Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku
“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.
Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.
“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.
Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.
“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang melayang. “Uangnya tidak ada, bagaimana mau beli lebih.”
Setelahnya, aku beranjak menuju dispenser air dan menuang segelas untuk diri sendiri. Kemudian, mendekati meja makan yang sudah terhidang nasi uduk serta ayam penyet milikku.
Ah, aku kelaparan serta kelelahan. Tapi masih harus menjelaskan kenapa hanya beli sebungkus makanan pada orang-orang yang tidak sadar diri itu.
“Masa tidak cukup? Kamu kan ....”
“Apa, Bang? Mau ngungkit nafkahmu buatku?” sambarku cepat. “Nafkah lima belas ribu itu?”
“Tiap bulan aku beri kamu uang. Pakai saja uang itu untuk membeli makan. Apa susahnya beli lebih?”
“Bang, harga sebungkusnya saja delapan belas ribu rupiah, sedangkan uang harianku dari Abang cuma lima belas ribu. Kalau Abang dan Ibu mau makan juga, kalikan saja delapan belas ribu dengan tiga, totalnya lima puluh empat ribu. Itu untuk satu kali makan!” jelasku tanpa mundur meski hanya selangkah. “Uang makan saja lima belas ribu, tapi minta beli makanan enak tiap hari. Mimpi, Bang!”
Bang Agam terdiam sejenak. Keningnya yang bersih berkerut sampai alisnya hampir bertaut.
Kepala pintarnya itu pasti tidak pernah menghitung sampai sebegini, kan? Tapi, mana mungkin dia sama sekali tidak tahu, mengingat tempatnya bekerja dan lingkungan yang dihadapinya di luar sana. Pastilah Bang Agam tahu betapa mahalnya barang-barang sekarang dan menutup mata akan kondisiku di rumah ini.
“Kenapa, Bang? Kaget? Jangankan dapat nafkah yang layak seperti istri orang lain, makan saja seringnya hanya sisa. Jatahku lima belas ribu, kalau Ibu dua belas juta. Luar biasa.”
Aku menghela napas setelahnya. Sungguh buruk sikapku pada Bang Agam.
Kududukkan tubuh di kursi, lalu mulai menata menu makan malamku yang sungguh lezat ini. Sesuap demi sesuap aku mengisi perut sendirian, membiarkan Bang Agam menatap dengan ekspresi marah, serta ibu mertua yang terus tersedu.
Dua anak-beranak itu terus memeragakan lakon paling terluka di hadapanku, seakan seluruh dunia dan seisinya merundung mereka secara bersamaan. Terlebih, sikap Bang Agam yang berbicara begitu lembut pada ibu mertua, menyalahkan diriku yang tega membuat mereka kelaparan hingga malam hari.
Di meja luas itu, aku sendirian. Sebungkus nasi uduk tidak lagi menggugah selera. Aku berdosa karena membentak Bang Agam, menyakiti perasaannya juga menyinggung ibu mertua.
Air mataku berjatuhan, tidak memberi peringatan. Bagi dua orang yang seharusnya bersikap hangat malah sibuk menyalahkanku di ruang tamu, hingga membuat sesalku barusan menguap begitu saja.
“Nanti Agam yang akan mengajari Ima lagi, Bu. Memang kelakuannya sudah kelewatan selama ini.”
“Iya, Gam. Ibu sedih, Gam. Ibu lapar tapi Ima malah meninggikan suaranya di depan Ibu. Kenapa kita tidak dibelikan juga, Gam? Padahal selama ini kamu beri uang untuk Ima. Ke mana uang-uang yang kamu beri itu, Gam?”
Sayup-sayup aku mendengar Ibu Mertua dan Bang Agam berbicara. Suara keduanya cukup keras, memantul jelas ke dapur rumah nan luas ini.
Meski demikian, aku menutup mata, menghabiskan makanan yang baru saja kubeli. Mengabaikan perkataan lain dari Bang Agam pada Ibu mertua hingga makan malamku usai.
Satu jam berlalu usai insiden tersebut. Aku baru saja mandi dan mengganti pakaian dengan piyama yang sudah pudar warnanya.
