Share

3. Sesuatu di Balik Plafon

Malam itu Adhisti benar-benar kekeh dengan permintaannya untuk tidur bersama Rafa dan saat itu juga Rafa tak bisa lagi menahan semua keluhan serta rengekan Adhisti. 

Setelah membuka tiga buah pengharum ruangan di kamar Adhisti, gadis itu menenteng bantal dan ponselnya ke kamar Rafa lalu langsung berbaring di sebelah sang kakak lalu memeluknya erat. 

Rafa tak bisa berkutik, cowok itu hanya bisa terdiam menatap atap dengan napas yang sedikit ia tahan hingga Adhisti tampak tertidur pulas.

“Dasar dari kecil tiap mau tidur sama gue ngeyel mulu nggak bisa dibantah! Andai saja dia tahu kenyataannya, gue yakin dia nggak bakal lakuin hal termasuk peluk gue kaya gini!” gumam Rafa sebelum akhirnya memindah dekapan Adhisti dan beranjak dari ranjangnya.

Malam itu, ia membiarkan Adhisti menguasai kamarnya dan ia tidur di sofa. Ia tak ingin sesuatu terjadi malam itu antara dirinya dan Adhisti. Sejak kematian kedua orang tuanya, hal itu yang selalu dilakukan Rafa setiap Adhisti merengek ingin tidur di kamarnya entah karena takut atau apa pun itu. 

Hari berganti pagi dengan cepat, usai melahap semua makanan buatan Adhisti di meja makan, Rafa segera mengajak Adhisti untuk membereskan masalah kamarnya. Ia sengaja meminjam tangga tetangga apartemen agar bisa leluasa meraih bangkai hewan itu.

“Lo peganginya yang bener! Jangan digoyang-goyangin! Ntar kalau gue jatuh, gue bakal pilih jatuh timpa lo!” sergah Rafa sebelum memijakkan kaki kananya ke anak tangga besi itu.

“Iya, iya bawel amat, sih jadi cowok! Jangan-jangan lo cewek ya?!” sergah Adhisti.

Baru saja tiga anak tangga dipijak, suara ketukan pintu utama apartemen unit 706 itu menginterupsi kegiatan kedua kakak beradik itu. 

“Raf!! Lo di rumah?! Ini gue, Rio!” pekik suara pria dari arah luar.

“Bang! Buruan temuin! Jangan suruh masuk! Gue nggak mau liat wajah cowok mesum itu di sini!! Mending bawa pergi aja!” ujar Adhisti sambil sedikit menepuk betis Rafa.

“Chaaya, bego! Jangan digoyangin!!” sergah Rafa langsung membuat Adhisti terdiam. 

“Gue temuin Rio dulu bentar! Lo di sini aja! Jangan ke mana-mana!! Jangan belaga mau naik sendiri! Ntar jatuh gue yang susah!” sergah Rafa saat berhasil kembali menapakkan kakinya di lantai.

Adhisti hanya mengangguk saja hingga Rafa keluar dari kamarnya. Rasa was-was dan ingatan perkara godaan Rio semalam membuat Adhisti kembali bergidik ngeri. Ia segera berjalan mengendap menuju pintu kamarnya dan menutup pintu itu.

Semenit, dua menit, bahkan hingga lima menit Rafa tak kunjung kembali dan malah terdengar suara gelak tawa dari arah ruang tamu.

Emosi Adhisti kini memuncak, ia mulai terus mengucapkan matra ajaib berisi puluhan umpatan yang terus merutuki kedatangan Rio di saat yang tidak tepat.

“Anjing! Mau sampe kapan sih mereka ngerumpi?! Dan Bang Rafa pikir gue nggak sesak ke kurung di sini bareng aroma busuk gila ini, heh?!” sergah Adhisti.

Melupakan semua larangan sang kakak, Adhisti kini malah nekat menaiki tangga dengan sebuah gergasi kecil di tangan kanannya juga kantong plastik hitam yang ia masukkan ke saku jeans belakangnya. 

“Ngapain mesti nunggu Rafa ngerumpi sama Rio kalau gue seorang Chaaya Adhisti si cewek merdeka bisa lakuin semua hal sendiri? Huh!!”

“Gilak! Sejak kapan sih bangkai kucing atau tikus baunya sekuat dan selama ini?! Sebesar apa coba bangkainya?!” gerutu Adhisti.

