Share

Bab 6: Membalas Mertua dan Suamiku

Bab 6: Membalas Mertua dan Suamiku

Jam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. 

Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. 

Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. 

Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. 

Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. 

“Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. 

Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seolah ada iblis yang baru saja memanggil. 

“Eh, Mama?” Aku berbalik, perlahan-lahan. Memastikan tidak ada jejak dari apa yang kulakukan hari ini. 

Benar seperti dugaanku, ibu mertua sudah pulang. Aneh … sangat aneh. Tidak biasanya beliau pulang cepat usai membeli emas. Sudah bukan rahasia lagi di rumah ini, kegiatan rutin ibu mertua usai berbelanja adalah menemui teman-temannya untuk memamerkan apa yang baru saja dia beli. 

Tapi … ini?

“Aduh kamu ini, Ima! Mama harus belanja tadi, karena Agam sudah pulang dan kelaparan,” ucapnya. “Kasihan Agam kalau sampai lapar, kan. Dia sudah susah payah cari uang buat kita, ngasih makan kita, membayar kebutuhan kita, Ima.” 

Aku tersenyum kecut mendengar ocehan ibu mertua perihal semua perjuangan Bang Agam. Lihatlah betapa merekahnya bibir Perempuan ini, sebab semua yang diucapkan olehnya barusan hanya dinikmatinya sendirian. 

“Lihat ini, Mama beli ayam setengah, lalu sayur pakcoy, kemudian ….” 

“Setengah, Ma?” Aku menyahut. “Kok Cuma setengah belinya? Kan ada tiga orang di rumah ini,” balasku kembali. 

Jarang-jarang ibu mertua mau mengeluarkan uang untuk belanja, meski aku juga tidak yakin kalau itu dari dompetnya. Pastilah Bang Agam yang sudah mensponsori belanjaan ibu mertua Kembali. 

Jika untuk ibu mertua, maka suamiku rela mengosongkan dompetnya. Kalau untukku, dia lebih rela beradu argument dan marah-marah. 

Sakit? Kini aku sendiri tidak lagi paham apa artinya sakit. Kedua kaki yang menjadi tebal karena memakai sepatu, atau wajah yang selalu terbakas panasnya matahari juga tidak lagi mampu menyakitiku. 

Lantas, mana mungkin hanya karena hal ini aku terluka? 

“Tadi Agam ngasih Mama uang belanja, dua ratus ribu. Mana cukup untuk beli ayam seekor, lagian kan kita bisa makan ….” 

“Ah, maksudnya Mama dan Bang Agam saja yang makan ayam, kan? Aku cukup makan minyak bekas gorengnya,” potongku segera yang membuat ibu mertua terdiam. 

Beliau yang sangat lihai bermain kata dan bersikap langsung berpura-pura tenang. Senyumnya merekah kembali, kemudian memperlihatkan sekali lagi sisa belanjaan. Tidak banyak, hanya beberapa butir bawang, bumbu dapur yang bahkan malu untuk kusebut jumlahnya, dan satu botol santan instan. 

“Mama ngabisin dua ratus ribu buat belanjaan segini?” tanyaku. 

“Iya, kan barang serba mahal, Ima. Kamu kan Ibu Rumah Tangga, pasti tahu.” 

“Ah, iyakah, Ma? Kalau memang serba mahal, terus kenapa Mama dan Bang Agam terus maksa aku buat belanja lima belas ribu sehari?” tukasnya dengan intonasi yang sangat lembut. 

Sebab ibu mertua berbicara santun, aku juga harus melakukan hal yang sama. Jika tidak, maka dirikulah yang akan menjadi penjahatnya di sini. 

“Ah, i-itu kan … lima belas ribu, ya? Hhmm ….” 

“Begini saja, Ma … apa bisa kalau Mama saja yang belanja setiap hari ke pasar? Nanti aku tugas masaknya,” tanyaku lagi. “Kalau Mama yang belanja, bisa dapat budget dua ratus ribu sehari, kalau aku … ISTRINYA ….” Sengaja aku menekan kata istri, sebab mulai kusadari jika Bang Agam berdiri di balik jendela dan menguping pembicaraanku dengan ibu mertua. “Cuma dikasih lima belas ribu sehari. Jajanku jaman kuliah saja tidak segitu, deh! Masak tauge sama tempe tiap hari juga kurang buat bertiga. Belum bawang, cabe, garam, minyak.” 

“I-ima!” 

Aku sedikit terperanjat. Suara lantang yang membelah barusan adalah milik Bang Agam. 

Pria itu buru-buru keluar dari rumah demi menemuiku yang baru saja membalas ucapan ibu mertua. Tanpa basa-basi, dia menarik lenganku kasar, membuatku memekik sebab terhuyung ke arahnya. 

Sakit? Lagi-lagi tidak. 

“Apaan, kamu, Bang!” Aku menyeru tidak mau kalah. 

“Kamu berani nyuruh Mama?” 

“Loh, aku nyaranin, Mas. Apa salahnya kalau aku nyaranin ke Mama buat belanja dari hari ini.” 

“Kalau Mama yang belanja, terus tugas kamu sebagai istri apa? Kelayapan sampe sore? Kaya begini tingkah lakumu sekarang?” 

Aku menyentak tangan, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman kejam Bang Agam. Tidak kusangka jika dirinya akan bersikap seperti ini setelah tiga tahun bersama. Ternyata, segala janji yang pernah diucap dulu tidak lagi bersisa. 

“Tugas … Abang nanyain tugas aku apa? Terus tugas Abang apa sebagai suami?” 

“Ima!” 

“Apa, Bang … aku enggak budeg, enggak perlu teriak segala,” sungutku. 

Diri ini mendadak labil, muak juga kesal. Kuayunkan kaki melangkah menjauh dari mereka. Sekarang, rasanya ingin pergi saja dari muka bumi ini. 

“Ima! Mau ke mana kamu?” 

“Mau healing. Capek, Bang. Sudah, ya? Aku mau healing, mau refreshing.” 

“Gayamu itu selangit, uang dari mana buat healing segala? Masuk dan masak buat aku sama Mama.”

“Heh!” Aku mengembus napas keras. Tidak beranjak apa lagi menuruti perintah itu.

“Sudah, Gam … sudah. Jangan didebat terus Imanya, kasihan dia,” bujuk ibu mertua dengan suaranya yang sangat lembut. 

Saat aku berusaha memundurkan motor, aku tersadar satu hal jika mobil Bang Agam tidak ada di garasi. Entah ke mana dia membawa kuda besi tersebut, benda mewah yang sangat dibanggakan olehnya selama ini. 

Ah, tapi apa peduliku. Semenjak benda itu ada, Bang Agam juga tidak pernah membawaku bersama. Entah apa alasannya, tapi kuyakin pria itu malu andai perempuan lusuh sepertiku menumpang mobil mahalnya. 

Biarlah … aku tidak peduli. Mari kita lihat siapa yang akan kesulitan tanpa diriku.

Akan kubuktikan bahwa kalian telah salah menilai diriku selama ini. 

“Ima!” 

“Agam, ayuk masuk. Mama mau tunjukkan emas baru, Mama. Modelnya baru dan kawan-kawan Mama belum ada yang punya,” jelas ibu mertuaku dari tempatnya berdiri. Beliau menarik Bang Agam meski pria itu masih memalingkan muka ke arahku. 

Sebelum meninggalkan rumah, sempat air mata berlinang di pipi. Kuusap cepat, lalu memacu motor dan pergi sejauh mungkin untuk saat ini. 

Kuyakin, sangat yakin, ibu mertua dan Bang Agam akan sangat menderita malam ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status