Bab 15-B: Membalas Mertua dan Suamiku
“Ah, itu ... Kamu istrinya Agam, kan?” sahut perempuan lain. Wanita yang memakai topi seperti tudung saji itu mengangkat sedikit topinya hingga kedua matanya yang teduh terlihat.
“Benar, Bu.” Aku menjawab malu-malu.
Setelahnya, beberapa perempuan tersenyum padaku. Mereka membuka ruang, memberiku tempat untuk bergabung.
“Udah lama di sini, Dek? Kenapa baru pulang ke sini?” Yang lain mengajakku bicara.
Akhirnya aku membaur dengan perempuan-perempuan hebat itu hanya dalam beberapa menit. Mereka menerima hadirku dengan tangan terbuka, mengajak mengobrol hingga tidak terasa canggung sama sekali.
Selangkah demi selangkah, kami berjalan bersama. Meninggalkan banyak rumah di belakang hingga pepohonan rindang serta hamparan tanah kebun mulai terlihat.
Aku meras
Bab 16-A: Membalas Mertua dan Suamiku Tergopoh-gopoh aku berlari menuju rumah. Di dalam kepalaku hanya terbersit dua pilihan yang sama-sama berat, entah itu mengobrak-abrik seluruh rumah dan menentang keluarga Bang Agam atau memilih untuk menginterogasi Bang Agam lebih dulu.Kesal, muak, aku tidak tahu kata apa lagi yang bisa memggambarkan perasaanku terhadap keluarga ini. Mereka penuh rahasia dan tidak bisa dipercaya sama sekali, termasuk Bang Agam. Andai nanti polisi datang lalu menangkap mereka, aku tidak akan lagi terkejut. Membeli tanah seluas itu saja bisa dilakukannya tanpa sepengetahuanku, apa lagi hal lain. Entah kapan Bang Agam dan ibu mertua beraksi, sebab selama ini mereka sering ada di rumah, tidak terlihat mencurigakan.Rupanya, air menggenang berisi buaya. Tenang namun berbahaya.“Assalamualaikum!” seruku dari depan rumah.Pintu terkun
Bab 16-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Jadi itu alasan kamu keluar seharian, enggak masak dan bantu adik iparku?”“Persetan dengan masak! Sekarang jawab aku, kenapa kamu jadi begini dan dari mana uang itu, Bang? Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku?”“Tidak ada, tidak ada yang aku sembunyikan. Kamu tahu sendiri ke mana habisnya gajiku selama ini.”“Ya, habis buat ibu dan nafkahin keluarga adikmu!” Aku menunjuk dada Bang Agam. Ingin rasanya kuhantam kepala pria itu dengan batu agar dia sadar sekarang kalau istrinya sedang berusaha menyelamatkannya.Bang Agam membelalakkan mata. Netranya bergetar saat kami beradu tatap. Aku menyungginkan bibir, memelototinya dengan angkuh karena satu per satu rahasia pria itu terungkap olehku.“Aku tidak mau membahas ini lagi.”“Tapi a
Bab 17: Membalas Mertua dan Suamiku “Gam, Agam!”Aku melirik ke arah pintu depan usai mendengar teriakan tersebut. Persis dugaanku, ibu mertua masuk dengan Iqmal dan keluarganya, mereka menerjang cepat ke dalam seolah dikejar setan.Diriku menyungging senyum di dapur. Sesaat lalu Bang Agam menuruti keinginanku untuk mengirimkan semua uang di rekeningnya. Pastilah ibu mertua kebingungan saat hendak membayar hingga buru-buru pulang seperti kesetanan.“Agam di mana?” Ibu mertua menerobos ke dapur, menanyaiku keberadaan pria tersebut. Beliau lirik kiri dan kanan, tidak puas hingga menghela napas dengan kasar.Aku mengendikkan bahu. Sungguh tidak tahu ke mana Bang Agam pergi setelah pamit sesaat lalu. Mungkin saja berjanji dengan teman lamanya di sini, atau bisa juga sekadar melepas penat dengan nongkrong di warung kopi.&
