Malam itu Adhisti benar-benar kekeh dengan permintaannya untuk tidur bersama Rafa dan saat itu juga Rafa tak bisa lagi menahan semua keluhan serta rengekan Adhisti.
Setelah membuka tiga buah pengharum ruangan di kamar Adhisti, gadis itu menenteng bantal dan ponselnya ke kamar Rafa lalu langsung berbaring di sebelah sang kakak lalu memeluknya erat.
Rafa tak bisa berkutik, cowok itu hanya bisa terdiam menatap atap dengan napas yang sedikit ia tahan hingga Adhisti tampak tertidur pulas.
“Dasar dari kecil tiap mau tidur sama gue ngeyel mulu nggak bisa dibantah! Andai saja dia tahu kenyataannya, gue yakin dia nggak bakal lakuin hal termasuk peluk gue kaya gini!” gumam Rafa sebelum akhirnya memindah dekapan Adhisti dan beranjak dari ranjangnya.
Malam itu, ia membiarkan Adhisti menguasai kamarnya dan ia tidur di sofa. Ia tak ingin sesuatu terjadi malam itu antara dirinya dan Adhisti. Sejak kematian kedua orang tuanya, hal itu yang selalu dilakukan Rafa setiap Adhisti merengek ingin tidur di kamarnya entah karena takut atau apa pun itu.
Hari berganti pagi dengan cepat, usai melahap semua makanan buatan Adhisti di meja makan, Rafa segera mengajak Adhisti untuk membereskan masalah kamarnya. Ia sengaja meminjam tangga tetangga apartemen agar bisa leluasa meraih bangkai hewan itu.
“Lo peganginya yang bener! Jangan digoyang-goyangin! Ntar kalau gue jatuh, gue bakal pilih jatuh timpa lo!” sergah Rafa sebelum memijakkan kaki kananya ke anak tangga besi itu.
“Iya, iya bawel amat, sih jadi cowok! Jangan-jangan lo cewek ya?!” sergah Adhisti.
Baru saja tiga anak tangga dipijak, suara ketukan pintu utama apartemen unit 706 itu menginterupsi kegiatan kedua kakak beradik itu.
“Raf!! Lo di rumah?! Ini gue, Rio!” pekik suara pria dari arah luar.
“Bang! Buruan temuin! Jangan suruh masuk! Gue nggak mau liat wajah cowok mesum itu di sini!! Mending bawa pergi aja!” ujar Adhisti sambil sedikit menepuk betis Rafa.
“Chaaya, bego! Jangan digoyangin!!” sergah Rafa langsung membuat Adhisti terdiam.
“Gue temuin Rio dulu bentar! Lo di sini aja! Jangan ke mana-mana!! Jangan belaga mau naik sendiri! Ntar jatuh gue yang susah!” sergah Rafa saat berhasil kembali menapakkan kakinya di lantai.
Adhisti hanya mengangguk saja hingga Rafa keluar dari kamarnya. Rasa was-was dan ingatan perkara godaan Rio semalam membuat Adhisti kembali bergidik ngeri. Ia segera berjalan mengendap menuju pintu kamarnya dan menutup pintu itu.
Semenit, dua menit, bahkan hingga lima menit Rafa tak kunjung kembali dan malah terdengar suara gelak tawa dari arah ruang tamu.
Emosi Adhisti kini memuncak, ia mulai terus mengucapkan matra ajaib berisi puluhan umpatan yang terus merutuki kedatangan Rio di saat yang tidak tepat.
“Anjing! Mau sampe kapan sih mereka ngerumpi?! Dan Bang Rafa pikir gue nggak sesak ke kurung di sini bareng aroma busuk gila ini, heh?!” sergah Adhisti.
Melupakan semua larangan sang kakak, Adhisti kini malah nekat menaiki tangga dengan sebuah gergasi kecil di tangan kanannya juga kantong plastik hitam yang ia masukkan ke saku jeans belakangnya.
“Ngapain mesti nunggu Rafa ngerumpi sama Rio kalau gue seorang Chaaya Adhisti si cewek merdeka bisa lakuin semua hal sendiri? Huh!!”
“Gilak! Sejak kapan sih bangkai kucing atau tikus baunya sekuat dan selama ini?! Sebesar apa coba bangkainya?!” gerutu Adhisti.
