Siang harinya, Nadina berhalangan untuk menjemput Adnan, dan oleh karena Aminah dan Ali yang akhirnya menjemput cucu mereka. Sesampainya di pondok, Adnan tampak segera berlari memasuki dalem seolah berita hebat hendak ia bagikan dengan sang ibu. “Ibu!!” teriak Adnan sementara Aminah hanya bisa terkekeh kecil bersama Ali melihat cucu mereka memiliki semangat yabg tak ada habis-habisnya. Tanpa diketahui, rupanya Nadina tengah menjelaskan sesuatu kepada seorang klien melalui sebuah platform meeting daring. Adnan yang mengetahui itu segera menutup mulutnya rapat dengan mata yang melotot. Nadina hanya melirik ke arah sang putra sembari tersenyum kecil dan mengangguk. “Maaf Ibu, Adnan tidak tahu!” lirih Adnan sembari menyatukan kedua tangannya sebagai kode permintaan maaf kepada sang ibu. Nadina pun mengangguk lalu Adnan berjalan kembali menuju kamarnya. Bocah itu sudah cukup mandiri untuk segera membersihkan dirinya, mengganti pakaian dan merapikan peralatan sekolahnya sepulang dari
“Azif? Unik sekali namanya?” sahut Nadina. “Iya, ‘kan?! Adnan juga kaget namanya bisa keren gitu! Oh iya, boleh tidak kalau kapan-kapan Adnan ajak Azif main ke sini?” tanya Adnan. “Boleh, dong! Tapi kasih tahu ibu dulu, ya! Supaya ibu bisa masakin makanan ya g enak untuk kalian!” pekik Nadina. Hari itu berjalan seperti biasa dengan tenang dan tanpa hambatan. Hingga akhirnya hari berganti. Nadina merasa cemas saat hendak meminta izin untuk keluar terlebih bagaimana ia mesti menjelaskan rencananya kepada Melati. “Jadi kita mau kemana, Mbak?” tanya Melati saat Nadina menjemputnya dari asrama putri. “Kamu ikut aja dulu, ya! Nanti kamu pasti tahu tempatnya dan siapa yang akan kita temui. Tapi, jangan berisik, ya! Anggap aja kita lagi ikut agen rahasia!” Ujar Nadina. Melati semakin merasa aneh, dahinya mengerut, pikirannya mulai membayangkan hal yang tidak-tidak mengenai pertikaian dan tembak menembak seperti yang biasa ada di film mata-mata. “Mbak yakin? Kita nggak bawa senjata? Tap
Regina memuncak, emosinya tak lagi bisa terkendali. Ia menggebrak meja dengan salah satu genggaman tangannya. Tak berhenti di sana, kini Regina menatap nyalang Rayyan sembari menunjuk pemuda itu. “Dengar Rayyan, aku sudah berusaha sebaik mungkin memberimu pilihan. Aku sudah berulang kali mengajukan permohonan maaf agar kita bisa bersama lagi. Tapi sayangnya kamu memilih caraku yang lain!” pekik Regina. “Apa maksudmu? Tak ada cara lain, Regina. Kita sudah selesai!” sergah Rayyan. Melati dan Nadina saling melirik. Keduanya seolah saling mengode untuk fokus pada apa yang akan mereka dengar setelah ini. “Nadina! Dia kan yang selalu kamu khawatirkan? Lihat saja, akan kulakukan sesuatu padanya agar dia tahu siapa aku dan siapa posisinya. Berani-beraninya dia merusak hubunganku denganmu!” bisik Regina. Mata Nadina seketika berhenti beredar, sementara Melati langsung menoleh ke arahnya. “Mbak?” lirih Melati. Nadina segera mengarahkan telapak tangannya pada Melati berharap wanita itu men
Nadina bersama Melati segera mengurus keperluan pemindahan kamar untuk Rayyan. Nadina juga telah menghubungi Aminah dan Ali jika ia berada di rumah sakit dan menjelaskan keadaan mengenai Rayyan. Tak diragukan lagi, Aminah panik dan segera meminta Ali untuk menyusul ke rumah sakit. Usai menyelesaikan keperluan administrasi, Nadina dan Melati masuk ke kamar inap tempat Rayyan berada. “Alhamdulillah masih baik-baik saja. Tapi ini sedikit aneh bukan? Kenapa Pak Rayyan menerima tawaran tanpa memberi tahu dia alergi seafood? Dan...,” “Kekasih macam apa yang tak tahu alergi pasangannya dan malah menyiram ke mukanya?” lengkap Melati. “Entahlah, Melati. Aku pun tak tahu. Aku masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Syukurlah masih ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika sampai terjadi sesuatu padanya.” Nadina pun memutuskan untuk duduk pada sofa yang ada di ruangan itu. Keduanya duduk dan menyandarkan punggung ke sofa. Saat Melati
