Nadina tercekat lagi mendengar tambahan pertanyaan yang baru saja dituturkan oleh Rayyan. Entah apa yang pemuda itu pikirkan, namun kini menurutnya, pertemuan antara dirinya juga sedikit terkesan aneh. Nadina tak langsung menjawab, bahkan wanita itu terkesan tutup mulut dan tak berniat menjawab pertanyaan Rayyan yang membuat pemuda itu penasaran setengah mati. “Nadina?” ulang Rayyan membuat Nadina sedikit tersentak dari lamunannya. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya tentang itu? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Nadina balik bertanya. Rayyan mengencangkan tangannya pada kemudi lalu menatap jalanan di depannya sembari menarik napas dan ancang-ancang untuk kembali menjelaskan. “Aku tak yakin apa kamu melihatnya. Tetapi jika kamu melihatnya, ada sesuatu yang aneh pada mata pemuda itu. Dan saat dia bilang kembali untuk menyelesaikan sesuatu yang rupanya belum berakhir, suaranya sedikit bergetar. Tidakkah kau menyadarinya, Nadina?” papar Rayyan sembari sesekali melirik ke arah Nadi
Raut wajah Aminah seketika berubah. Senyuman yang awalnya masih terselip kecil di antara wajah sayunya itu kini memudar. Wajahnya berganti terkejut dan terkesan tak percaya. “Pemuda itu? Pemuda yang–” “Iya, Umi benar. Pemuda yang pernah membuat Nadina menolak Mas Nadhif dan nyaris membuat Nadina menghancurkan segalanya.” Nadina menunduk. Aminah seketika bangkit dari kursinya dan memburu Nadina. Dipegangnya kedua bahu sang menantu lalu tampak seolah memeriksa keadaan Nadina saat itu. “Apa? Apa yang pemuda itu lakukan padamu!? Semua– semua baik-baik saja ‘kan, Nadina?! Katakan! Katakan pada umi!” sergah Aminah menatap tajam intens pada Nadina. Nadina mengelus pundak sang mertua lalu membuat kedua tangan Aminah yang awalnya mencengkeram cukup kuat merenggang. Nadina tersenyum tipis sembari mengangguk lalu meminta sang ketua kembali duduk. “Nadina tidak tahu apa yang sebenarnya tengah diputar takdir Nadina saat ini. Kedatangan seseorang yang mirip dengan Mas Nadhif, juga masa lalu y
Seperti yang telah dijanjikan pada pertemuan selanjutnya, kali ini Rayyan kembali ke pondok untuk kembali mengajar Adnan. Sejak beberapa pertemuan ke belakang, Nadina secara resmi meminta Rayyan untuk menjadi guru kelas tambahan bagi putranya agar tak terkesan memperkerjakan seseorang cuma-cuma. Saat mobil Rayyan berhenti di halaman pondok dan telah berhasil mendapatkan posisi parkir yang tepat, mata pemuda itu sedikit terusik dengan keberadaan seorang pemuda dan seorang wanita di depan area dalem. “Bukankah itu, Nadina? Dan pemuda itu? Arif Sadewa?” gumam Rayyan sembari berusaha memfokuskan matanya melihat apa yang ada di sana di antara temaramnya cahaya malam itu. “Ahh, aku tak mungkin salah lagi! Pemuda itu benar-benar Arif Sadewa! Jadi dia benar-benar mendatangi Nadina di sini? Kupikir itu hanya basa-basi!” gumam Rayyan. “Baiklah, haruskah aku menunggu di sini atau menemuinya sekarang? Tapi bagaimana jika pemuda itu bukan hendak pukang tetapi hendak bertamu?” Rayyan mengajak-a
“Cukup, Mas. Berhenti bermain-main dengan semua perkataan yang mas ucapkan. Nadina senang karena mas Dewa kembali dan baik-baik saja, tetapi apa yang terjadi pada masa lalu kita tidak akan pernah Nadina lupakan, Mas.” “Nadina tidak akan biarkan mas Dewa kembali merobohkan apa yang sudah Nadina bangun,” lengkap Nadina dengan menatap Sadewa sedikit lebih tajam. Sadewa tampak menghela napasnya sebentar sebelum akhirnya mengubah pandangannya ke arah Rayyan dan Adnan yang tengah fokus dengan buku-buku di hadapan mereka. “Aku tidak ingin menghancurkan apa yang telah ada, Nadina. Aku hanya mau mencegah apa yang mungkin saja bisa rusak. Jangan berdalih bahwa pemuda itu guru yang terbaik untuk putramu dan kebetulan mirip dengan mendiang suamimu,” “Akui saja kau bahkan putramu mulai memanfaatkan tampangnya untuk mengobati rasa rindu kalian pada Nadhif, bukan? Jika kau teruskan ini, mungkin akan ada yang terluka, Nadina. Entah kau, putramu, atau Rayyan!” papar Sadewa panjang lebar. Tak ingi
