Bab 13-B: Membalas Mertua dan Suamiku
“Ima, kamu baru pulang?”
Aku hanya melirik ke arah pintu. Jelas terdengar suara ibu mertuaku. Perempuan itu ada di dalam sedari tadi, tapi tidak peduli dengan keadaan rumah.
“Ima, Agam nyariin kamu seharian. Harusnya kamu itu urus Agam dulu, baru pergi. Ini sudah tidak urus suami, malah keluyuran seharian,” omelnya tanpa membuka pintu. Mungkin ibu mertua mengintip dari balik jendela, entahlah aku tidak tertarik sama sekali.
Aku beristirahat sendirian di luar hingga tiga puluh menit lamanya. Sampai, seseorang muncul dari arah gerbang sembari berjalan kaki. Pria itu pucat, kelelahan dan pakaiannya kusut.
“Dek, ke mana saja kamu seharian?” ucapnya dengan suara yang tertahan. Bisa kutebak seberapa sulitnya dia mencariku hari ini.
Bang Agam duduk di salah satu anak tangga, s
Bab 14-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Buka puasa dulu, Kak?” Suara lembut itu datang dari arah pintu kamar.Aku sedang membereskan beberapa barang bawaan, termasuk milik ibu mertua yang dibebankannya padaku begitu saja. Perempuan berwajah manis itu tersenyum di ambang pintu, dia berdiri di sana, memerhatikan diriku.“Banyak banget barang bawaan Kak Ima dan Bang Agam!” ucapnya kemudian. Geraknya halus saat menyisir anak rambut ke belakang. “Apa Kakak butuh bantuan? Aku bisa bantuin.”“Ah, enggak. Kamu sudah capek masak, sebentar juga selesai, kok.” Aku menyahut setelahnya.Perempuan dengan dua anak yang imut dan cerdas itu langsung melangkah mundur. “Baiklah, Kak. Kami tunggu di meja makan, ya? Ibu juga sudah di sana.”Kuanggukkan kepala. Meski sudah dua jam tiba di rumah mertuaku,
Bab 14-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Denger itu, Ima? Sudah, cuci piring dan masak sana! Biasa juga kamu yang kerjain.”Aku memanyunkan bibir saat mendapat serangan bertubi dari keduanya. Sepertinya, akan sedikit sulit untuk bertahan lebih lama di rumah ini.Tidak ingin memperpanjang masalah di awal, aku bergerak menuju dapur. Begitu berhadapan dengan wastafel, segunung piring kotor sudah menanti.Satu persatu kucuci, tidak berhenti meski Sari terus berbicara dari arah belakang. Perempuan itu mengeluh akan banyaknya pengeluaran dan pekerjaan saat aku dan Bang Agam muncul di rumah ini.“Jadi, kamu keberatan kalau kami tinggal lebih lama di sini?” hardikku usai membilas piring terakhir.Aku mengeringkan kedua tangan, kemudian melihat ke arah Sari. Punggung perempuan itu saja terlihat sebal, apa lagi wajahnya.Sari
Bab 15-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu ngomong apa sih, Dek? Mending bantu Sari berberes di dapur dan masak saja. Ibu bilang kamu tidak peduli dengan keadaan rumah ini, suka main hape sampai siang.”Aku tercengang mendengar penuturan Bang Agam. Pria itu melepaskan tanganku dari dirinya, kemudian mundur beberapa langkah hingga mencapai ranjang. Perlahan, Bang Agam duduk di tepian, memandang hampa ke arah lantai.“Bang, aku sudah dengar semuanya. Kamu mau mengelak lagi?” desakku tidak tahan dengan apa yang dilakukan olehnya.Kudekati Bang Agam. Pria itu malah menghindar.“Sudahlah, aku ngantuk banget. Kamu ganti baju dan bantu Sari di dapur. Semenjak kita ke sini kerjaan dia jadi banyak. Tidak enak kita numpang saja tapi tidak bantu sama sekali. Ibu juga bisa mengomel nantinya,” ucap Bang Agam.Pria itu
Bab 15-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Ah, itu ... Kamu istrinya Agam, kan?” sahut perempuan lain. Wanita yang memakai topi seperti tudung saji itu mengangkat sedikit topinya hingga kedua matanya yang teduh terlihat.“Benar, Bu.” Aku menjawab malu-malu.Setelahnya, beberapa perempuan tersenyum padaku. Mereka membuka ruang, memberiku tempat untuk bergabung.“Udah lama di sini, Dek? Kenapa baru pulang ke sini?” Yang lain mengajakku bicara.Akhirnya aku membaur dengan perempuan-perempuan hebat itu hanya dalam beberapa menit. Mereka menerima hadirku dengan tangan terbuka, mengajak mengobrol hingga tidak terasa canggung sama sekali.Selangkah demi selangkah, kami berjalan bersama. Meninggalkan banyak rumah di belakang hingga pepohonan rindang serta hamparan tanah kebun mulai terlihat.Aku meras