Suara salam yang baru saja terdengar dengan cepat menginterupsi gerakan Rayyan. Pemuda itu tampak dengan canggung akhirnya memutar tubuh. Saat itulah ia tahu Melati ada di ambang pintu sembari membawa sebuah bungkusan yang bisa dipastikan berisi makanan. “Ehm, waalaikumussalam. Jangan salah paham, saya hanya memberikan selimut kepadanya, saya tahun ia masuk angin karena menunggu saya. Ehm, ada siapa saja semalam di sini?” tanya Rayyan mencoba mengalihkan topik. Melati berjalan masuk sembari sedikit mengangguk. “Ehm, ada Abi Ali dan Umi Aminah. Beliau ada di luar sekarang. Semalam Mbak Nadina ada di sini bersama saya dan Umi. Jadi tenang saja. Kalian tidak ada di sini berdua. Dan.., apa Pak Rayyan sudah baik-baik saja? Tidak pusing atau sesak lagi?” tanya Melati sembari mendongakkan kepalanya sementara tangannya meletakkan bungkusan itu ke meja. “Ah, alhamdulillah saya sudah jauh lebih baik. Ehm, maafkan saya pasti semalam saya sangat merepotkan kalian. Terima kasih untuk bantuanny
Rayyan sedikit mengerutkan dahinya. Ada secercah raut kebingungan yang tergambar saat Ali menuturkan sebuah kalimat dengan nada kembut kepadanya itu. “Menjaga seperti apa, Abi? Rayyan tidak mengerti, Rayyan bahkan tidak melakukan apapun,” ujar Rayyan melirih sembari menatap wajah sayu Ali. Tangan kanan Ali menepuk pundak Rayyan dan seketika memindah pandangan pemuda itu dari wajah Ali ke tangan yang kini mendarat pada bahunya. “Abi ingin berbicara denganmu saat kau telah pulih nanti. Jadi segeralah pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Semoga Allah selalu melindungimu, Aamiin.” Ali lagi-lagi tersenyum. Tak menjawab pertanyaan dari sang pemuda di hadapannya itu, Ali kini malah berjalan hendak keluar kamar asrama yang mulai hari itu akan sementara ditinggali Rayyan. Masih dengan lamunan dan seribu rasa tanyanya, Rayyan akhirnya memaksa diri berbaring pada ranjang, matanya memaksa untuk terpejam meski pikirannya benar-benar masih rumit. Sementara itu, Nadina tampak tengah mengge
Nadina melebarkan senyumnya lalu menghapus air matanya cepat. “Umi bikin Nadina khawatir saja. Nadina kira umi benar-benar marah,” ujar wanita itu sambil terkekeh ringan. “Mana mungkin umi marah dengan putri sebaik ini? Tapi umi ada satu pertanyaan, dan kali ini Nadina harus menjawabnya dengan tegas! Bisa?” ujar Ulfah. Nadina mengangguk setuju dan paham. Kini ia menatap Ulfah seolah siap dengan pertanyaan apa saja yang akan wanita itu tanyakan padanya. Sama dengan Nadina yang tengah menatapnya, Ulfah kini pun sedang menatap wanita muda yang ada di hadapannya itu. Samar-samar raut antusias dan cemas menyatu dalam wajah Nadina. Degup jantungnya mulai bertambah kencang, meskipun begitu ia mencoba bersikap sewajarnya saja. “Sampai kapan Nadina hendak memenjarakan Nadhif di dalam hati, Nadina? Sampai kapan kamu ingin hidup di bawah bayang-bayang mendiang suamimu, Nadina?” Raut muka Nadina seketika berubah, dari senyuman tipis yang awalnya ada pada wajahnya, kini ia malah memandang k
Keesokan paginya, Adnan telah berada di sekolah. Ia berjalan sedikit gontai di koridor yang mengarah ke dalam kelasnya. Namun tiba-tiba sebuah suara memekik memanggil namanya. “Adnan!!” Bocah itu segera berhenti dan berbalik. Raut murungnya tiba-tiba berubah menjadi raut bahagia. Tangannya dengan cepat melambai, kakinya melompat senang melihat siapa yang memanggilnya barusan. “Azif!!” pekik Adnan. Dua bocah cilik itu kini saling melakukan tos hantam yang mereka lalukan setiap bertemu kawan kelas lain. “Baru datang juga, ya? Hari ini main gasing, yuk!” pekik Azif sembari berjalan di sebelah Adnan menuju kelas mereka berdua. “Yahh, harusnya kamu bilang kemarin. Jadi aku bawa gasingnya. Kalau sekarang aku nggak bawa, Zif! Besok gimana?” tanya Adnan dengan raut penasaran akan jawaban Azif. “Ahh, begitu! Oke deh! Nggak apa-apa! Nanti kita main bola aja sama temen-temen lain! Oiya, kemarin tempat duduk yang aku pake punya kamu, ya? Maaf ya! Aku enggak tahu, kemarin waktu aku datang,