Bab 19: Membalas Mertua dan Suamiku
“Duduk dulu, Dek. Istirahat dulu di sini, terus kalau sudah tenang hubungi suamimu supaya dijemput,” lirih perempuan itu seraya mengantarku ke kursi tamu.
Aku hanya mengiyakan perkataan perempuan itu. Tidak lama setelahnya, aku mendudukkan tubuh di sofa tebal yang lumayan keras, kemudian menjatuhkan pandang pada dinding putih yang ditauti sebuah foto keluarga.
Ada lima orang di dalamnya, termasuk perempuan bersahaja barusan. Kutebak sisanya adalah sang suami, anak dan menantu serta cucu perempuan. Mereka semuanya terlihat agamis, bahkan anak kecil tersebut memakai jilbab di dalam foto itu.
Beberapa detik kemudian, perempuan tersebut keluar dengan seorang pria berambut putih. Tubuh pria itu masih kekar meski usianya tidak lagi muda. Wajahnya teduh dan senyumnya terlihat sangat tulus.
“Ini, Yah. I
Bab 20-A: Membalas Mertua dan Suamiku Aku pulang ke rumah sebelum matahari meninggi. Masih cukup pagi, setengah sembilan tepatnya. Satu tangan menenteng bahan makanan, seekor ayam dan bumbu masakan.Perasaanku berdebar, gemuruh tidak tertahankan memporak-porandakan kewarasan. Kuremas tangan, abai dengan kenyataan jika hadirku kini mengusik tenang Bang Agam yang baru saja keluar dari kamar.Kami saling berpandangan, lalu kubuang dengan sengaja hingga pria itu terluka. Bang Agam berseru, memanggil diriku, “Dek, kenapa lagi?”Acuh, aku berlalu ke arah dapur. Sekarang aku ingin menangis, menumpahkan segalanya sendirian.“Dek, kamu kenapa? Ak
Bab 20-B: Membalas Mertua dan Suamiku “Aku tidak sebodoh itu!” ucapnya lagi, masih dengan intonasi yang rendah.Kami berdiri di belakang pintu dengan posisi berhadapan. Bang Agam terus celingak-celinguk, seperti khawatir ada seseorang yang akan mendengarkan setiap perkataannya.“Lalu?”“Aku minta bantuan dari pemilik tanah sebelumnya, supaya dia beralasan kalau pengurusan tanahnya butuh waktu, ada beberapa masalah dan sertifikat tanahnya belum jadi. Tanah itu atas namaku, Dek.”Kuhela napas, sedikit lega. Setidaknya Bang Agam tidak memberikannya pada Ibu mertua atau Iqmal begitu saja.“Dek, percayalah, aku sebenarnya ....”“Kamu harus kerjasama denganku, Bang. Kalau tidak, aku tidak akan peduli lagi sama kamu.” Aku berkata tegas sembari menekan dad
Bab 21-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Tunggu sebentar, jangan asal bicara!“Aku mengangkat tangan di depan perempuan bernama Tiara. Bisa-bisanya dia mengaku jika Bang Agam adalah ayah dari anak lelaki itu.“Itu kenyataannya!“ Tiara menyahut lagi.Perempuan yang memakai kaos lengan panjang dan celana longgar itu menatap diriku tanpa kedip. Sikapnya juga sangat tenang, bahkan tidak ada keraguan sama sekali dari mulut ranumnya itu.“Mana mungkin ini anaknya, Bang Agam. Suamiku belum pernah menikah!““Kalau datang hanya untuk berdebat denganku, lebih baik kamu pulang saja, Mbak.““Jangan begini, Dek. Dengarkan Ibu dulu, ya?“ sanggah Bu Ustadzah sebelum kami beradu mulut lebih jauh.Perempuan itu berdehem pelan, kemudian memandang ke arah Ibunya Tiara yang duduk diam. Keduanya seperti sedang bersepakat siapa yang harus berbicara lebih dahulu untuk meluruskan hal ini.“Aku minta maaf. Tolong, ceritakan semuanya.“Sadar tujuan ke sini, kubungkam diri dengan sekuat tenaga agar permasalahan
Bab 21-B: Membalas Mertua dan Suamiku Haruskah aku terus mendengarnya?“Dek Tiara juga tenang dulu, jangan dilanjutkan jika memang berat,” sergah Bu Ustadzah kemudian sebab suara Tiara juga menjadi sengau.Kian erat aku mengepal tangan di dalam pangkuan. Bagaimana bisa aku tidak pernah tahu akan hal ini?Apakah ini yang hendak dibisikkan adikku dahulu? Apakah ini alasan kenapa pria muda itu tidak suka dengan Bang Agam?“Keluarga Bang Agam memang begitu dari dulu. Sekarang Mbak Ima mencari informasi sejauh ini, pasti sudah merasakan apa yang kurasakan dulu!“ Tiara tidak berhenti.
