“Ken,” panggil Vindreya. Gadis itu lagi-lagi sudah berada di atas punggung Kenzo.
“Apaan?” balas Kenzo sembari terus melangkahkan kakinya menuju rumah Vindreya.
“Lo beneran bakal jemput gue ‘kan malam ini?”
“Hem.”
“Janji?”
“Hem.”
“Wah. Kalo beneran, itu artinya ini bakal jadi pertama kalinya lo datang ke acara yang diadain temen sekolah kita. Selama ini, lo selalu aja nolak, ‘kan?”
“Hem.”
“Walaupun gue ragu lo bakal dateng entar malam, tapi pokoknya gue nggak mau tau, lo harus dateng. Ingat, gue majikan lo. Rahasia besar lo ada di tangan gue. Lo nggak bakal aman kalo nolak satu aja perintah dari gue. Denger tuh, Ken?”
“C
Tinggal 15 menit lagi sebelum jam 08.00 malam. Vindreya masih setia menunggu Kenzo di teras rumahnya bersama Hansa. Vindreya terus saja menatap layar ponselnya, berharap Kenzo segera mengirim pesan atau menghubunginya. Namun, hal itu tak kunjung terjadi.“Coba chat atau telepon aja Kenzonya, Vin,” suruh Hansa.Vindreya mengangguk lalu langsung menghubungi Kenzo. Panggilannya berhasil terhubung, tetapi Kenzo tak kunjung mengangkatnya.Tit tit tit.Tampaknya Kenzo dengan sengaja mematikan telepon dari Vindreya. Alis Vindreya merapat. Dia menatap bingung pada ponselnya.“Kok dimatiin, sih?” kesal Vindreya.Ting.Sebuah pesan dari Kenzo masuk. Melihat nama itu saja membuat Vindreya yang tadinya sudah mulai lelah menunggu kini kembali bersemangat dan dengan cepat membuka isi pes
Tok tok tok.“Vin, keluar, dong. Ada yang cariin, tuh,” kata Gavin sambil menempelkan telinga kanannya di pintu Vindreya.“Siapa yang cari, Pa?!” teriak Vindreya dari dalam.“Kamu liat aja sendiri.”Di dalam kamar, mata Vindreya seketika membulat. “Apa jangan-jangan yang dateng itu Kenzo, ya? Makanya yang nyuruh aku keluar bukan Mama, tapi Papa.”Vindreya bergegas turun dari tempat tidurnya lalu berlari kecil menuju pintu kamarnya kemudian membukanya.“Kenzo ya, Pa?” bisik Vindreya.“Liat aja sendiri. Orang itu minta jangan dikasih tau dulu dia siapa.”“Aaah, pasti Kenzo itu.”Vindreya seketika kembali bersemangat dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Dia berlari
Di sebuah bangunan tua, terdapat tiga buah kursi dengan sebuah meja bundar di tengah-tengahnya. Di sana, tampak Kenzo sedang duduk bersama pamannya dan seorang pria berusia 40 tahun yang mana pria itu adalah orang yang menginginkan Gavin untuk dibunuh.Paman Kenzo membuka obrolan. “Jadi, sesuai dengan aturan bahwa clien yang datang pada kami harus membawa data dan bukti kekejaman dari target yang ingin dibunuh. Kalo nggak ada bukti kekejaman dari target, kami nggak akan membunuh. Sementara itu, kalo kami nggak bisa membunuh target sementara di sisi lain jelas-jelas target udah memenuhi kriteria untuk dibunuh, clien boleh melakukan apapun pada pembunuh bayaran sebagai bentuk kekecewannya karena si pembunuh bayaran nggak bersedia menepati perjanjian.”Pria berusia 40 tahun atau clien itu mengangguk paham.“Jadi, hanya untuk malam ini, apa yang ingin Bapak lakuin sama pembunuh bayaran kami?&rdq
Keesokan paginya di meja makan, Vindreya hanya diam, berbeda dengan dia yang biasanya selalu menjadi orang yang paling berisik di rumah itu.“Vindreya, jangan bilang kamu marah sama Mama karena Mama nggak sependapat sama kamu mengenai Kenzo,” ucap Freya.Gavin menggenggam punggung tangan Freya yang berada di atas meja. “Udah, Frey. Jangan bahas itu dulu.”“Vin, sebagai seorang ibu, aku wajar kalo takut anak aku deket sama seorang pembunuh.”“Iya, Frey, iya. Itu wajar, kok, tapi ‘kan ada waktu yang lebih tepat untuk bahas itu nanti.”Ting!Vindreya meletakkan sendoknya di atas piring lalu bangkit dari kursinya. “Aku berangkat sekarang.”Gadis itu berjalan menghampiri Gavin kemudian Freya untuk mencium punggung tangan kedua orang tuanya itu lalu