Kini plafon itu telah berjarak hanya satu jentik di atas kepalanya. Adhisti segera menggergaji celah plafon itu hingga ia merasa cukup untuk tangannya masuk dan mengambil bangkai busuk itu.
Saat celah kemiringan telah dirasa cukup, Adhisti mengeluarkan ponselnya dari saku celana kirinya, sambil sedikit menahan napasnya, ia mengarahkan cahaya senter dari ponselnya menuju celah itu.
Bukan bangkai kucing atau tikus yang Adhisti dapatkan dari cahaya yang ia arahkan ke dalam sana. Melainkan sebuah kantong plastik berwarna merah besar yang beberapa sisinya telah tergerogoti oleh makhluk hidup dekomposer hingga muncul sedikit lubang krikitan.
“Kok malah kresek? Siapa yang naruh kresek segede gaban di sini coba?! Pantes aja plafon gue sampe bereng!” celetuk Adhisti lalu tanpa rasa bersalah menarik kresek itu mendekat padanya.
Sambil masih menahan napasnya, Adhisti membuka ikatan kantong kresek itu dengan cahaya temaram dari senter ponsel yang ia letakkan sembarang tempat.
Saat ikatan tali itu telah terbuka seutuhnya, aroma busuk tak lagi bisa di tahan dengan hanya menahan napas. Aroma itu dengan kuat menyerobot masuk ke dalam hidung Adhisti.
Gadis itu terus mengumpat seolah kalimat yang ia ucapkan adalah kalimat terbaiknya hari itu.
Cahaya senter kini perlahan bergeser ke arah kantong kresek itu. Namun ada sesuatu yang aneh, mata Adhisti tiba-tiba membulat sempurna, jantungnya berdebar puluhan kali lebih cepat, keringatnya tiba-tiba mengucur dengan deras.
“Mayat manusia?!” sergahnya.
“AAA!!” teriak Adhisti kencang hingga membuat keseimbangan tubuhnya terganggu. Tak tunggu lama lagi, Tubuh gadis itu kini melayang di udara lalu dengan cepat menghantam lantai.
Bwarg!
Rafa dan Rio yang awalnya masih asik berbincang seolah melupakan Adhisti yang menunggu, tiba-tiba berhenti berbicara. Keduanya langsung saling menatap serius.
“Adhisti, Raf!!” pekik Rio langsung menoleh ke arah kamar Adhisti.
“Sialan! Gue lupa ninggalin dia sendirian!” pekik Rafa langsung melompat dari sofa menuju kamar Adhisti.
“Chaay!! Lo kenapa?! Woe buka pintunya!!” pekik Rafa yang tak lagi lirih sambil terus menggedor pintu kamar Adhisti.
“Didobrak aja, Raf! Suaranya kaya benda jatuh!” saran Rio. Seolah mendapat ide brilian, Rafa tak lagi menghitung detik, ia segera menabrakkan tubuhnya ke pintu itu hingga terbuka sempurna.
“Chaaya!!” teriak Rafa saat melihat adiknya itu terbaring di lantai sambil memegangi perut bagian kanannya.
Suara Adhisti yang terus merintih semakin membuat Rafa tak kuasa menahan kekhawatirannya.
“Lo ngapain bego?! Lo naik tangga?! Kan udah gue bilang tunggu gue, Chaay! Kenapa jadi adek ngeyel banget sih, hah!!” sergah Rafa langsung mengangkat sebagian tubuh Adhisti ke pangkuannya.
“Bang, ada mayat di atas! Ada tangan sama kepala, Bang! Itu manusia! Bukan kucing apalagi tikus!” tutur Adhisti langsung membuat Rafa dan Rio terdiam bisu.
“Mayat?” celetuk Rio akhirnya.
Bukannya menanyakan bagaimana kronologinya, Rio malah langsung keluar dari kamar Adhisti sambil membuka ponselnya.
“Halo kantor polisi? Apartemen Bumi Tua 1996 unit 706, ada mayat busuk di sini!”
“Anjing! Kenapa lo manggil polisi, Bang!! Gak ada yang boleh panggil polisi!!” sergah Adhisti yang kala itu tengah dituntun Rafa keluar kamar.
Dengan penuh emosi ia membanting ponsel Rio ke lantai hingga tak lagi menyala.
“Chaay, kenapa lo marah? Kalau itu benar mayat manusia kasus ini harus dibawa ke kepolisian, Chaay!” sela Rafa.