Bab 22-A: Membalas Mertua dan SuamikuAku mendobrak masuk ke dalam rumah, tidak mempertimbangkan sama sekali andai ada ibu mertua atau Iqmal di ruang tamu. Bu Ustadzah dan suaminya juga lekas pamit usai mengantar diriku.“Dek? Kamu dari mana … katanya mau jalan-jalan sebentar ke warung, tapi ….“ Pria itu sudah berdiri di balik pintu.Bang Agam menemuiku dengan pakaian rapi. Kaos berkerah dari brand ternama serta celana jeans mahal, seperti akan keluar.Pria itu mencoba menebak diriku lewat gerak dan nada bicara. Dia juga berusaha bersikap perhatian dengan menawarkan segelas minuman dan camilan.Kutolak itu semua. Bang Agam terpana.“Jangan mengajakku bicara kalau kamu masih suka menipu, Bang. Saat kita kembali ke kota, aku akan mengajukan cerai!” tegasku pada Bang Agam dengan bersimbah air m
Bab 22-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek!”“Kita ketemu di pengadilan. Pokoknya ....”“Wallahi aku sayang sama kamu.” Bang Agam berseru.Aku terperangah. Ucapan Bang Agam membuat diriku terbungkam.“Wallahi, Ima. Aku benar-benar sayang sama kamu.”Sesaat, aku hampir terbuai. Harusnya kutampar saja pria ini, tapi tanganku lemas.“Omong kosong, kalau sayang sama aku kenapa kamu perlakukan aku seperti pengemis di rumahmu, Bang? Aku sampai bekerja jadi ojol, ngidupin diri sendiri agar setidaknya masih bisa beli paket internet dan makan seblak seperti perempuan lain!”“Kalau aku biarkan kamu memiliki semuanya, ibu akan menyerangmu, Ima. Ibu akan menyakitimu, Ibu akan menjadikanmu musuhnya. Apa itu yang kamu inginkan?” Bang Agam menekan kata-katanya lagi. Dia mencengkeram kedua pundakku dengan erat. “Ibu tidak pernah suka dengan perempuan manapun
Bab 23-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Ambil, Dek. Aku memang menyiapkannya untukmu!” ulang Bang Agam sekali lagi meski aku mendengar semuanya dengan sangat jelas.Tanganku tidak bergerak, mata ini hanya menatap lekat. Rasanya mustahil jika Bang Agam melakukan hal ini untukku setelah semua yang terjadi di dalam pernikahan kami.Dua tahun sudah aku hidup menderita, serba kekurangan dan kesulitan. Tiba-tiba, Bang Agam menghujaniku dengan uang?“Ini memang milikmu, ambil dan rahasiakan dari ibu atau Iqmal!” ingatnya lagi.Bang Agam beranjak lebih dulu, dia memungut dua lembar ATM itu dan langsung memberikannya padaku. Di dalam genggamanku yang tidak sekuat genggamannya, Bang Agam memaksa agar aku menerima uang sebanyak itu.“Jangan meragukanku lagi, aku memang salah karena merahasiakan soal Tiara dan anak itu. Tapi
Bab 23-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Bang, kamu kenapa?” tanyaku saat melihat Bang Agam mengisi keranjang biru dengan tiga batang cokelat. “Bang, kamu beli apaan?”“Yang kamu suka, Dek. Semoga belum terlambat!” balasnya.Bang Agam terus berjalan mengelilingi supermarket berukuran tiga pintu tersebut. Dia mengisi dua keranjang dengan berbagai makanan ringan, cokelat, roti, selai, dan juga susu UHT. Sedang aku mengekor dari arah belakang tanpa mengerti alasannya bersikap begini.Sampai Bang Agam selesai memilih, lalu kami berjalan menuju kasir. Satu per satu barang pilihan suamiku di-scan, totalnya mencapai empat ratus ribu rupiah, jauh lebih banyak dibanding uang bulanan yang selama ini diberikan olehnya.Tapi, yang aneh adalah Bang Agam tidak lekas membayar. Pria itu berdiri, melipat dua tangan di dada. Sedang s