Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu.
“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”
“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras.
Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila.
“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya.
Aku menerima palu godam yang dilemparkan Bang Agam ke ulu hatiku. Pria yang memakai jam seharga dua juta setengah itu berkacak pinggang, tidak merasa bersalah setelah membuat istrinya hidup menderita dan serba kekurangan.
“Kalau begitu, nikahi saja Ibumu, Bang. Seharusnya kamu tidak perlu nikah, supaya bisa berbakti seumur hidup dengan Ibu, juga tidak perlu membagi gaji dengan perempuan lain. Syukur-syukur kita belum punya anak, kalau enggak, apa mau kamu suruh minum air cucian beras anakmu nanti?” paparku.
Setelah berkata demikian, aku melenggang pergi dari hadapan Bang Agam. Air mata ini tumpah ruah tidak terhentikan.
Semalaman suntuk, aku juga menangis dalam keheningan malam. Bang Agam baru saja menerima gaji dan langsung diberikannya untuk ibu sebesar dua belas juta.
Sedangkan aku hanya duduk di sampingnya, memandangi tumpukan uang yang tidak pernah diberikan untukku.
Semalam, ibu mertua mengomel pada Bang Agam jika teman arisannya baru saja dibelikan emas oleh anaknya. Harganya sepuluh juta, jadi ibu mertua mau dibelikan yang lebih mahal agar saingannya kalah.
Tanpa pikir panjang, Bang Agam mencairkan uang sebanyak itu, lalu memberikannya untuk ibu mertua. Setelah itu, dia mengeluarkan uang sebesar seratus lima ribu rupiah dan langsung disodorkannya padaku yang duduk di meja.
“Buat seminggu, Dek. Berhematlah, bulan ini pengeluaran kita banyak.”
“Benar itu, Ima. Harus hemat-hemat, ya?”
Ibu mertuaku semringah luar biasa. Dia mengendus uang segepok pemberian putranya tanpa rasa bersalah. Bahkan tidak melirik menantu yang tidak sanggup mengganti bra dan celana dalam meski sudah begitu mulur.
Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu sekeras mungkin. Rumah bagus yang dibeli oleh Bang Agam saat dia masih lajang ini juga membuatku begitu tersisa.
Ada lemari besar berbentuk letter L melingkari kamar. Dari delapan pintunya, hanya ada dua untukku. Ditutupi oleh pintu kaca hingga terlihat jelas seluruh isinya.
Barang-barangku buluk semua. Tidak ada yang bagus, meski hantaran pernikahan dulu, saking seringnya kupakai. Sedang milik Bang Agam, segalanya cemerlang, indah dan baru.
Pernikahan macam apa yang kujalani? Bang Agam berubah total. Dia mulai menunjukkan sisi gelapnya setelah kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan.
Tersisa adikku semata, dia sedang di luar negeri karena menerima beasiswa S2.
Ditambah lagi, di tahun kedua pernikahan ibu mertua mendadak minta tinggal bersama kami. Dia memberi berbagai macam alasan, termasuk perkara disiksa oleh menantu perempuannya di rumah.
Sekarang, aku paham alasan kenapa ibu mertua bertengkar dengan ipar Bang Agam. Semua ini karena ibu mertua masih suka ikut campur urusan anak-anaknya, tidak rela uang putra-putranya diberikan untuk menantu.
Bedanya, adik Bang Agam membela istrinya. Dia memberi jatah yang cukup untuk ibu mertua setelah memastikan kebutuhan istri dan anaknya terpenuhi.
Sedangkan suamiku ... malah sebaliknya. Dia mengutamakan ibu, tidak ... menjadikan ibunya ratu dan membuat istrinya jadi babu. Nafkah lima belas ribu sehari dianggapnya cukup, karena segala pengeluaran selain makanan dan minuman sudah diurus ibunya.
Tidak ada nafkah bagiku, sebab nafkah rumah tangga saja diberikannya seala kadar.
“Ima, buka pintunya! Bukaaaa ....”
Aku diam, membungkam diri di ranjang kami yang bagus dan lembut. Seluruh rumah ini mewah, kecuali diriku.
“Ima, aku harus berangkat kerja. Apa kamu akan tetap kekanakan begini? Benar kata Ibu, kamu memang suka memanfaatkan keadaan. Kamu tahu gajiku besar, jadi selalu jajan dan menghabiskan uang untuk diri sendiri. Makanya kamu tidak bisa belanja bahan dapur.”
Mendengarnya berbicara demikian, aku menghela napas. Bangkit dari ranjang, kuputuskan untuk menghadapi Bang Agam sekali lagi.
Krek! Aku membuka pintu.
Langkah pertama, aku keluar dari kamar. Bersamaan denganku, ibu mertua juga muncul.
Perempuan itu sudah berpakaian rapi, memakai emas di kedua lengan. Wajahnya berbinar bahagia dan tidak peduli dengan permasalahan lain di dalam rumah ini.
“Gam, bisa antar Ibu ke toko emas? Ibu pengen cepat-cepat beli emasnya. Takut kehabisan model yang Ibu mau,” ucapnya yang membuatku menggelegarkan tawa.
“Sarapan emas saja, Bang. Bisa kenyang sampai sebulan itu."
"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku."Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?""Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku."Tsk
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu