Bab 37: Membalas Mertua dan Suamiku
Bang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.
Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.
“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.
Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.
Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan
Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem
Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
"Baju dari mana ini, Dek?”Aku menolehkan muka dengan senyum penuh kebahagiaan. Bang Agam terhenyak melihat ekspresiku saat menatapnya. Penuh kebahagiaan, binar bersuka cita memancar dengan hebatnya. Inilah yang seharusnya kurasakan sebagai seorang wanita."Dek, baju dari mana? Bagus sekali!" puji Bang Agam lagi. Senyumku malah semakin merekah. Bukannya menjawab, aku mengedipkan mata pada pria bertubuh tinggi itu. Setelahnya, kutautkan pandangan di cermin. Cantik sekali pantulan pada bidang datar itu! Gamis panjang dari brand ternama serta jilbab motif yang sangat lembut terpadu sempurna. Riasan sederhana juga membuat wajahku segar dipandang. "Dek?" "Dari mana lagi, Abang. Aku beli, dong!" balasku pada Bang Agam sembari melirik meja rias yang isinya hanya ada beberapa kosmetik murah. "U-u ...."Bang Agam tergugu. Aku tahu benar kata apa yang hendak diucapkan olehnya. "Uangnya dari mana maksud Abang?" Pria itu lekas membuang pandang. Telinganya merona merah, jelas saja merasa
Dua hari yang lalu, ibu Bang Agam menyakitiku begitu dalam. Kudengar ibu mertua mengobrol dengan salah satu tetangga arisannya yang mampir ke rumah kami.Mereka duduk di ruang tamu, menikmati teh dan kue yang dibeli oleh ibu mertua. Makanan lezat itu ‘disimpannya’ di dalam kamar tanpa sepengetahuanku, entah soal Bang Agam. Selalu begitu hingga pada akhirnya aku tahu kelakuan bengisnya itu.Usai salat asar, aku hendak berjalan ke dapur untuk menyiapkan bahan masakan. Ibu mertua dan teman-temannya tidak sadar jika diriku masih ada di rumah itu, sebab sebelumnya Ibu mertua sudah memberi perintah agar aku ke warung sebentar.Kudengar mereka berbicara dalam nada tinggi penuh semangat. “Itulah, Mbak. Mantuku juga sama malasnya. Kerjanya main hape saja siang dan malam, tidak tahu masak dan cuci. Aku semua yang kerjain!”“Betul, mantu-mantu jaman sekarang benar
Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu.“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras.Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila.“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya.Aku menerima palu godam
"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku."Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?""Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku."Tsk
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng