?!” sergah Rafa lalu langsung bangkit dari kursi meja makan dan berjalan ke arah kamarnya. 

“Lho, Bang! Bang! Mau ke mana?! Ini gimana sama kamar Adhis??” pekik Adhisti yang ikut menyusul langkah cowok yang tingginya lima senti di atasnya itu.

“Bodo amat! Urus aja sendiri! Gue ngantuk!” sergah Rafa lalu langsung masuk ke kamarnya dan menggebrak pintu kamar tepat sebelum Adhisti masuk.

“Bang Rafa jahat!! Dasar tua menyebalkan!!” teriak Adhisti hingga menghantamkan kepalan tangannya ke pintu kayu itu. 

Dengan langkah penuh emosi dan hentakan, Adhisti berjalan menuju pintu utama unit apartemen itu.

Satu tujuannya saat ini, salah satu kios kawan dekat Rafa bernama Rio yang ada di bawah lantai apartemennya.

Baru beberapa anak tangga ia pijak, ponsel yang ia masukkan ke saku jeans belakangnya bergetar. Saat dilihatnya layar ponsel itu dua buah kata nama kontak langsung membuatnya mendengus kesal.

“Bajingan! Lintah darat ini! Kenapa selalu muncul di saat yang gak tepat!” gerutunya sembari menyeret tombol terima telepon itu.

“Halo! Kenapa lagi?!” sergah Adhisti.

[“Kenapa lagi, kenapa lagi!! Lo buta? Nggak bisa liat sekarang jam berapa?! Atau pikun?! Lo belum upload film terbaru yang lo janjiin ke gue hari ini, Dhis! Kalau sampai malam ini lo nggak buruan kirim film itu! Lihat aja! Gaji lo nggak bakalan cair bulan ini!”] sergah Guntur—pemilik Guntur Corporation yang menaungi bisnis gelap Adhisti.

“Eh, jangan Bos! Duh, Bos! Kasih waktu dikit lagi! Ada insiden di kamar kerja gue, Bos! Gue janji deh sebelum jam delapan pagi gue upload!” bujuk Adhisti. 

[“Kenapa sama kamar kerja lo?! Ada orang mati di sana?! Atau ada tsunami?!”] 

“Nah itu, Bos! Ada mayat manusia di kamar gue! Gue mesti urus dulu ‘kan?!” sahut Adhisti tanpa rasa bersalah.

“Mayat manusia apa, Dhis?!” celetuk suara pria lain. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status