Jumat pagi itu, Vindreya dan Hansa berjalan beriringan memasuki gerbang sekolah. Keduanya tampak diam, sibuk memikirkan ada di mana dan apa yang terjadi sebenarnya pada Kenzo hingga berhari-hari menghilang tanpa kabar seperti ini. Di depan gerbang, tepatnya di pilar gerbang sekolah tadi, kedua gadis itu masih saja tak melihat Kenzo di sana. Sambil harap-harap cemas, Vindreya dan Hansa terus melangkah, berharap Kenzo sudah lebih dulu berada di kelas nanti.Dengan tatapan kosong, tetapi kaki terus melangkah maju, pikiran Hansa tak pernah lepas dari Kenzo. ‘Lo di mana, Ken? Di saat gue udah ngerasa nyaman banget ada di dekat lo, di saat akhirnya kita didekatkan dengan cara duduk semeja, lo malah menghilang kayak gini.’Langkah kaki Hansa memelan dan mulai tidak terarah menuju kelas tanpa dia sadari. Di sisi lain, Vindreya juga melamun, tetapi dengan langkah kaki yang lebih cepat dan dia masih mampu sedikit lebih mengontr
Sore itu, Vindreya dan Hansa yang baru saja turun dari taksi, kini sedang berdiri di depan sebuah rumah dengan rupa sederhana yang tidak lain adalah rumah Kenzo, sesuai dengan yang Bu Winda beritahukan tadi.“Langsung ketuk aja pintunya, Vin,” bisik Hansa.Vindreya mengangguk.Tok tok tok.“Permisi!” ucap Vindreya.Tak ada jawaban.“Lagi, Vin, lagi.”Tok tok tok.“Permisi! Selamat sore!”Ceklek. Akhirnya pintu terbuka lalu tampak seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah pamannya Kenzo keluar dari sana.“Kalian siapa, ya? Ada urusan apa ke sini?” tanya paman Kenzo.“Saya Vindreya, Pak. Ini Hansa. Kami temen sekelasnya Ken
Siswa yang lain kompak menengok ke pintu kelas. Benar saja. Kenzo tampak baru saja memasuki kelas dengan … menggunakan tongkat. Laki-laki yang dijuluki pangeran hitam itu seketika menjadi pusat perhatian. Tidak hanya di kelasnya, bahkan saat berjalan menuju sekolah sampai menyusuri koridor tadi, dia memang sudah menjadi pusat perhatian.Mulut Vindreya menganga. Tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari mulutnya melihat Kenzo yang sedang berjalan pincang sambil memakai tongkat.Kenzo yang sudah tidak tahan ditatap seperti itu oleh teman-temannya seketika berhenti di depan papan tulis sambil menatap tajam. “Apaan liat-liat, hah?”“Kaki lo ….” Dimas menunjuk kaki kanan Kenzo.“Kenapa kaki gue? Nggak pernah liat kaki lo?”“Bu--bukan itu. Maksud gue … kaki lo kok bisa …..” 
Siang itu Vindreya dan Hansa sedang berada di toilet untuk becermin. Hansa beberapa kali melirik Vindreya yang sejak tadi tak henti tersenyum. Tampaknya gadis itu sedang sangat bahagia karena Kenzo kembali masuk sekolah.Hansa juga sebenarnya bahagia. Ya, tentu saja bahagia. Dia juga mencintai Kenzo dan sangat merindukan laki-laki itu hingga akhirnya laki-laki itu kembali dan mereka bisa kembali duduk bersebelahan. Namun, kerinduan Vindreya yang teramat besar membuatnya terus saja mendekati Kenzo hingga membuat Hansa solah-olah tak memiliki kesempatan untuk mendekati laki-laki itu.“Em, Vin,” panggil Hansa lembut.Masih dengan senyum mengembang di wajahnya, Vindreya menoleh. “Iya, Han?”“Lo nggak lupa ‘kan kalo hari ini harusnya lo fokus PDKT ke Elvano?”Vindreya mengangguk. “Tapi kayak yang gue bilang waktu ke lo bahwa ….”“Bahwa lo cinta sama K