Share

Bab 3: Membalas Mertua dan Suamiku

Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu. 

“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”

“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras. 

Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila. 

“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya. 

Aku menerima palu godam yang dilemparkan Bang Agam ke ulu hatiku. Pria yang memakai jam seharga dua juta setengah itu berkacak pinggang, tidak merasa bersalah setelah membuat istrinya hidup menderita dan serba kekurangan. 

“Kalau begitu, nikahi saja Ibumu, Bang. Seharusnya kamu tidak perlu nikah, supaya bisa berbakti seumur hidup dengan Ibu, juga tidak perlu membagi gaji dengan perempuan lain. Syukur-syukur kita belum punya anak, kalau enggak, apa mau kamu suruh minum air cucian beras anakmu nanti?” paparku. 

Setelah berkata demikian, aku melenggang pergi dari hadapan Bang Agam. Air mata ini tumpah ruah tidak terhentikan. 

Semalaman suntuk, aku juga menangis dalam keheningan malam. Bang Agam baru saja menerima gaji dan langsung diberikannya untuk ibu sebesar dua belas juta. 

Sedangkan aku hanya duduk di sampingnya, memandangi tumpukan uang yang tidak pernah diberikan untukku. 

Semalam, ibu mertua mengomel pada Bang Agam jika teman arisannya baru saja dibelikan emas oleh anaknya. Harganya sepuluh juta, jadi ibu mertua mau dibelikan yang lebih mahal agar saingannya kalah. 

Tanpa pikir panjang, Bang Agam mencairkan uang sebanyak itu, lalu memberikannya untuk ibu mertua. Setelah itu, dia mengeluarkan uang sebesar seratus lima ribu rupiah dan langsung disodorkannya padaku yang duduk di meja. 

“Buat seminggu, Dek. Berhematlah, bulan ini pengeluaran kita banyak.” 

“Benar itu, Ima. Harus hemat-hemat, ya?”

Ibu mertuaku semringah luar biasa. Dia mengendus uang segepok pemberian putranya tanpa rasa bersalah. Bahkan tidak melirik menantu yang tidak sanggup mengganti bra dan celana dalam meski sudah begitu mulur.

Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu sekeras mungkin. Rumah bagus yang dibeli oleh Bang Agam saat dia masih lajang ini juga membuatku begitu tersisa. 

Ada lemari besar berbentuk letter L melingkari kamar. Dari delapan pintunya, hanya ada dua untukku. Ditutupi oleh pintu kaca hingga terlihat jelas seluruh isinya.

Barang-barangku buluk semua. Tidak ada yang bagus, meski hantaran pernikahan dulu, saking seringnya kupakai. Sedang milik Bang Agam, segalanya cemerlang, indah dan baru.

Pernikahan macam apa yang kujalani? Bang Agam berubah total. Dia mulai menunjukkan sisi gelapnya setelah kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. 

Tersisa adikku semata, dia sedang di luar negeri karena menerima beasiswa S2. 

Ditambah lagi, di tahun kedua pernikahan ibu mertua mendadak minta tinggal bersama kami. Dia memberi berbagai macam alasan, termasuk perkara disiksa oleh menantu perempuannya di rumah. 

Sekarang, aku paham alasan kenapa ibu mertua bertengkar dengan ipar Bang Agam. Semua ini karena ibu mertua masih suka ikut campur urusan anak-anaknya, tidak rela uang putra-putranya diberikan untuk menantu. 

Bedanya, adik Bang Agam membela istrinya. Dia memberi jatah yang cukup untuk ibu mertua setelah memastikan kebutuhan istri dan anaknya terpenuhi. 

Sedangkan suamiku ... malah sebaliknya. Dia mengutamakan ibu, tidak ... menjadikan ibunya ratu dan membuat istrinya jadi babu. Nafkah lima belas ribu sehari dianggapnya cukup, karena segala pengeluaran selain makanan dan minuman sudah diurus ibunya. 

Tidak ada nafkah bagiku, sebab nafkah rumah tangga saja diberikannya seala kadar.

“Ima, buka pintunya! Bukaaaa ....”

Aku diam, membungkam diri di ranjang kami yang bagus dan lembut. Seluruh rumah ini mewah, kecuali diriku. 

“Ima, aku harus berangkat kerja. Apa kamu akan tetap kekanakan begini? Benar kata Ibu, kamu memang suka memanfaatkan keadaan. Kamu tahu gajiku besar, jadi selalu jajan dan menghabiskan uang untuk diri sendiri. Makanya kamu tidak bisa belanja bahan dapur.”

Mendengarnya berbicara demikian, aku menghela napas. Bangkit dari ranjang, kuputuskan untuk menghadapi Bang Agam sekali lagi. 

Krek! Aku membuka pintu. 

Langkah pertama, aku keluar dari kamar. Bersamaan denganku, ibu mertua juga muncul. 

Perempuan itu sudah berpakaian rapi, memakai emas di kedua lengan. Wajahnya berbinar bahagia dan tidak peduli dengan permasalahan lain di dalam rumah ini. 

“Gam, bisa antar Ibu ke toko emas? Ibu pengen cepat-cepat beli emasnya. Takut kehabisan model yang Ibu mau,” ucapnya yang membuatku menggelegarkan tawa. 

“Sarapan emas saja, Bang. Bisa kenyang sampai sebulan itu."

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status