Pekikkan yang diucapkan Sadewa beberapa saat lalu saat keduanya hendak saling berpisah terus terngiang di kepala Nadina. Nada yang pemuda itu ambil bahkan memiliki rasa yang sama dengan saat ia memaksa Nadina di salah satu penginapan hari itu. Nadina terus melamun sementara Nadhin terlihat berkeliaran sambil berlari di ruang tamu sembari memegang bola plastik seukuran tangannya. Suara tawa dan lari Nadhin seolah tak dapat masuk ke telinga Nadina. Wanita itu masih saja dengan lamunannya sendiri. “Aba!!” pekik Nadhin kencang langsung membuat Nadina memecahkan lamunannya. Dilihatnya sang putri kini telah berada dalam gendongan Rayyan dan tengah asik terkekeh satu sama lain. Nadina segera bangkit dari duduknya di karpet itu dan berlari menuju pintu masuk dalem. “Astagfirullah! Maaf, Ray! Aku tidak tahu kalau Nadhin akan begini lagi!” Nadina memandang cemas wajah Rayyan dan hendak mengambil alih putrinya itu. “Nadhin mau tidur diantar Aba!! Ayo ke kamar, Aba! Ayook!” pekik Nadhin seol
Hari berganti hari, meskipun dari pertanyaan yang ia ajukan pada Nadina tak memberinya jawaban sama sekali, tapi setidaknya ia kini tahu bahwa Nadina hendak sedikit menghindar dari pemuda itu. Dan dengan rasa penasaran yang sama, akhirnya ia menerima ajakan makan siang yang baru saja Sadewa kirimkan melalui pesan singkat. [Jika makan siang anda luang, bisakah kita bertemu? Ada beberapa hal penting yang ingin kukatakan!] Begitulah kiranya pesan yang Sadewa kirimkan untuk Rayyan. Dan untungnya, jam mengajar Rayyan telah berakhir pada pukul 11 siang. Jadilah istirahat makan siang ini ia bisa sedikit longgar meskipun tetap harus kembali ke sekolah lagi nanti. Rayyan duduk menghadap sebuah kursi kosong dengan ponsel yang ia geletakkan di meja. Ia terus memeriksa sekitar takut jika ia dan Sadewa sama-sama menunggu. Namun matanya kini melihat Sadewa memasuki salah satu rumah makan itu. “Sadewa!” pekik Rayyan langsung melambaikan tangan saat Sadewa menoleh ke arahnya. Pemuda itu berjal
Rayyan tampak amat terkejut dengan semua yabg Sadewa tuturkan. Ia bahkan merasa amat bingung mengapa pemuda di hadapannya itu dengan santai menceritakan semua buruknya padanya. Bahkan sebelum ia bisa mencerna seutuhnya cerita yang diberikan pemuda itu ia langsung diberikan satu fakta bahwa Sadewa masih menginginkan Nadina dan itulah alasan pemuda itu kembali setelah sekian lama. “Jadi alasanmu kembali adalah...,” ujar Rayyan menggantung. “Tepat! Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat Nadian kembali mencintaiku. Bertahun-tahun aku sendiri hanya untuk meratapi kisahku yang rumpang. Sekarang aku kembali untuknya. Jadi apa kau tahu kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu? Orang asing?” sindir Sadewa menatap Rayyan ketus. Rayyan mengerutkan dahinya. “Apa kau menganggapku sainganmu saat ini?” celetuk Rayyan. “Aku tak menyebutnya begitu, Rayyan. Tapi kau bisa menganggapnya begitu. Kemunculanmu pun membuat Nadina terus mengingat Nadhif. Aku harap kau tahu bagaimana mesti bers
Dengan penuh rasa tak enak hati, canggung bercampur ragu, akhirnya Rayyan dapat menuntaskan apa yang ingin ia katakan. Ia menjelaskan semua yang ia dengar dari pemuda bernama Sadewa itu. Sementara ia terus memaparkan, Ali pun tampak terus mendengarkan seolah semua ini tak begitu mengejutkan untuknya. Pria paruh baya itu terus tampak mengangguk menyimak apa yang Rayyan tuturkan. Ali meregangkan tubuhnya begitu Rayyan selesai dengan ceritanya. Pria paruh baya itu sejenak meraih teh yang ada di meja dan menyeruputnya sedikit. Tarikan napas yang diambil Ali tampak lebih kencang dan berat. Rayyan yang menunggu pria paruh baya di hadapannya itu memberikan komentar tampak terus menerus menelan salivanya khawatir. “Apa yang kamu dengar dari Sadewa memanglah benar, Nak Rayyan. Semua itu pernah menimpa pernikahan putra dan menantu kami. Tapi atas izin Allah, semua bisa kembali dengan baik. Nadina dan Nadhif telah hidup bahagia bersama dengan putra dan kandungan Nadina saat itu.” “Umi sempa
