Share

Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku

Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku

“Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan.

Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata.  

Teringat jelas olehku, kala itu ....

“Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana.

Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi.

Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudian mengurus pria ini serta urusan rumah tangga yang hanya ada kami berdua. Sebab, orang tuaku tinggal jauh dari kami demi mencari rezeki sampai Bapak pensiun dan mereka berjanji akan kembali bersama kami.

“Aku enggak yakin kalau Bang Agam itu cocok sama Kakak. Dia ....”

“Gimana, sih? Kok kamu ngomongnya begitu? Bang Agam itu sudah yang paling tepat buat Kakak. Dia sudah mapan, orang tuanya juga setuju kalau kami menikah,” sungutku sembari membalikkan badan.

Ranjang lembut, selimut tebal, serta bantal dan guling. Aku merasa bak terlentang di atas awan, ditambah lagi di luar sana hujan mengguyur sejak sore, hawa seju menembus kulit dan membuat seluruh tubuhku malas bergerak.

Sejujurnya, telingaku panas mendengar ocehan pria itu, ditambah lagi sikapnya yang sangat meragukan ketulusan Bang Agam untuk menikahi diriku. Bukankah harusnya dia ikut bersyukur atas apa yang terjadi denganku?

Kakak satu-satunya akan segera menikah, dengan seorang pria yang baik kepribadian, pekerjaan dan juga berasal dari keluarga harmonis. Sungguh, aku tidak paham kenapa dirinya bisa begitu khawatir. Padahal, dengan menikahkanku itu artinya bebannya sebagai seorang adik akan jauh berkurang.

“Ya sudah, terserah saja. Jangan nangis kalau nanti Kakak terluka!” balasnya dengan suara ketus.

Saat aku melirik ke arah pintu, pria itu tidak lagi berada di sana. Hadirnya sudah hilang, mungkin kembali ke kamarnya atau pergi keluar untuk jalan-jalan.

Sekarang, setelah ucapannya hari itu, aku mulai berpikir kembali. Pernikahan yang aku kira akan bahagia nyatanya tidak sama sekali.

Jangankan diberi kehidupan layaknya seorang ratu, pembantu rumah tangga saja tidak ada yang digaji lima belas ribu sehari. Lantas, apa lagi yang bisa kujadikan penahan diri untuk tetap meyakini kalau Bang Agam adalah imam yang baik?

“Ima?” Aku tersentak, kaget karena mendengar seruan lantang barusan.

Buru-buru aku mengedarkan pandangan, khawatir jika panggilan kasar yang tertuju padaku berasal dari Bang Agam. Tidak ada yang tidak mungkin, bisa saja pria itu mengekoriku sejak tadi.

“Bener, kamu rupanya. Ngapain di sini malam-malam?” Suara yang tidak asing itu kembali mengudara.

Di bangku panjang yang aku isi sendirian sejak tadi, di bawah tenda persegi sebuah warung penyetan, seorang pria muncul dari arah trotoar. Dia buru-buru menempatkan diri di sebelahku, lalu memesan sepiring makanan.

“Ma, perempuan kok kelayapan?” ujarnya kembali usai melepas jaket.

Kuhela napas. Inilah pria biang kerok yang hampir membongkar statusku di depan Bang Agam tadi siang. Andai saja tidak ada teman Bang Agam, bisa jadi pekerjaan sampinganku sudah diketahui oleh suamiku.

“Mau makan?”

“Tidak, aku makan di rumah saja.” Aku memutus ucapan dengan segera.

Tepat setelahnya, aku beranjak menuju kasir, kesal dengan pria itu yang mengganggu lamunanku. Kubayar segelas teh hangat dan memesan makan malam agar dibungkuskan.

Warung penyet sederhana ini sangat riuh, suara denting dari wajan yang diketuk, deru gas yang menyala hingga desis ayam yang digoreng dalam minyak panas bersahut-sahutan. Tiga pekerja juga sangat sibuk melayani para pelanggan. Hanya seorang pria dengan kopiah duduk di balik meja kecil, sibuk menghitung uang-uang yang diterima dari para pelanggan.

“Pak, aku pesan penyetan satu, dibungkus saja!” pintaku.

Pria itu mengernyit, mungkin bingung sebab aku tidak jadi makan di tempat usai memesan segelas teh. Tapi, tidak kujelaskan apa pun padanya dan langsung membayar harga makanan.

Tidak lama setelahnya, aku berbalik, memacu motor di bawah langit malam serta rembulan penuh yang terang. Sendirian, disapu angin malam yang menusuk kulit. Kini, aku ingin pulang ke rumah Bang Agam dan melihat apa yang terjadi dengan dua orang itu.

Tiba-tiba saja diri ini jadi begitu bersemangat, membayangkan nasib dan keadaan, lalu menertawakan orang-orang yang selalu membuatku bermandikan air mata.

“Assalamualaikum?” Sapaku menyalak di ambang pintu rumah yang terbuka.

Kulangkahkan kaki ke dalam bangunan yang dipenuhi cahaya lampu itu. Tidak gentar, tidak juga ragu.

“Ima, baru pulang kamu?” Bang Agam langsung menodongku dengan ucapan yang tajam. “Kami belum makan sejak tadi.”

Dia berdiri, menyisipkan dua tangan di saku celana longgarnya yang berwarna abu. Wajahnya bersih, rambutnya setengah basah, kaosnya berwarna merah gelap.

“Oh!” sahutku dingin. “Begitu, ya?”

“Kamu bawa apa itu?” Intonasi bicara tidak berubah, kasar dan juga ketus.

“Penyetan, dari warung Pak Ben.”

Lekas aku beranjak menuju meja makan, membuka bungkus makanan hingga aroma gurih dari nasi uduk serta sambal terasi menyeruak seantero rumah. Aku sengaja sekali melakukan hal ini.

Suamiku mengekor dari belakang, dia berdiri di sisi meja, menatap nasi serta ayam goreng yang masih mengepulkan asap. Tidak butuh waktu lama, ibu mertua muncul dari kamarnya.

Denting gelang emasnya berbunyi, menyulut nyeri di ulu hati ini. Bukannya aku tidak rela Bang Agam membahagiakan ibu mertua, tapi setidaknya berikan hak yang pantas untuk kudapatkan sebagai istrinya. Bukannya begini, bahkan mengemis saja juga tidak membuatkan mendapatkan apa-apa.

“Ima, kamu beli ayam penyet?” Ibu mertua berseru riang. Beliau menaikkan lengan daster hingga gelang barunya terlihat. Begitu berkilau, kuning dan terlihat tebal.

“Hu-um!”

“Wah, Alhamdulillah. Duduk, Gam ... akhirnya kita bisa makan.” Ibu mertuaku menarik kursi, lalu mengorek isi plastik yang sebenarnya kosong. “Dari tadi Ibu nungguin kamu, Ma. Ibu dan Agam lapar sekali, Nak. Syukurlah kamu pulang bawa makanan enak.”

Seketika wajahnya mengkerut.

“Maaf, Ibu. Maaf juga, Bang. Aku hanya beli satu, soalnya uangnya cuma cukup buat satu bungkus.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status