Mengayun kaki keluar dari kamar, sorot mataku beradu dengan kehadiran ibu mertua di ruang tamu. Beliau duduk sendirian, menghitung rentengan emas yang melilit lengan. Sepanjang mata memandang tidak terlihat sosok Bang Agam, bahkan di kamar kami juga dia tidak muncul sejak tadi.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam gelang emas nan tebal ... belum termasuk cincin yang ditatanya di atas meja hingga seperti toko emas kecil-kecilan. Sungguh, hatiku panas hingga hampir meledak.
Dulu, tidak pernah kudapati ibu mertua menyimpan emas sebanyak ini. Setelah tinggal bersama kami, Ibu Mertua jadi glamour, menyukai emas lebih dari apa pun, meski itu berarti harus menghancurkan rumah tangga kami. Perihnya lagi, dia tidak peduli.
“Eh, Ima! Sini, Ibu mau tunjukkan sama kamu gelang yang baru saja Ibu beli tadi, Ma. Kata penjualnya, ini model baru.”
Sinis aku tersenyum. Relung dadaku memberontak, ingin sekali menyerukan rasa sakit yang selama ini tersimpan rapi di dalamnya.
Emas Ibu Mertua ratusan gram jumlahnya, sedangkan aku tidak mampu mengganti piyama atau daster dengan yang baru jika menunggu pemberian dari Bang Agam. Bahkan celana dalam dan bra sudah kendur hingga memalukan untuk dijemur.
“Bagus, Bu. Sering-sering beli!” balasku sembari nyengir lagi.
Aku berniat menyindir ibu mertua, tapi beliau merespons, “Iya, bulan depan nanti Ibu beli lagi, tunggu Agam gajian dulu. Kata yang jual, bulan depan sudah keluar model lain yang lebih bagus.”
“Apa?” Aku berseru.
Tidak cukup bulan ini beliau meminta emas pada suamiku, sekarang beliau ingin meminta dibelikan lagi bulan depan? Tidak hanya saat Bang Agam menerima bonus, tapi setiap gajian?
“Iya, Ima. Agam gajinya besar, bisa belikan Ibu emas. Aduh, Ibu senang sekali punya anak seperti Agam. Kamu juga harus bersyukur karena Agam yang jadi suamimu, hidupmu jadi enak, Ma. Besarkan anak kalian nanti dengan baik juga, biar hidupmu sama kaya Ibu pas sudah tua. Tinggal menikmati saja, Ima.”
“Ya Allah!” sahutku. “Sungguh, aku bersyukur sekali, sampai rasanya mau nangis, Bu.”
“Nah, itu ....” Ibu mertua tidak melirik ke arahku. Beliau tersenyum cerah, masih sibuk dengan dunianya yang keemasan itu sampai tidak sadar jika aku sedang menyindir dirinya.
“Oh ya, Bu. Apa dulu Bapak juga begitu, membelikan mertua Ibu emas setiap bulan? Apa sampai menghabiskan semua gaji untuk beli emas? Apa Ibu dapat uang bulanan empat ratus ribu sebulan?”
Berkata demikian, aku berjalan dengan belagu ke arah ibu mertua. Lidahku bersilat kasar sebab sakit hati yang terus-menerus mendera.
Memang beliau tidak memukuliku, tapi sikapnya juga tidak lebih baik dibanding ibu mertua yang memukuli menantu mereka. Siang dan malam tiada jeda, setiap kali bibir ibu mertua terbuka yang keluar hanya kata emas dan emas semata.
“Tidak, mana mungkin begitu. Kalau setiap bulan bapaknya Agam membelikan emas untuk ibunya, sudah pasti Ibu akan protes. Lagian, uang empat ratus ribu mana cukup untuk beli makan!”
“Terus, kenapa Ibu lakukan hal itu padaku dan Bang Agam?” balasku kembali saat sudah berdiri di depan beliau.