“Gak boleh!! Gue mohon Bang, jangan!!”
“Chaay! Lo kenapa, sih!? Kenapa malah marah-marah?! Ini kasus kriminal, Chaay! Kita nggak tahu siapa dia dan apa yang terjadi sama dia, lo mau disalahkan kalau biarin ini?!” sergah Rafa mengamuk.“Bang, kalau kalian manggil polisi ke mari, abang mau liat aku dibawa sama mereka?! Abang mau aku dipenjara, hah?!” sergah Adhisti kini melepaskan dirinya dari rangkulan Rafa yang membantunya berjalan.“Dhis, lo ngomong apaan, sih? Kenapa lo jadi seolah nutupin masalah ini?! Jangan bilang lo ada hubungannya sama kasus ini?! Lo yang bunuh orang itu dan letakin jasadnya di balik plafon rumah lo sendiri?!” sergah Rio menyela.“Jaga omongan lo ya, Bang Rio! Lo itu nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!! Mending balik aja sana ke unit lo! Nggak usah turut campur sama masalah gue dan keluarga gue!” sergah Adhisti menatap nyalang ke arah Rio.“Raf, gue rasa ada yang nggak beres sama adek lo ini! Ngapain dia ngelarang kita lapor ke polisi kalau dia aja nggak tahu apa-apa?! Kenapa dia ketakutan s
“Kalau begitu, usai pemeriksaan yang ada di sini selesai, bantu Ganendra terlebih pada gadis itu. Laksanakan dua kali pemeriksaan pun tak apa.” Anas menginstruksi. Dengan patuh Abbiyya hanya mengangguk lanjut mengecek beberapa hal di kamar Adhisti itu. Saat Abbiyya telah selesai dengan pemeriksaannya, ia pergi keluar dari kamar Adhisti dan berjalan menuju ruang tamu tempat Ganendra tengah mewawancarai Rio dan Rafa bergantian.“Anda, Nona Chaaya Adhisti, silakan ikut saya untuk pemeriksaan di ruangan lain!” titah Abbiyya dengan porsi tubuh tegap yang memesona. “Gue? Kenapa? Katanya sama petugas yang ini? Kenapa malah jadi lempar tangan gini?” sergah Adhisti malah tampak lebih galak dibandingkan Abbiyya.“Heh, Chaay! Jangan ngaco! Gak liat lagi ngomong sama siapa?! Sudah buruan ikut aja!” sergah Rafa sambil menepuk lengan tangan Adhisti.Dengan perasaan yang tak ramah dan hentakan di mana-mana, akhirnya Adhisti bangkit dari sofa dan berjalan mengikuti Abbiyya ke ruang makan unit terse
“Nggak! Nggak mungkin!! Lepasin gue! Ini pasti salah paham! Ada yang jebak gue! Bukti kalian pasti cuma rekayasa ‘kan?! Lepasin gue!” sergah Adhisti kini dengan kuat ia menepis kedua tangannya yang dicekal kuat oleh dua polisi wanita itu.Karena kekuatannya yang cukup keras dan mendadak, akhirnya Adhisti bisa meloloskan diri dari cengkeraman tangan dua polisi wanita itu. Tanpa menunggu hal lainnya, Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke arah Rafa yang tampak diam bagai patung di sebelah Rio yang tampak kesusahan bangkit.“Bang, mereka mau bawa Chaaya ke kantor polisi! Kenapa lo diem aja?! Cegah dong, Bang! Lo mau liat adek lo di penjara, hah!?” sergah Adhisti seraya terus menggerak-gerakkan bahu kanan dan kiri Rafa dengan kedua tangannya.“Nona Adhisti, sebaiknya anda menurut saja. Penolakan hanya membuat tuntutan anda semakin besar!” celetuk Abbiyya.“Tuntutan apa hah?! Tuntutan apa yang lo bilang?! Gue nggak salah!” Mata Adhisti tampak melotot seolah hendak keluar dari tempatnya
“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta m