Tak ingin berurusan di tempat itu, Sadewa segera berjalan kembali ke mobilnya tanpa menghampiri Rayyan apalagi menyapa pemuda itu. Rayyan menghela napas. Sedikit lega kiranya karena Nadina berhasil menyingkir dari pemuda itu dan tak ada pertikaian berarti di sekolahnya. “Lihatlah, Nadhif. Belum selesai istrimu dengan semua kenangan yang kau tinggalkan, ia harus berjuang dari masa lalu gelapnya sendirian. Bukankah ini tidak adil untuknya menjalani kisah ini sendirian?” gumam Rayyan. Rayyan berjalan ke arah kantornya, beberapa guru muda mulai menggodanya padahal tak biasanya mereka berlaku demikian. Rayyan mengerutkan dahi sembari tersenyum palsu saat terus berjalan ke arah mejanya. Sampai matanya menangkap sesuatu asing yang ada di mejanya. Sebuah buket bunga dengan sebuah mentai lengkap bersama tulisan yang dapat jelas terbaca. “Im so sorry, Babe!” Begitulah kiranya isi pesan pada mentai yang ada di meja kerja Rayyan. Rahang Rayyan mengeras. Ia meneguk salivanya kasar lalu mera
“Ah, astagfirullah! Maaf Rayyan, Adnan benar-benar menyita perhatianku! Terima kasih, aku bisa sendiri!” ujar Nadina lalu menerima sodoran kotak obat itu. Nadina duduk di kursi tunggu sembari membuka kotak itu perlahan. Diambilnya salah satu cairan pembersih luka dan di tuangkannya dengan sulit karena tangannya yang terluka mulai terasa kaku. Rayyan mengamati Nadina, ia ragu haruskah ia kembali menawarkan bantuan? Tapi ia khawatir juga tawarannya akan terkesan sebagai pemaksaan. Karenanyalah ia terus mengamati wanita itu untuk meyakinkan apa yang perlu ia lakukan. Hingga sampai di detik botol itu tampak hendak terjatuh karena posisi tangan Nadina yang di tak pas. Rayyan segera mendekat lalu menangkap botoo pembersih luka itu sebelum mendarat dan menumpahkan segalanya. “Aku akan membantumu, Nadina!” putus Rayyan lalu duduk di sebelah Nadina sembari meraih kapas dari kotak obat. “Maafkan aku, Rayyan. Aku nyaris menumpahkan semua isinya. Aku akan menggantinya nanti.” Nadian memandan
“Berhenti melantur, Regina! Hentikan ocehanmu itu atau aku yang akan membuatmu bungkam!” sergah Rayyan ketus. Pemuda itu benar-benar tampak telah lelah menghadapi wanita di depannya yang sekarang malah menuduhnya macam-macam. “Jawab dulu pertanyaanku, siapa wanita berhijab dan seorang anak laki-laki itu? Dia selingkuhanmu?” sergah Regina. Rayyan menghela napasnya sembari sebentar mengalihkan pandangan sebelum akhirnya kembali menatap Regina dengan mata nyalangnya yang tajam. “Dia muridku serta ibunya. Kenapa kau sibuk denganku, Regina?! Sudah kubilang berhenti mengekoriku! Kenapa kau terus ngotot, hah?! Aku tak akan kembali denganmu!” pekik Rayyan. “Murid dan ibunya? Apa kau yakin, Ray? Karena aku melihat tatapan lain di matamu!” “Apa?! Apa yang kau ligat, heh?!” Rayyan memajukan tubuhnya. Regina terus mundur bahkan hingga tubuhnya terantuk dinding dan tak lagi bisa mundur. “Kenapa diam? Katakan! Katakan apa yang kau lihat di mataku, Regina!!” bentak Rayyan lagi sembari memukul
Rayyan segera membalik tubuhnya guna melihat kembali apa yang ia lihat dalam kaca kecil mobil sang sopir itu benar ataukah tidak. Namun ia tak mendapati siapapun di belakang sana selain Madina yang masih mengamati mobil yang ia tumpangi melenggang pergi. Ia tampak sedikit panik, tak sedikitpun ia menggeser posisinya sampai matanya menangkap Nadina yang masuk ke dalam pondoknya kembali. “Ada apa, Pak? Ada yang tertinggal?” tanya sang sopir saat menangkap tingkah penumpangnya yang sedikit aneh. “Oh, ehm, tidak, Pak! Lanjutkan saja perjalanannya!” sahut Rayyan lalu kembali duduk di kursi penumpang dengan cukup tenang. Tak berhenti di sana, pikirannya terus menghantuinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuka ponselnya dan menghubungi Regina. [Malam ini temui aku di restoran yang dulu biasa kita datangi. Aku tak memiliki banyak waktu, jadi datanglah tepat waktu!] tulis Rayyan kepada Regina. Sementara itu, Nadina kembali ke dalam pondok dan langsung menuju kamar putranya. Nadhi