“Apa?!” sergah Nadina langsung menajamkan matanya ke arah Nadhif yang saat itu juga langsung menoleh ke arahnya. “Aku harus tidur bersama Mas Nadhif?! Tidak! Aku tidak mau! Mas! Mas sudah janji tidak akan menyentuh Nadina tanpa izin dari Nadina. Lalu sekarang Mas Nadhif hendak melanggar janji itu?” pekik Nadina. Nadhif menurunkan tatapannya menjadi lebih lembut daripada sebelumnya. Pria itu berbalik lalu duduk di ranjang empuk yang belum pernah ia rasakan semenjak ia pindah ke kamar itu. “Saya tahu apa maksudmu meminta janji itu kepada saya, Nadina. Saya berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa persetujuanmu. Kita hanya akan tidur di sini. Nadina, saya pernah meminta syarat agar tidak boleh ada yang tahu pertengkaran kita bukan? Dan sekarang umi mulai curiga jika kita belum melakukan apapun. Bukankah ini melanggar janjimu kepada saya?” papar Nadhif memandang Nadina yang terus tampak gusar. “T– tapi, tapi tidak perlu seperti ini juga ‘kan, Mas? Bagaimana jika suatu saat itu terjadi?”
“Tidak, Abi! Tidak. Mas Nadhif sangat baik. Abi tidak perlu khawatir tentang itu. Abi tahu sendiri jika Mas Nadhif adalah pria yang baik,” sahut Nadina sedikit terbata. “Di dunia ini banyak pria baik Nadina. Banyak juga wanita baik. Namun tak banyak yang menjadi suami dan istri yang baik. Itu adalah sesuatu yang sulit. Membangun rumah dari dua raga dan jiwa yang berbeda memanglah sulit. Itulah tantangannya. Bagaimana kedua orang baik ini mengalahkan ego mereka untuk membuat rumah baru yang nyaman untuk keduanya tinggali.” Ali menoleh sebentar ke arah Nadina. “Abi, ada hal yang ingin Nadina tanyakan. Apa boleh?” lirih Nadina langsung menghentikan langkah kaki Ali. Pria paruh baya itu menghadapkan tubuhnya ke arah Nadina lurus. “Tentu saja boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?” “Mengapa Abi dan bapak menjodohkan kami berdua? Nadina belum pernah sekalipun bertemu dengan Mas Nadhif. Apakah ini keinginan Mas Nadhif?” tanya Nadina. Jantungnya berdegup amat kencang, jari jemarinya te
“Sarah! Tolong kamu angkat yang dari oven, Nak!” pekik Aminah memotong pertanyaan Nadina yang telah amat penasaran itu. “Nggih, Umi!” pekik Sarah. “Maaf ya, Mbak! Saya permisi dulu. Tapi gini, Mbak! Gus Nadhif baik kok! Pasti Gus sangat mencintai Mbak Nadina. Jadi tidak mungkin terjadi sesuatu yang lainnya! Maksud saya jangan memikirkan tentang wanita itu, Mbak!” tutur Sarah. Nadina hanya sedikit mengangguk lalu turut bangkit dari posisi duduk silanya menuju sang umi. “Umi, maaf sekali. Kalau Nadina izin kembali ke kamar terlebih dahulu apakah boleh? Nadina melupakan sesuatu di sana. Ada yang ingin Nadina bicarakan juga dengan Mas Nadhif,” tutur Nadina mengutarakan izinnya dengan amat berhati-hati. “Tentu, Nak! Silakan! Kita juga akan selesai setelah ini. Tak masalah, kembalilah ke kamarmu.” Dengan cepat Nadina berlari kembali ke arah kamarnya. Entah pikiran apa yang ada di kepalanya itu. Entah amarah karena Nadhif memiliki sosok wanita lain yang tak ia ketahui atau apa. Yang pa
Nadhif sedikit tercekat atas sentakan yang dikeluarkan Nadina dari mulutnya. Pemuda itu bahkan sedikit bingung atas apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini. Nadina tampak amat marah dan terus menyebutkan jika Nadhif memiliki wanita lain di dalam hatinya terlebih setelah Nadhif mengiyakan pertanyaannya itu. “Jadi siapa nama wanita itu, Mas? Kapan dia akan kembali kemari?” tanya Nadina menatap Nadhif kelu. “Sepertinya ada salah paham di antara kita Nadina. Apa yang saya maksudkan berbeda dengan apa yang kamu maksudkan.” “Baiklah! Biar aku perjelas di sini! Sebelum pernikahan ini terjadi, Mas Nadhif sedang dekat dengan salah satu santriwati bukan? Namun tiba-tiba wanita itu pulang entah karena apa. Semua warga pondok mengira jika Mas Nadhif akan menikahinya. Namun sekarang? Mas malah menikahi Nadina. Apa ini, Mas?! Kenapa tak jujur saja sejak awal?!” sergah Nadina. Jantung Nadhif kini berdetak lebih cepat daripada sebelumnya. Penjelasan yang Nadina berikan memang tak menjelaskan sia