Bab 16-A: Membalas Mertua dan Suamiku Tergopoh-gopoh aku berlari menuju rumah. Di dalam kepalaku hanya terbersit dua pilihan yang sama-sama berat, entah itu mengobrak-abrik seluruh rumah dan menentang keluarga Bang Agam atau memilih untuk menginterogasi Bang Agam lebih dulu.Kesal, muak, aku tidak tahu kata apa lagi yang bisa memggambarkan perasaanku terhadap keluarga ini. Mereka penuh rahasia dan tidak bisa dipercaya sama sekali, termasuk Bang Agam. Andai nanti polisi datang lalu menangkap mereka, aku tidak akan lagi terkejut. Membeli tanah seluas itu saja bisa dilakukannya tanpa sepengetahuanku, apa lagi hal lain. Entah kapan Bang Agam dan ibu mertua beraksi, sebab selama ini mereka sering ada di rumah, tidak terlihat mencurigakan.Rupanya, air menggenang berisi buaya. Tenang namun berbahaya.“Assalamualaikum!” seruku dari depan rumah.Pintu terkun
Bab 16-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Jadi itu alasan kamu keluar seharian, enggak masak dan bantu adik iparku?”“Persetan dengan masak! Sekarang jawab aku, kenapa kamu jadi begini dan dari mana uang itu, Bang? Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku?”“Tidak ada, tidak ada yang aku sembunyikan. Kamu tahu sendiri ke mana habisnya gajiku selama ini.”“Ya, habis buat ibu dan nafkahin keluarga adikmu!” Aku menunjuk dada Bang Agam. Ingin rasanya kuhantam kepala pria itu dengan batu agar dia sadar sekarang kalau istrinya sedang berusaha menyelamatkannya.Bang Agam membelalakkan mata. Netranya bergetar saat kami beradu tatap. Aku menyungginkan bibir, memelototinya dengan angkuh karena satu per satu rahasia pria itu terungkap olehku.“Aku tidak mau membahas ini lagi.”“Tapi a
Bab 17: Membalas Mertua dan Suamiku “Gam, Agam!”Aku melirik ke arah pintu depan usai mendengar teriakan tersebut. Persis dugaanku, ibu mertua masuk dengan Iqmal dan keluarganya, mereka menerjang cepat ke dalam seolah dikejar setan.Diriku menyungging senyum di dapur. Sesaat lalu Bang Agam menuruti keinginanku untuk mengirimkan semua uang di rekeningnya. Pastilah ibu mertua kebingungan saat hendak membayar hingga buru-buru pulang seperti kesetanan.“Agam di mana?” Ibu mertua menerobos ke dapur, menanyaiku keberadaan pria tersebut. Beliau lirik kiri dan kanan, tidak puas hingga menghela napas dengan kasar.Aku mengendikkan bahu. Sungguh tidak tahu ke mana Bang Agam pergi setelah pamit sesaat lalu. Mungkin saja berjanji dengan teman lamanya di sini, atau bisa juga sekadar melepas penat dengan nongkrong di warung kopi.&
Bab 18: Membalas Mertua dan SuamikuAku berkeliling desa sendirian usai bertengkar dengan ibu mertua dan Iqmal. Selangkah demi selangkah, dari jalan aspal hingga jalan bebatuan kuarungi seorang diri tanpa ditemani.Tidak jarang, aku melempar senyum pada orang-orang yang melihat diriku. Sebagian ada yang menyapa balik, sisanya hanya membalas seala kadar.Sebenarnya, aku berharap bertemu kembali dengan para perempuan yang kutemui pagi tadi. Mungkin dari mereka akan kudapati lebih banyak rahasia yang tidak akan pernah diungkapkan oleh Bang Agam lewat mulutnya apa lagi dari ibu mertua dan keluarganya.Nihil! Aku sudah berkeliling desa hingga kedua kaki kesakitan. Tidak ada satu orang pun yang mengajakku mengobrol. Sampai, aku berhenti di sebuah minimarket di pinggiran desa.Sebuah toko yang berada di halaman rumah tersebut berukuran cukup besar dan disesaki berbagai barang. Meski saat aku datang tidak ada pembeli, kuyakin benar usahanya juga lancar.Aku meminta izin untuk meluruskan kedua