“Berry! Aku akan melaporkanmu ke polisi!” teriak Shinta penuh kemarahan. Berry mengusap wajahnya yang memerah akibat tamparan. Dia lalu menatap Shinta sambil mendengus miring, “Shinta, kamu jangan lebay. Aku ngga salah apa-apa. Kalaupun aku dipenjara, kamu yang bakalan rugi.” “Nggak!” tegas Shinta. “aku nggak peduli lagi! Aku nggak sudi punya Kakak kayak kamu!” “Kamu nggak ngerti ya maksudku?” Berry melemparkan senyuman miring. “Biar aku kasih tahu. Kalau aku dipenjara, orang-orang yang aku hutangi akan mencarimu. Mungkin hari ini kamu bisa selamat dari cengkraman singa, tapi gimana di kemudian hari?” Berry sengaja menakut-nakuti Shinta, karena tujuan yang sebenarnya adalah memaksa Ayyara secara tidak langsung untuk membayar hutang-hutangnya. Dia tahu Ayyara tidak akan membiarkan hal buruk terjadi kepada sahabat akrabnya. “Kamu benar-benar manusia biadap, Berry!” Teriak Shinta penuh emosi. “kenapa manusia kayak kamu dilahirkan ke dunia?!” Berry menanggapinya dengan santai, “Maka
“Sesuai laporan. Seret dia ke kantor polisi!” jawab Ayyara.“Apa?!” pekik Berry dengan mata melebar, tetapi di detik berikutnya dia tertawa awkward. “pasti kamu bikin surprise buat aku.”Ayyara menunjukkan wajah girang, “Ya, benar sekali. Surprisenya berupa hukuman penjara bertahun-tahun. Aku harap kamu menyukainya, Berry.”Berry terdiam seketika. Dia lalu menatap Ayyara dengan mata melotot, “jangan bercanda, Ayya. Kamu nggak mau 'kan hal buruk terjadi sama Shinta? Ingat, Ayya! Aku nggak main-main!” nadanya penuh penekanan.Berry yang bodoh tak menyadari kalau ucapannya adalah sebuah kalimat ancaman. Tentu saja dua orang polisi itu yang mendengarnya tidak punya keraguan untuk menyeret pria itu ke kantor polisi.“Apa-apaan ini?!” Berry terkejut kala dua orang polisi itu tiba-tiba mencengkeram dan memborgol tangannya “Lepaskan aku! Aku nggak bersalah!”“Anda kami tangkap. Dan anda bisa menjelaskan di kantor polisi,” tegas polisi itu. Nyali Berry menciut. Keringat dingin mulai membasahi
“I love you, Raja,” gumam Shinta. “kamu milikku.”Namun, Shinta cepat-cepat menggelengkan kepala saat menyadari kegilaannya.“Oh, Shinta. Kamu pikir apaan sih,” gumamnya sambil mengusap wajahnya. “Raja suaminya sahabat akrabmu.”Anehnya, pandangan Shinta perlahan kembali fokus ke arah Raja.“Tapi nggak ada salahnya berandai-andai, 'kan?” tanyanya, lalu kepalanya mengangguk. “Iya, boleh. Aku cuma berandai-andai, bukan merusak rumah tangga sahabatku.”Shinta kembali membayangkan sosok pria itu adalah suaminya, tetapi pikirannya itu langsung sirna kala melihat Raja dan Ayyara berjalan menuju ke arah mobil.Raja masuk di kursi kemudi, sedangkan Ayyara memilik duduk di kursi belakang untuk menemani Shinta.“Maaf, sudah menunggu lama. Hehe,” ucap Ayyara.Shinta mengangguk pelan, “Nggak apa-apa.”Raja melajukan mobil ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, dia hanya fokus menyetir sambil mendengarkan Ayyara dan Shinta berbincang-bincang tentang masalah yang menimpa keluarga Shinta.Dua puluh m
“Aku ingin istrimu,” ucap Bagas. Aura istimewa seketika keluar dari dalam diri Raja. Namun, dia tak langsung menghukum pria itu, karena di sekitar sana banyak orang yang berjaga-jaga dengan senjata api. Bagas merasa gentar, tetapi di detik berikutnya dia mengulas senyuman miring. Tentu saja dia tak boleh terimindasi, karena situasi saat ini ada dalam kendalinya. “Aku suka mata elangmu. Tajam dan mengerikan. Tapi sayangnya elang salah masuk kandang,” sindir Bagas dengan senyuman mengejek. “Bukankah kemarin kamu berani mengancam dan menyentuhku? Kok sekarang cuma berani melototiku saja?” Tiba-tiba Bagas tertawa sekeras-kerasnya. Wajahnya begitu semringah, “Apa sekarang kamu mengenal siapa Bagas? Makanya jangan sok-sok-an berani melawanku!” Namun, raut wajah Bagas berubah kesal karena mata tajam Raja masih tertuju ke arahnya. “Sebaiknya jaga matamu sebelum aku terpaksa mengeluarkan bola matamu itu!” ancam Bagas penuh penekanan. Bagas menatap Raja dengan mata melotot, tetapi anehnya
