Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku
“Agam!”
“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.
Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.
“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.
Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.
“Bang, kita ....”
“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
"Baju dari mana ini, Dek?”Aku menolehkan muka dengan senyum penuh kebahagiaan. Bang Agam terhenyak melihat ekspresiku saat menatapnya. Penuh kebahagiaan, binar bersuka cita memancar dengan hebatnya. Inilah yang seharusnya kurasakan sebagai seorang wanita."Dek, baju dari mana? Bagus sekali!" puji Bang Agam lagi. Senyumku malah semakin merekah. Bukannya menjawab, aku mengedipkan mata pada pria bertubuh tinggi itu. Setelahnya, kutautkan pandangan di cermin. Cantik sekali pantulan pada bidang datar itu! Gamis panjang dari brand ternama serta jilbab motif yang sangat lembut terpadu sempurna. Riasan sederhana juga membuat wajahku segar dipandang. "Dek?" "Dari mana lagi, Abang. Aku beli, dong!" balasku pada Bang Agam sembari melirik meja rias yang isinya hanya ada beberapa kosmetik murah. "U-u ...."Bang Agam tergugu. Aku tahu benar kata apa yang hendak diucapkan olehnya. "Uangnya dari mana maksud Abang?" Pria itu lekas membuang pandang. Telinganya merona merah, jelas saja merasa
Dua hari yang lalu, ibu Bang Agam menyakitiku begitu dalam. Kudengar ibu mertua mengobrol dengan salah satu tetangga arisannya yang mampir ke rumah kami.Mereka duduk di ruang tamu, menikmati teh dan kue yang dibeli oleh ibu mertua. Makanan lezat itu ‘disimpannya’ di dalam kamar tanpa sepengetahuanku, entah soal Bang Agam. Selalu begitu hingga pada akhirnya aku tahu kelakuan bengisnya itu.Usai salat asar, aku hendak berjalan ke dapur untuk menyiapkan bahan masakan. Ibu mertua dan teman-temannya tidak sadar jika diriku masih ada di rumah itu, sebab sebelumnya Ibu mertua sudah memberi perintah agar aku ke warung sebentar.Kudengar mereka berbicara dalam nada tinggi penuh semangat. “Itulah, Mbak. Mantuku juga sama malasnya. Kerjanya main hape saja siang dan malam, tidak tahu masak dan cuci. Aku semua yang kerjain!”“Betul, mantu-mantu jaman sekarang benar
Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu.“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras.Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila.“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya.Aku menerima palu godam
"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku."Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?""Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku."Tsk
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia