Share

7. Pengakuan dan Bukti Pemberat

“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.

“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.

Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.

“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.

“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.

“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta menarik tentang keterkaitan anda dengan korban bernama mawar ini!” pekik Abbiyya membuat Adhisti mengerutkan dahinya.

“Korban adalah agen utama Sky Corporation. Bukankah itu nama perusahaan saingan anda dalam bisnis gelap penyelundupan film, Nona Adhisti?” terang Abbiyya mengungkapkan satu fakta.

“Okey! Gue emang tahu Sky Corporation! Gue emang pernah dengar bos gue sebut nama Mawar! Tapi gue nggak tahu muka dia kaya gimana!” sergah Adhisti.

“Kau tahu Nona, entah benar atau tidak pengakuanmu itu, tapi jika pihak kepolisian akhirnya mengetahui latar belakang Mawar dan pekerjaan gelapnya, lalu menyeret nama anda sebagai rivalnya, anda akan menjadi tersangka utama.”

“Tapi gue bukan pelakunya! Gue berani jamin! Ya gue tahu, gue sering buat masalah di apartemen tua itu! Gue sering ganggu banyak penghuni di sana yang bikin mereka mungkin dendam sama gue. Tapi itu bukan berarti gue tega membunuh ‘kan?! Gue masih manusia yang punya hati!” tolak Adhisti dengan sedikit menggebrak meja.

“Tapi Nona, bukankah hanya anda seorang yang memiliki akses ke dalam kamar anda itu? Dan mengapa anda membeli lakban serta tiga buah pengharum ruangan itu? Anda ingin menutupi perbuatan anda?” Abbiyya membalik lembaran kertas pada map tersebut tanpa mengubah tatapannya pada Adhisti.

“Semua orang bisa masuk kalau mereka emang niat! Ya meskipun itu kecil kemungkinannya, tapi nggak ada yang nggak mungkin ‘kan?!” sergah Adhisti.

“Yap, tepat sekali! Semuanya mungkin terjadi. Termasuk anda membunuh saingan bisnis gelap anda,” ujar Abbiyya.

“Kami telah mengantongi banyak pengakuan narasumber sejak kemarin, Nona! Penjaga laundry yang anda telepon malam hari sebelum laporan ini datang kepada kami, penjaga kios tempat anda membeli lakban dan pengharum ruangan, serta seorang satpam apartemen yang melihat anda mengambil tanah dari belakang apartemen.”

“Hah? Mereka?! Apa yang mereka bilang soal gue?! Mereka jatuhin gue?! Sialan!” sergah Adhisti.

“Silakan saja baca laporan itu, Nona! Semua ada di sana. Setelah anda membacanya, baru kami akan memberi sesi pembelaan atas kesaksian para narasumber itu.

Dengan kasar Adhisti meraih map itu ke dekatnya. Susunan kalimat rapi membuat matanya mampu membaca dengan cepat, bergeser dari sudut kiri hingga kanan.

‘Kesaksian penjaga laundry mengatakan bawah tersangka Chaaya Adhisti Pramagya memesan jadwal laundry untuk mencuci seprai bekas jasad manusia.’

‘Kesaksian penjaga kios mengatakan jika ia mendengar tersangka Chaaya Adhisti Pramagya mengatakan dalam telepon mengenai keberadaan mayat dalam kamar kerjanya.’

‘Kesaksian satpam Apartemen Bumi Tua 1996 mengatakan bahwa melihat tersangka Chaaya Adhisti Pramagya mengambil tanah di belakang gedung apartemen dan mengaku untuk mengubur mayat manusia yang tewas.’

“Bohong!! Ini semua bohong! Mereka menganggap lelucon itu sebagai kenyataan?! Gila! Nggak! Gue cuma bercanda waktu ngatain itu semua!” sergah Adhisti langsung menghempaskan kertas itu kembali ke meja lalu menatap Abbiyya dengan marah.

Abbiyya mendekatkan tubuhnya ke dekat tepian meja lalu turut menatap Adhisti dengan tatapan selidik ciri khasnya selama bertugas sebagai aparat kepolisian.

“Lelucon? Apakah penemuan mayat itu lelucon, Nona? Dan untuk apa anda membuat lelucon yang sama kepada tiga orang tersebut terlebih masalah mayat manusia? Apakah anda ingin membuat alibi yang kuat?” bisik Abbiyya.

“Bajingan! Bisa nggak sih percaya?! Percuma lo tanya kalau gak percaya sama jawaban gue! Waktu itu gue murni bercanda karena mereka terus cerewet tanya-tanya! Lagi pula mereka semau tahu gimana gue sering ngusilin mereka! Lelucon itu semestinya nggak mereka anggap sebuah fakta!” Adhisti mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya terlihat sangat tersengal, keringatnya mulai menetes dari dahi menuju leher jenjang gadis itu.

“Baiklah.” Abbiyya memundurkan posisi duduknya lalu berdiri dan memukul lampu gantung yang menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu.

Pria itu berjalan mendekati kursi Adhisti hingga membuat Adhisti sedikit memicingkan tubuhnya menjauh dari sisi Abbiyya.

“Baiklah, Nona! Anggap saya semua kesaksian mereka hanyalah kesaksian atas lelucon yang anda berikan. Anggap semua kesaksian mereka tak lagi berguna untuk memberatkan tuduhan terhadap anda. Tapi, bagaimana anda jelaskan tentang bukti yang satu ini?” ujar Abbiyya lalu menengok ke arah pintu masuk.

Tangan pria itu sedikit memberi kode pada salah satu anak buahnya yang langsung masuk dengan sebuah peti kayu lalu meletakkannya di meja.

Semenjak peti itu diletakkan di atas meja, Adhisti langsung terperanjat. Ia kesusahan menelan salivanya sendiri. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang, keringatnya pun mengalir lebih deras.

“Anda tahu bukan apa isinya?” bisik Abbiyya lalu membuka peti kayu berukuran 50 sentimeter tersebut.

“Satu set pisau mata tajam dengan noda darah milik korban bernama Mawar dan juga sidik jari anda, Nona Adhisti!” lanjut Abbiyya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status