Share

2. Malam Mencekam Lainnya

Dengan cepat Adhisti menarik ponselnya dari telinga dan memasukkannya ke saku kembali. Wajahnya langsung meringis saat melihat seorang lelaki jangkung dengan kaos yang sedikit oversize di berdiri di ujung tangga bawah

 “Bang Rio? Kok di sini? Sudah tutup ya, Bang? Tokonya? Ehm, anu!” pekik Adhisti langsung menuruni tangga dan menghampiri lelaki tinggi bernama Rio itu.

Adhisti langsung mencekal pergelangan tangan kiri Rio dan menariknya menuju arah yang berlawanan.

“Kok sudah di sini sih, Bang?! Baru aja Adhis mau ke kios Abang! Tolong bukain lagi ya, Bang! Ini urgent banget! Please!” bujuk Adhisti lagi-lagi menggunakan trik yang sama dengan yang ia tunjukan pada Rafa beberapa menit lalu.

“Mau beli apa?” tanya Rio menatap Adhisti dengan penuh curiga. Matanya benar-benar menyipit dan membuat Adhisti sebentar merasa terintimidasi. 

“Anu, mau beli lakban sama pengharum ruangan!” pekik Adhisti berusaha meyakinkan mungkin.

Sambil membuka lagi tautan gembok pada kiosnya dan mengerek rolling door itu ke atas, Rio kembali menyipitkan mata ke arah Adhisti.

“Lakban? Pengharum ruangan? Malem-malem kaya gini? Lo mau ngapain sama dua benda itu?” Rio melangkahkan kakinya ke dalam kios menuju salah satu saklar lampu kios diikuti oleh Adhisti di belakangnya.

“Adalah urusan, Bang! Lagian nggak perlu kali abang tahu buat apa semua pembeli di kios abang ini pakai barang-barang yang mereka beli di ini!” ujar Adhisti mencoba mengalihkan topik.

“Pengharumnya ada di rak, lo ambil sendiri! Lakbannya mau ambil berapa?” Rio langsung masuk ke area kasir dan membuka kunci salah satu etalase berisi alat tulis. 

“Laban yang sedengan aja satu, Bang!” teriak Adhisti. Tak lama setelahnya, Adhisti kembali dengan tiga buah pengharum ruangan gantung dengan merek berinisial S di tangannya.

“Semua? Tiga-tiganya? Mau mukbang pengharum ruangan lo, Dhis?!” 

“Enak aja! Ya nggaklah! Pokok ya ada deh buat ngusir bau di apartemen! Sudah ini aja berapa semuanya, Bang?” tanya Adhisti sembari merogoh saku kanan celana jeansnya dan mengeluarkan dompet dari sana. 

Bukannya segera menyebutkan berapa nominal yang mesti Adhisti bayarkan, Rio malah asik mengamati Adhisti dengan tatapan tanpa kedipan sekalipun. Tatapannya yang berawal tajam dan penuh intimidasi kini seolah berubah melunak dan malah cenderung menjadi tatapan seorang penggoda. 

“Bang? Halo?” Adhisti melambaikan kedua tangannya di depan wajah Rio dan membuat cowok itu sedikit tersentak. “Kok malah ngelamun? Berapa totalnya? Atau mau gratis aja?” 

“Bawa aja! Hitung-hitung diskon malam!” sahut Rio masih dengan tatapan yang sama.

“Seriusan?” celetuk Adhisti yang merasa mulai aneh dengan tatapan yang diberikan Rio. “Nggak deh, Bang! Nih, lima puluh buat abang! Kalau kurang sorry! Gue pamit dulu, thanks!” pekik Adhisti lalu langsung menyabet kantong plastik hitam dari tangan Rio dan berbalik.

Namun dengan cepat Rio malah menahan tangan kiri Adhisti dan membuat gadis itu sedikit terhuyung ke belakang lalu terantuk tepian meja kasir. 

“Kenapa buru-buru sih, Dhis? Di sini aja dulu! Gue terlanjur buka toko lagi! Senggaknya temenin gue sampe tengah malemlah!” ujar Rio sembari berjalan menghampiri Adhisti yang kini jantungnya telah berdegup puluhan kali lebih cepat.

“Bang, jangan macem-macem, ya! Gue laporin Bang Rafa biar lo tau rasa! Lepasin tangan gue, nggak?!” sergah Adhisti berusaha tampak sebrutal mungkin

“Bentar doang, Dis! Tinggal satu jam lagi, juga! Nggak bakalan lama kalau kita nikmati tiap momennya!” ujar Rio.