“Aku ingin bersenang-senang dengan nyawamu!” seru Raja sambil mendorong tubuh Bagas hingga terduduk di sofa. “Ra-ja. Ki-ta bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap Bagas mencoba kembali bernegosiasi. Raja duduk menghadap Bagas. Dia memainkan pistol di tangan untuk menakut-nakuti pria itu. “Ada wasiat terakhir yang anda ingin sampaikan?” tanya Raja sambil mengulurkan pistol ke depan. Bagas beringsut mundur, tubuhnya semakin gemetar saat tertahan oleh pinggiran sofa. “Ka-mu bisa meminta apa-pun asal jangan bunuh aku.” Bagas memohon dengan wajah ketakutan. “uang, mobil, berlian, semuanya aku berikan.” Rahang Raja mengetat, “Anda mencoba menyogokku? Sayangnya aku bukan pria yang gila harta.” Tentu saja Bagas semakin panik. Dia tampak berpikir keras mencari cara lain untuk menggagalkan niat Raja yang ingin membunuhnya. “ja-jadi apa maumu?” tanya Bagas–gugup. “se-semua keinginanmu pasti aku kabulkan.” “Harusnya anda berpikir dua kali sebelum berniat ingin menyentuh istriku,” Raja menurun
“Sepertinya kita lanjut ke permainan lainnya!” ucap Raja. “Apa yang akan kamu lakukan? Aku sudah tersiksa,” protes Bagas. Raja mengambil air mineral botol 600 ml dan menyodorkan kepada Bagas, “Minumlah sampai habis.” Bagas menerimanya dengan harapan ini adalah permainan gila terakhir yang diterimanya. Selagi pria itu meneguk air, Raja tiba-tiba bertanya, “Apakah anda punya seorang anak?” Bagas mengangguk cepat, “Aku punya dua orang anak perempuan.” “Apa yang kamu lakukan jika ada orang yang mengaku terang-terangan ingin melecehkan anakmu?” tanya Raja. “Aku akan pasti membunuhnya saat itu juga.” Bagas menjawab jujur. “Aku juga akan melakukan hal yang sama,” sahut Raja sambil memainkan pistol di tangan. Mata Bagas membulat, ternyata pertanyaan Raja adalah sindiran untuknya. Bagas pun segera menurunkan tubuhnya dan berlutut di hadapan Raja, “Aku sungguh sangat menyesal. Aku–” “Naik, permainan kita belum selesai,” potong Raja sambil mengarahkan pistolnya ke wajah Bagas. Bag
Suara Ayyara menyadarkan Raja dari lamunan, “Mas?”“Tunggu sebentar. Aku dalam perjalanan,” jawab Raja, lalu memutus sambungan telepon usai mendapat jawaban dari Ayyara.Raja bergerak cepat. Dia menghubungi Anton untuk menangkal hal buruk yang tidak diinginkan. Di dering ke tiga teleponnya terangkat, “Halo, Pak Raja,” sapa Anton dari seberang sana.Tanpa basa-basi Raja mengutarakan keinginannya. “Ada tugas untukmu. Sekarang Kakek meminta istriku untuk menemuinya. Kamu pastikan kalau dia tidak akan menceritakan masalah itu kepada istriku.”“Baik, Pak Raja.”“Pastikan Kakek tidak curiga,” pesan Raja.“Baik, Pak. Aku mengerti.” Raja memutus sambungan telepon, lalu menghidupkan mesin mobil dan melajukan menuju rumah sakit umum.Setiba di rumah sakit, Raja menghentikan mobil di samping Ayyara yang sudah menunggunya di pinggir jalan.Ayyara masuk dan duduk di samping Raja. Dia langsung mendekatkan wajahnya untuk mencium pipi sang suami.“Ke rumah Kakek dulu ya, Mas,” pinta Ayyara yang dib
Ayyara yang membaca pesan itu seketika melebarkan senyuman. Baginya, Nugraha sangat lucu karena seperti orang jauh yang merasa tidak enak hati hanya persoalan membatalkan pertemuan.Ayya pun membalas pesan itu sambil menyengir, [Haha Kakek ada-ada saja. Ayya tidak akan pindah Negara, jadi masih banyak waktu untuk melepas rindu.]Sementara, polisi itu menyampaikan permintaan maaf kepada Raja.“Baiklah, Pak. Aku mengerti Bapak hanya menjalankan tugas. Justru aku apresiasi kinerja kepolisan yang bergerak cepat menanggapi aduan masyarakat. Hanya saja aku berharap polisi jangan tebang pilih dalam menangani kasus hukum.” Raja setengah memuji, juga setengah menyindir.“Tentu saja. Kami sangat tegas. Setiap menangani kasus, kami tidak memandang status pelaku dan korban,” balas polisi itu dengan wajah serius.Raja yang sudah malas berada di tempat itu, lantas dia pun bertanya, “Kalau begitu boleh aku pulang sekarang?”“Tentu saja. Bapak bisa pulang dengan tenang.”Raja menoleh ke arah Ayyara,