“Jika itu kamu, mungkin itu yang akan kamu lakukan. Tapi masalahnya aku bukan kamu, Mas. Aku tidak akan lari dari apa yang sudah terjadi. Hidupku di sini. Meskipun haru mati berulang kali karena kerinduanku padanya,” sergah Nadina. “Kau benar-benar sangat mencintainya, Nadina. Aku jadi ingat bagaimana kau menangis padaku karena pernikahanmu ini, kau ingin pergi dari sini apapun caranya. Dan sekarang, kau ingin tetap di sini apapun caranya?” sindir Sadewa sembari terkekeh kecil. “Ya, semuanya sudah berubah. Dan aku sadar aku sangat bodoh karena menyia-nyiakan semuanya yang telah Mas Nadhif berikan untuk terus berusaha lari dari sini,” sahut Nadina. Sadewa menurunkan cangkir teh di tangannya lalu meletakkannya di meja. Pemuda itu tampak menyandarkan sebagian punggungnya lalu menghela napas cukup jelas. “Dimana, Nadhin? Kudengar dia memiliki mata yang sama dengan Nadhif. Aku belum pernah bertemu dengannya. Bisakah aku bertemu dengannya?” Sadewa tampak menyebar pandangan ke sekitar ru
Nadina tampak melirik Ali dan Aminah sebelum mengeluarkan jawaban atas permintaan Sadewa yang baru saja pemuda itu lontarkan padanya. “Antarkan dia ke kamar mandi tamu, Nadina.” Ali menginterupsi dan seketika membuat Nadina tersadar dan mengangguk setuju pelan. “Mari mas biar Nadina antar.” Nadina langsung melenggang pergi tanpa menatap wajah sang lawan bicara. “Terima kasih, Abi, Umi! Sadewa permisi dulu!” pekik Sadewa lalu mengekor di belakang Nadina. Nadina perlahan melambatkan langkah kakinya laku berhenti seketika . Sadewa pun sontak menghentikan langkahnya mengikuti Nadina. Wanita itu berbalik lalu menatap pemuda di hadapannya. “Maaf jika harus mengatakan ini, Mas Dewa. Tapi ini yang Nadina rasakan sejak kedatangan mas kembali,” ujar Nadina tanpa aba-aba. Wajah Sadewa berubah serius. Tak pemuda itu sangka jika wanita di depannya akan mengatakan hal yang tampak serius saat itu juga. “Ada apa, Nadina? Ada yang salah?” “Entahlah, mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi maaf,
Pekikkan yang diucapkan Sadewa beberapa saat lalu saat keduanya hendak saling berpisah terus terngiang di kepala Nadina. Nada yang pemuda itu ambil bahkan memiliki rasa yang sama dengan saat ia memaksa Nadina di salah satu penginapan hari itu. Nadina terus melamun sementara Nadhin terlihat berkeliaran sambil berlari di ruang tamu sembari memegang bola plastik seukuran tangannya. Suara tawa dan lari Nadhin seolah tak dapat masuk ke telinga Nadina. Wanita itu masih saja dengan lamunannya sendiri. “Aba!!” pekik Nadhin kencang langsung membuat Nadina memecahkan lamunannya. Dilihatnya sang putri kini telah berada dalam gendongan Rayyan dan tengah asik terkekeh satu sama lain. Nadina segera bangkit dari duduknya di karpet itu dan berlari menuju pintu masuk dalem. “Astagfirullah! Maaf, Ray! Aku tidak tahu kalau Nadhin akan begini lagi!” Nadina memandang cemas wajah Rayyan dan hendak mengambil alih putrinya itu. “Nadhin mau tidur diantar Aba!! Ayo ke kamar, Aba! Ayook!” pekik Nadhin seol
Hari berganti hari, meskipun dari pertanyaan yang ia ajukan pada Nadina tak memberinya jawaban sama sekali, tapi setidaknya ia kini tahu bahwa Nadina hendak sedikit menghindar dari pemuda itu. Dan dengan rasa penasaran yang sama, akhirnya ia menerima ajakan makan siang yang baru saja Sadewa kirimkan melalui pesan singkat. [Jika makan siang anda luang, bisakah kita bertemu? Ada beberapa hal penting yang ingin kukatakan!] Begitulah kiranya pesan yang Sadewa kirimkan untuk Rayyan. Dan untungnya, jam mengajar Rayyan telah berakhir pada pukul 11 siang. Jadilah istirahat makan siang ini ia bisa sedikit longgar meskipun tetap harus kembali ke sekolah lagi nanti. Rayyan duduk menghadap sebuah kursi kosong dengan ponsel yang ia geletakkan di meja. Ia terus memeriksa sekitar takut jika ia dan Sadewa sama-sama menunggu. Namun matanya kini melihat Sadewa memasuki salah satu rumah makan itu. “Sadewa!” pekik Rayyan langsung melambaikan tangan saat Sadewa menoleh ke arahnya. Pemuda itu berjal