Bab 18: Membalas Mertua dan SuamikuAku berkeliling desa sendirian usai bertengkar dengan ibu mertua dan Iqmal. Selangkah demi selangkah, dari jalan aspal hingga jalan bebatuan kuarungi seorang diri tanpa ditemani.Tidak jarang, aku melempar senyum pada orang-orang yang melihat diriku. Sebagian ada yang menyapa balik, sisanya hanya membalas seala kadar.Sebenarnya, aku berharap bertemu kembali dengan para perempuan yang kutemui pagi tadi. Mungkin dari mereka akan kudapati lebih banyak rahasia yang tidak akan pernah diungkapkan oleh Bang Agam lewat mulutnya apa lagi dari ibu mertua dan keluarganya.Nihil! Aku sudah berkeliling desa hingga kedua kaki kesakitan. Tidak ada satu orang pun yang mengajakku mengobrol. Sampai, aku berhenti di sebuah minimarket di pinggiran desa.Sebuah toko yang berada di halaman rumah tersebut berukuran cukup besar dan disesaki berbagai barang. Meski saat aku datang tidak ada pembeli, kuyakin benar usahanya juga lancar.Aku meminta izin untuk meluruskan kedua
Bab 19: Membalas Mertua dan Suamiku “Duduk dulu, Dek. Istirahat dulu di sini, terus kalau sudah tenang hubungi suamimu supaya dijemput,” lirih perempuan itu seraya mengantarku ke kursi tamu.Aku hanya mengiyakan perkataan perempuan itu. Tidak lama setelahnya, aku mendudukkan tubuh di sofa tebal yang lumayan keras, kemudian menjatuhkan pandang pada dinding putih yang ditauti sebuah foto keluarga.Ada lima orang di dalamnya, termasuk perempuan bersahaja barusan. Kutebak sisanya adalah sang suami, anak dan menantu serta cucu perempuan. Mereka semuanya terlihat agamis, bahkan anak kecil tersebut memakai jilbab di dalam foto itu.Beberapa detik kemudian, perempuan tersebut keluar dengan seorang pria berambut putih. Tubuh pria itu masih kekar meski usianya tidak lagi muda. Wajahnya teduh dan senyumnya terlihat sangat tulus.“Ini, Yah. I
Bab 20-A: Membalas Mertua dan Suamiku Aku pulang ke rumah sebelum matahari meninggi. Masih cukup pagi, setengah sembilan tepatnya. Satu tangan menenteng bahan makanan, seekor ayam dan bumbu masakan.Perasaanku berdebar, gemuruh tidak tertahankan memporak-porandakan kewarasan. Kuremas tangan, abai dengan kenyataan jika hadirku kini mengusik tenang Bang Agam yang baru saja keluar dari kamar.Kami saling berpandangan, lalu kubuang dengan sengaja hingga pria itu terluka. Bang Agam berseru, memanggil diriku, “Dek, kenapa lagi?”Acuh, aku berlalu ke arah dapur. Sekarang aku ingin menangis, menumpahkan segalanya sendirian.“Dek, kamu kenapa? Ak
Bab 20-B: Membalas Mertua dan Suamiku “Aku tidak sebodoh itu!” ucapnya lagi, masih dengan intonasi yang rendah.Kami berdiri di belakang pintu dengan posisi berhadapan. Bang Agam terus celingak-celinguk, seperti khawatir ada seseorang yang akan mendengarkan setiap perkataannya.“Lalu?”“Aku minta bantuan dari pemilik tanah sebelumnya, supaya dia beralasan kalau pengurusan tanahnya butuh waktu, ada beberapa masalah dan sertifikat tanahnya belum jadi. Tanah itu atas namaku, Dek.”Kuhela napas, sedikit lega. Setidaknya Bang Agam tidak memberikannya pada Ibu mertua atau Iqmal begitu saja.“Dek, percayalah, aku sebenarnya ....”“Kamu harus kerjasama denganku, Bang. Kalau tidak, aku tidak akan peduli lagi sama kamu.” Aku berkata tegas sembari menekan dad
Bab 21-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Tunggu sebentar, jangan asal bicara!“Aku mengangkat tangan di depan perempuan bernama Tiara. Bisa-bisanya dia mengaku jika Bang Agam adalah ayah dari anak lelaki itu.“Itu kenyataannya!“ Tiara menyahut lagi.Perempuan yang memakai kaos lengan panjang dan celana longgar itu menatap diriku tanpa kedip. Sikapnya juga sangat tenang, bahkan tidak ada keraguan sama sekali dari mulut ranumnya itu.“Mana mungkin ini anaknya, Bang Agam. Suamiku belum pernah menikah!““Kalau datang hanya untuk berdebat denganku, lebih baik kamu pulang saja, Mbak.““Jangan begini, Dek. Dengarkan Ibu dulu, ya?“ sanggah Bu Ustadzah sebelum kami beradu mulut lebih jauh.Perempuan itu berdehem pelan, kemudian memandang ke arah Ibunya Tiara yang duduk diam. Keduanya seperti sedang bersepakat siapa yang harus berbicara lebih dahulu untuk meluruskan hal ini.“Aku minta maaf. Tolong, ceritakan semuanya.“Sadar tujuan ke sini, kubungkam diri dengan sekuat tenaga agar permasalahan