“Kenapa anda diam, Nona Adhisti? Amda terkejut bagaimana saya dan tim saya bisa menemukan beda ini padahal anda telah menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia di kamar anda?” tutur Abbiyya semakin membuat degup jantung Adhisti berpacu kencang.“Itu bukan punya gue! Itu mungkin punya pelaku yang sengaja ditaruh di sana buat jebak gue! Pokoknya itu bukan punya gue!” sergah Adhisti usai menolehkan wajahnya menghadap Abbiyya yang memandangnya sambil berdiri.“Jangan berbohong, Nona! Semakin anda berbohong, semakin kami mencurigai anda. Kami telah mengetahui semua jawabannya. Jadi jika anda berbohong, itu tak akan menyelamatkan anda dari hukuman melainkan semakin menjatuhkan anda!” terang Abbiyya lalu kembali duduk di kursi yang ada di hadapan Adhisti.Tangan pria itu membalik peti kayu ke arah lain. Sebuah ukiran amatir yang diduga diukir dengan sebuah cutter berkarat hadir di sana.“Bukankah Chaaya adalah nama anda, Nona? Ini adalah milik anda. Bahkan nota pembeliannya ada di dalam sana
Abbiyya berjalan menyusuri koridor Apartemen Bumi Tua 1996 yang sepi seraya menutup resleting jaket dinasnya yang berwarna hitam itu. Pria itu berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kaki kananya memijak lantai yang beberapa saat lalu ia datangi. Lantai tujuh. “Selamat sore!” pekik Abbiyya sementara tangannya sekali mengetuk pintu apartemen kayu bernomor 702 tersebut. Pintu itu sedikit menampakkan celah tanda sang penyewa apartemen tak menutupnya dengan benar. Saat tangan Abbiyya hendak kembali mengetuk, sedikit suara ia dengar dari dalam sana. “Lo kenapa nggak jenguk Adhisti, Raf! Kasihan dia di sana pasti ketakutan! Lo satu-satunya keluarga yang dia punya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain lo, lo tega biarin dia?” Suara Rio dengan cepat mampu dikenali oleh Abbiyya. “Gue juga khawatir sama dia, Ri! Cuma gimana lagi? Polisi nemuin pisau dengan noda darah korban dan sidik jari Chaaya di sana. Selama ini gue nggak pernah tahu Chaaya punya benda itu. Dan sekarang gue tahu denga
“Space room? Apa maksud anda dengan space room yang menghubungkan lantai satu dengan lantai lainnya?” tanya Abbiyya kini dahinya berkerut sementara matanya memandang ke arah Adhisti “Hh!” Adhisti mendengus dan kini merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Gue pikir lo dan tim lo hebat! Ternyata nggak sehebat itu, yah! Hal kaya gini aja lo nggak tahu! Dan lo? Malah menangkap gue?! Emang dunia ini aneh! Korban dijadikan pelaku, pelaku dijadikan korban. Miris!!” sergah Adhisti. “Jika anda tahu sesuatu mengenai kasus ini, semestinya anda beri tahu kepada tim kami. Mungkin saja ini dapat membantu merujuk pada pelaku lain jika memang anda tidak bersalah, Nona!” Abbiyya mulai berharap-harap cemas berharap Adhisti hendak mengatakan apa yang ia ketahui tentang space room itu. “Untuk apa?! Palingan setelah gue kasih tahu kalian semua akan malah semakin nuduh gue! Bukan begitu Abbiyya?!” sergah Adhisti. Baru saja mulut Abbiyya tampak hendak terbuka lagi, seorang petugas datang menghampiri
Abbiyya tampak sibuk dengan semua berkas yang ada mejanya, semua laporan kasus yang menimpa Adhisti di kamar apartemennya secara seketika membuat mejanya penuh dengan file laporan yang memang ia minta semalam. Tok! Tok! Tok! Seorang petugas tiba-tiba mengetuk ruang kerja Abbiyya dengan pelan, namun mata tajam Abbiyya langsung mengarah ke arah pintu dan mempersilakan pria itu masuk. “Ada kabar apa? Kalian telah membawa laporan yang saya minta semalam?” Abbiyya seorang yang tak menyukai basa-basi selalu menjalankan misinya dengan lantang. Ia akan cenderung terlihat galak dengan semua pertanyaannya yang tanpa pembuka itu. “Sudah, Pak! Berikut adalah laporan yang kami dapatkan dari pengurus apartemen mengenai selentingan berita space room tersebut!” pekik sang petugas lalu menyodorkan sebuah map sambil sedikit membungkuk. Abbiyya segera meraih map itu dan membukanya di tempat. Matanya langsung dengan tajam membaca deretan tulisan itu dengan teknik membaca cepat yang ia kuasai. “Pengu