“Nadina, bisakah kamu kemari sebentar?” Suara Nadhif langsung membuat Nadina tersentak dan meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas. Wanita itu berjalan lalu berhenti di samping Nadhif tanpa berjongkok atau turut duduk di bawah. “Duduklah dulu,” pinta Nadhif. Kali ini Nadina langsung melaksanakannya tanpa banyak melawan. Duduklah ia di depan sang suami yang hanya berbataskan meja Al-Quran. “Ini yang akan kita lakukan setiap hari selepas sholat maghrib sembari menunggu waktu isya datang. Kamu dan saya, akan bersama-sama membaca surah Al-Waqiah.” Nadhif memandang Nadina yang malah melamun memandang rentetan tulisan arab di sana. “Nadina?” panggil Nadhif. “Nadina tidak sefasih Mas Nadhif. Nadina akan membacanya sendiri nanti. Mas Nadhif tetap bisa membacanya dengan tempo yang Mas Nadhif punya,” jawab Nadina. “Saya akan menuntun dan menunggumu, Nadina. Kita akan membacanya bersama. Dan setelah membacanya, saat itu akan masuk waktu isya. Dan setelah isya, kamu bebas menanyakan apap
“Mengapa Mas Nadhif selalu lama di kamar mandi saat datang waktu tidur, hah?!” omel Nadina sambil terus mengentakkan kakinya dan memandang ke arah toilet. Sepuluh menit yang lalu Nadhif memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum keduanya hendak menuju ranjang dan tidur dengan pembatas guling yang telah Nadina tata. “Astaga! Apa dia sengaja berlama-lama di sana dan membiarkanku tertidur lebih dulu?! Lalu dia akan– astaga!! Tidak!! Tidak akan kubiarkan itu semua terjadi! Biar aku tunggu lima menit lagi jika tetap saja ia tak keluar, kudobrak pintunya kencang!” imbuhnya. Namun mustahil bagi Nadina menunggu lebih lama lagi. Baru setengah menit mulutnya mengatup, ia malah berjalan cepat menuju toilet. Tak menunggu apapun ia segera menempelkan tubuhnya dan hendak mendorong pintu tersebut. Namun rupanya, dari dalam toilet Nadhif juga tengah membuka pintu toilet. Bencana terjadi, Nadina terhuyung ke dalam toilet dan menabrak Nadhif di dalam sana. Kejadian yang tanpa aba-aba itu sontak memb
“Kenapa Mas Nadhif tersenyum seperti itu? Mas Nadhif mau meledek Nadina?” sergah Nadina menatap tajam mata Nadhif. Nadhif sejenak menundukkan pandangannya lalu kembali tersenyum kepada Nadina bersamaan dengan diangkatnya tisu itu dari bibirnya. “Tidak, tidak apa-apa. Maaf karena membangunkanmu dengan begitu mengejutkan,” sahut Nadhif. “Tangan Mas Nadhif sakit?” Nadhif dengan cepat menggeleng. Karena benar meskipun tangannya itu telah sekian jam menjadi bantal tidur Nadina, namun keajaiban datang dan tak membuatnya merasakan sakit atau lelah. “Kalau begitu pasti bibirnya sakit?!” lanjut Nadina. “Tidak, Nadina. Saya baik-baik saja. Sungguh. Kamu tidak perlu khawatir. Semua baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu? Ada yang sakit?” tanya Nadhif mengingat jika kepala sang istri juga sempat terantuk. “Tidak ada. Nadina mau ke kamar mandi saja dulu, Mas Nadhif jangan ke sana!” segah Nadina tampak sedikit panik lalu pergi ke dalam toilet segera. Nadhif sebentar menyunggingkan senyuman.
Nadhif sebentar mengerutkan dahi dan menaikkan alisnya memandang Nadina. Pemuda itu tampak sangat berharap mendapat jawaban dari Nadina atas kebingungannya yang seketika datang itu. Nadina sejenak memegang ujung bibirnya sebagai pertanda apa yang sang bibi katakan ada hubungannya dengan bibir luka milik Nadhif. Nadhif dengan segera meraba ujung bibirnya, dilihatnya jari jemarinya usai menyentuh bibir itu pelan. Warna merah membasahi jarinya. “Astaga! Sepertinya saya sudah membersihkannya tadi di toilet dan sudah tidak keluar lagi. Kenapa saat berada di hadapan keluarga dia malah tampak bebas keluar seperti ini!” batin Nadhif. “Aah, sudahlah! Tidak apa-apa! Tidak perlu malu seperti itu! Kita semua juga pasti pernah mengalami ini bukan?!” sergah sang bibi memandang Aminah mencari persetujuan wanita itu. “Jangan membuat mereka malu. Ayo segera duduk dan makan Nadhif, Nadina!” kekeh Aminah. Nadhif dan Nadina segera duduk di kursi makan mereka dengan perasaan canggung yang amat memba