Kini plafon itu telah berjarak hanya satu jentik di atas kepalanya. Adhisti segera menggergaji celah plafon itu hingga ia merasa cukup untuk tangannya masuk dan mengambil bangkai busuk itu.

Saat celah kemiringan telah dirasa cukup, Adhisti mengeluarkan ponselnya dari saku celana kirinya, sambil sedikit menahan napasnya, ia mengarahkan cahaya senter dari ponselnya menuju celah itu.

Bukan bangkai kucing atau tikus yang Adhisti dapatkan dari cahaya yang ia arahkan ke dalam sana. Melainkan sebuah kantong plastik berwarna merah besar yang beberapa sisinya telah tergerogoti oleh makhluk hidup dekomposer hingga muncul sedikit lubang krikitan.

“Kok malah kresek? Siapa yang naruh kresek segede gaban di sini coba?! Pantes aja plafon gue sampe bereng!” celetuk Adhisti lalu tanpa rasa bersalah menarik kresek itu mendekat padanya.

Sambil masih menahan napasnya, Adhisti membuka ikatan kantong kresek itu dengan cahaya temaram dari senter ponsel yang ia letakkan sembarang tempat. 

Saat ikatan tali itu telah terbuka seutuhnya, aroma busuk tak lagi bisa di tahan dengan hanya menahan napas. Aroma itu dengan kuat menyerobot masuk ke dalam hidung Adhisti.

Gadis itu terus mengumpat seolah kalimat yang ia ucapkan adalah kalimat terbaiknya hari itu.

Cahaya senter kini perlahan bergeser ke arah kantong kresek itu. Namun ada sesuatu yang aneh, mata Adhisti tiba-tiba membulat sempurna, jantungnya berdebar puluhan kali lebih cepat, keringatnya tiba-tiba mengucur dengan deras. 

“Mayat manusia?!” sergahnya.

“AAA!!” teriak Adhisti kencang hingga membuat keseimbangan tubuhnya terganggu. Tak tunggu lama lagi, Tubuh gadis itu kini melayang di udara lalu dengan cepat menghantam lantai.

Bwarg!

Rafa dan Rio yang awalnya masih asik berbincang seolah melupakan Adhisti yang menunggu, tiba-tiba berhenti berbicara. Keduanya langsung saling menatap serius. 

“Adhisti, Raf!!” pekik Rio langsung menoleh ke arah kamar Adhisti.

“Sialan! Gue lupa ninggalin dia sendirian!” pekik Rafa langsung melompat dari sofa menuju kamar Adhisti.

“Chaay!! Lo kenapa?! Woe buka pintunya!!” pekik Rafa yang tak lagi lirih sambil terus menggedor pintu kamar Adhisti. 

“Didobrak aja, Raf! Suaranya kaya benda jatuh!” saran Rio. Seolah mendapat ide brilian, Rafa tak lagi menghitung detik, ia segera menabrakkan tubuhnya ke pintu itu hingga terbuka sempurna.

“Chaaya!!” teriak Rafa saat melihat adiknya itu terbaring di lantai sambil memegangi perut bagian kanannya. 

Suara Adhisti yang terus merintih semakin membuat Rafa tak kuasa menahan kekhawatirannya.

“Lo ngapain bego?! Lo naik tangga?! Kan udah gue bilang tunggu gue, Chaay! Kenapa jadi adek ngeyel banget sih, hah!!” sergah Rafa langsung mengangkat sebagian tubuh Adhisti ke pangkuannya.

“Bang, ada mayat di atas! Ada tangan sama kepala, Bang! Itu manusia! Bukan kucing apalagi tikus!” tutur Adhisti langsung membuat Rafa dan Rio terdiam bisu.

“Mayat?” celetuk Rio akhirnya.

Bukannya menanyakan bagaimana kronologinya, Rio malah langsung keluar dari kamar Adhisti sambil membuka ponselnya.

“Halo kantor polisi? Apartemen Bumi Tua 1996 unit 706, ada mayat busuk di sini!” 

“Anjing! Kenapa lo manggil polisi, Bang!! Gak ada yang boleh panggil polisi!!” sergah Adhisti yang kala itu tengah dituntun Rafa keluar kamar. 

Dengan penuh emosi ia membanting ponsel Rio ke lantai hingga tak lagi menyala.

“Chaay, kenapa lo marah? Kalau itu benar mayat manusia kasus ini harus dibawa ke kepolisian, Chaay!” sela Rafa.

“Gak boleh!! Gue mohon Bang, jangan!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status