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu
Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak ada, mobil Bang Agam tidak ada di garasinya. Ini sudah berapa bulan?” Aku menggerutu sendirian, abai dengan teriakan ibu mertua dari dalam, juga seruan Bang Agam yang bertanya kenapa ada hujan uang di dalam rumah. Aku sibuk memerhatikan garasi, selama ini hanya diisi oleh motor tuaku seorang diri. Ke mana dia membawa mobil mewahnya?“Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya di belakangku selama ini?” “Bu, tolong kumpulkan dulu uangnya sebentar, aku harus menemui Ima.” Suara Bang Agam terdengar perlahan dari dalam rumah. Jelas pria itu panik dan gelisah.Saat aku berbalik arah, Bang Agam sudah berdiri di belakangku. Wajahnya merah, putus asa jelas tergambar di sana.Kuulas senyum, sengaja mengejek pria yang kalang-kabut itu.“Dek, tolong jangan begini. Aku sudah bilang, ini yang terakhir kali. Bulan depan ....”“Bulan depan kenapa? Aku sudah tidak tahan lagi, Bang. Hidup saja berdua sama ibumu!” ketusku pada Bang Agam. Meski bibir menjawab pria
Bab 13-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek, kita mau berangkat, jangan bertengkar dengan Ibu. Lebih baik berdoa supaya selamat sampai tujuan,” tegur Bang Agam.Pria itu menatap diriku melalui jendela mobil. Sesaat sebelum dirinya bergabung di jok kemudi, Bang Agam sempat melirik ke arah rumah, kemudian padaku. Hal yang tidak kumengerti sama sekali namun sepertinya penuh makna.“Agam, nanti di jalan, kita beli buah dan kue buat adikmu.” Ibu mertua berujar. “THR dapat full juga, kan? Jumlahnya sudah dua kali kalau ditambah dengan gaji. Apa THRnya dua kali gaji, Gam? Bukannya posisi besar seperti kamu dapat begitu?”“Hitung terus, Bu!” sahutku dari arah belakang. “Terus Ibu pikirkan mau minta apa lagi sama anak laki-laki Ibu, kemarin sudah berlian, sekarang minta rumah atau mobil, jangan lupa.”
Bab 13-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Ima, kamu baru pulang?”Aku hanya melirik ke arah pintu. Jelas terdengar suara ibu mertuaku. Perempuan itu ada di dalam sedari tadi, tapi tidak peduli dengan keadaan rumah.“Ima, Agam nyariin kamu seharian. Harusnya kamu itu urus Agam dulu, baru pergi. Ini sudah tidak urus suami, malah keluyuran seharian,” omelnya tanpa membuka pintu. Mungkin ibu mertua mengintip dari balik jendela, entahlah aku tidak tertarik sama sekali.Aku beristirahat sendirian di luar hingga tiga puluh menit lamanya. Sampai, seseorang muncul dari arah gerbang sembari berjalan kaki. Pria itu pucat, kelelahan dan pakaiannya kusut.“Dek, ke mana saja kamu seharian?” ucapnya dengan suara yang tertahan. Bisa kutebak seberapa sulitnya dia mencariku hari ini.Bang Agam duduk di salah satu anak tangga, s
Bab 14-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Buka puasa dulu, Kak?” Suara lembut itu datang dari arah pintu kamar.Aku sedang membereskan beberapa barang bawaan, termasuk milik ibu mertua yang dibebankannya padaku begitu saja. Perempuan berwajah manis itu tersenyum di ambang pintu, dia berdiri di sana, memerhatikan diriku.“Banyak banget barang bawaan Kak Ima dan Bang Agam!” ucapnya kemudian. Geraknya halus saat menyisir anak rambut ke belakang. “Apa Kakak butuh bantuan? Aku bisa bantuin.”“Ah, enggak. Kamu sudah capek masak, sebentar juga selesai, kok.” Aku menyahut setelahnya.Perempuan dengan dua anak yang imut dan cerdas itu langsung melangkah mundur. “Baiklah, Kak. Kami tunggu di meja makan, ya? Ibu juga sudah di sana.”Kuanggukkan kepala. Meski sudah dua jam tiba di rumah mertuaku,
Bab 14-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Denger itu, Ima? Sudah, cuci piring dan masak sana! Biasa juga kamu yang kerjain.”Aku memanyunkan bibir saat mendapat serangan bertubi dari keduanya. Sepertinya, akan sedikit sulit untuk bertahan lebih lama di rumah ini.Tidak ingin memperpanjang masalah di awal, aku bergerak menuju dapur. Begitu berhadapan dengan wastafel, segunung piring kotor sudah menanti.Satu persatu kucuci, tidak berhenti meski Sari terus berbicara dari arah belakang. Perempuan itu mengeluh akan banyaknya pengeluaran dan pekerjaan saat aku dan Bang Agam muncul di rumah ini.“Jadi, kamu keberatan kalau kami tinggal lebih lama di sini?” hardikku usai membilas piring terakhir.Aku mengeringkan kedua tangan, kemudian melihat ke arah Sari. Punggung perempuan itu saja terlihat sebal, apa lagi wajahnya.Sari