“Bajingan lo, Bang!” tukas Adhisti kini langsung menepis tangan Rio dan hendak berlari dari kios juga sang pemilik kios yang tampak mesum itu.

“Adhisti! Lo habis bunuh siapa?! Mayat manusia mana yang mau lo sembunyiin?! Mau lakban dia dan hilangin bau pakai pengharum itu? Nggak bakalan bisa, Adhisti Sayang!! Kalau lo izinin gue malam ini, gue bakal jaga semua rahasia lo! Gimana??” teriak Rio saat langkah kaki Adhisti semakin menjauh dari kiosnya.

Mendengar semua penuturan Rio itu, Adhisti menghentikan langkah kakinya sejenak lalu berbalik. 

“Mayat apa?! Gue nggak mau sembunyiin apapun dari siapa pun kok! Dan dua barang ini bukan untuk dua tujuan itu!” sergah Adhisti. 

“Halah! Jangan bohong, Adhisti Sayang! Gue denger kok pembicaraan lo sama entah siapa di telepon tadi. Lo sendiri yang bilang kalau lo nemuin mayat di dalam kamar kerja lo. So? Mayat siapa itu? Mau gue bantuin buang? Tapi dengan syarat! Ikut gue malam ini!” tawar Rio sambil berjalan perlahan menuju ke dekat Adhisti.

“Stop!! Diem di situ, Bang! Ngaco lo! Sok tahu!! Bajingan!!” teriak Adhisti sebelum akhirnya berlari sekencang mungkin meninggalkan kios milik Rio.

Tak disangka-sangka rupanya Rio tak berhenti sampai di sana, cowok itu benar mengejar Adhisti dengan kecepatan yang tak kira-kira. Sebentar saja Adhisti mengurangi kecepatan, sudah bisa dipastikan jika ia akan habis malam ini dengan bengisnya Rio. 

“Anjing!! Kenapa pintunya harus macet sekarang, sih!! Buruan!!” umpat Adhisti sambil terus memutar knop pintu unit apartemennya. Sementara itu, beberapa meter tampak Rio telah berjalan dengan seringai di wajahnya.

“Kenapa lo selalu nolak gue sih, Dhis? Gue beneran cinta sama lo! Apapun yang lo lakuin, meskipun lo jadi pembunuh pun gue nggak akan berpaling! Gue akan bantu lo nurutin semua keinginan lo! Gue tahu kok lo suka sama hal-hal berbau psikopat ‘kan? Gue bisa bantu lo lakuin semua itu, kok! Kita bakal jadi pasangan yang spesial!” lirih Rio.

“Anjing!!” teriak Adhisti. Seketika pintu itu terbuka dan di saat yang bersamaan Rio berlari ke arahnya.

Syukurlah semesta masih memihak Adhisti. Ia berhasil masuk dan menutup pintu itu sebelum Rio menjamahnya.

Napas yang tersengal-sengal membuat Adhisti langsung duduk tak karuan di lantai dan menutup mukanya dengan kedua tangannya.

“Ngapain lo kaya gitu? Tuh lakban sama pengharum ruangan mau buat apa?” tanya Rafa gang tiba-tiba muncul di hadapan Adhisti sambil menunduk. 

“Bang Rafa!!” pekik Adhisti langsung memeluk kakaknya itu.

Sedikit terkejut Rafa hanya bisa menepuk bentar punggung sang adik.

“Gue tidur sama lo malem ini, please!! Gue takut, Bang! Gue takut!” rengek Adhisti sambil mulai terisak dalam pelukannya pada Rafa.

“Apaan sih, Chaay?? Lo kenapa? Ngapain nangis kaya gini coba?! Lo dari mana?!” sergah Rafa menjauhkan sang adik dari pelukannya lalu membantu mengelap air mata gadis itu.

“Bang Rio, Bang! Dia, dia mulai lagi! Dia ngegoda Adhis lagi, Bang!” rintih Adhis.

“Mana mungkin, Chaay! Rio temen gue! Ga mungkin dia kaya gitu! Sudah ah, mending lo buruan tidur! Besok pagi kita kelarin tuh bangkai tikus atau kucing! Barusan udah gue geser ranjang lo. Lo nggak bakal kejatuhan para belatung itu lagi,” papar Rafa.

“Nggak mau, Bang! Gue maunya tidur sama Bang Rafa!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status