Nadina bersama Melati segera mengurus keperluan pemindahan kamar untuk Rayyan. Nadina juga telah menghubungi Aminah dan Ali jika ia berada di rumah sakit dan menjelaskan keadaan mengenai Rayyan. Tak diragukan lagi, Aminah panik dan segera meminta Ali untuk menyusul ke rumah sakit. Usai menyelesaikan keperluan administrasi, Nadina dan Melati masuk ke kamar inap tempat Rayyan berada. “Alhamdulillah masih baik-baik saja. Tapi ini sedikit aneh bukan? Kenapa Pak Rayyan menerima tawaran tanpa memberi tahu dia alergi seafood? Dan...,” “Kekasih macam apa yang tak tahu alergi pasangannya dan malah menyiram ke mukanya?” lengkap Melati. “Entahlah, Melati. Aku pun tak tahu. Aku masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Syukurlah masih ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika sampai terjadi sesuatu padanya.” Nadina pun memutuskan untuk duduk pada sofa yang ada di ruangan itu. Keduanya duduk dan menyandarkan punggung ke sofa. Saat Melati
Suara salam yang baru saja terdengar dengan cepat menginterupsi gerakan Rayyan. Pemuda itu tampak dengan canggung akhirnya memutar tubuh. Saat itulah ia tahu Melati ada di ambang pintu sembari membawa sebuah bungkusan yang bisa dipastikan berisi makanan. “Ehm, waalaikumussalam. Jangan salah paham, saya hanya memberikan selimut kepadanya, saya tahun ia masuk angin karena menunggu saya. Ehm, ada siapa saja semalam di sini?” tanya Rayyan mencoba mengalihkan topik. Melati berjalan masuk sembari sedikit mengangguk. “Ehm, ada Abi Ali dan Umi Aminah. Beliau ada di luar sekarang. Semalam Mbak Nadina ada di sini bersama saya dan Umi. Jadi tenang saja. Kalian tidak ada di sini berdua. Dan.., apa Pak Rayyan sudah baik-baik saja? Tidak pusing atau sesak lagi?” tanya Melati sembari mendongakkan kepalanya sementara tangannya meletakkan bungkusan itu ke meja. “Ah, alhamdulillah saya sudah jauh lebih baik. Ehm, maafkan saya pasti semalam saya sangat merepotkan kalian. Terima kasih untuk bantuanny
Rayyan sedikit mengerutkan dahinya. Ada secercah raut kebingungan yang tergambar saat Ali menuturkan sebuah kalimat dengan nada kembut kepadanya itu. “Menjaga seperti apa, Abi? Rayyan tidak mengerti, Rayyan bahkan tidak melakukan apapun,” ujar Rayyan melirih sembari menatap wajah sayu Ali. Tangan kanan Ali menepuk pundak Rayyan dan seketika memindah pandangan pemuda itu dari wajah Ali ke tangan yang kini mendarat pada bahunya. “Abi ingin berbicara denganmu saat kau telah pulih nanti. Jadi segeralah pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Semoga Allah selalu melindungimu, Aamiin.” Ali lagi-lagi tersenyum. Tak menjawab pertanyaan dari sang pemuda di hadapannya itu, Ali kini malah berjalan hendak keluar kamar asrama yang mulai hari itu akan sementara ditinggali Rayyan. Masih dengan lamunan dan seribu rasa tanyanya, Rayyan akhirnya memaksa diri berbaring pada ranjang, matanya memaksa untuk terpejam meski pikirannya benar-benar masih rumit. Sementara itu, Nadina tampak tengah mengge
Nadina melebarkan senyumnya lalu menghapus air matanya cepat. “Umi bikin Nadina khawatir saja. Nadina kira umi benar-benar marah,” ujar wanita itu sambil terkekeh ringan. “Mana mungkin umi marah dengan putri sebaik ini? Tapi umi ada satu pertanyaan, dan kali ini Nadina harus menjawabnya dengan tegas! Bisa?” ujar Ulfah. Nadina mengangguk setuju dan paham. Kini ia menatap Ulfah seolah siap dengan pertanyaan apa saja yang akan wanita itu tanyakan padanya. Sama dengan Nadina yang tengah menatapnya, Ulfah kini pun sedang menatap wanita muda yang ada di hadapannya itu. Samar-samar raut antusias dan cemas menyatu dalam wajah Nadina. Degup jantungnya mulai bertambah kencang, meskipun begitu ia mencoba bersikap sewajarnya saja. “Sampai kapan Nadina hendak memenjarakan Nadhif di dalam hati, Nadina? Sampai kapan kamu ingin hidup di bawah bayang-bayang mendiang suamimu, Nadina?” Raut muka Nadina seketika berubah, dari senyuman tipis yang awalnya ada pada wajahnya, kini ia malah memandang k
Keesokan paginya, Adnan telah berada di sekolah. Ia berjalan sedikit gontai di koridor yang mengarah ke dalam kelasnya. Namun tiba-tiba sebuah suara memekik memanggil namanya. “Adnan!!” Bocah itu segera berhenti dan berbalik. Raut murungnya tiba-tiba berubah menjadi raut bahagia. Tangannya dengan cepat melambai, kakinya melompat senang melihat siapa yang memanggilnya barusan. “Azif!!” pekik Adnan. Dua bocah cilik itu kini saling melakukan tos hantam yang mereka lalukan setiap bertemu kawan kelas lain. “Baru datang juga, ya? Hari ini main gasing, yuk!” pekik Azif sembari berjalan di sebelah Adnan menuju kelas mereka berdua. “Yahh, harusnya kamu bilang kemarin. Jadi aku bawa gasingnya. Kalau sekarang aku nggak bawa, Zif! Besok gimana?” tanya Adnan dengan raut penasaran akan jawaban Azif. “Ahh, begitu! Oke deh! Nggak apa-apa! Nanti kita main bola aja sama temen-temen lain! Oiya, kemarin tempat duduk yang aku pake punya kamu, ya? Maaf ya! Aku enggak tahu, kemarin waktu aku datang,
Hari berganti hari, kondisi Rayyan perlahan kembali pulih, meskipun begitu pemuda itu tampak belum ingin pergi dari sana. Mungkin tiga hari berada di sana telah membuatnya merasakan kehangatan keluarga yang selama ini tak ia dapatkan semenjak kematian orang tuanya. Rayyan mulai kembali mengajar di sekolah dan kembali berinteraksi dengan Adnan. Guru itu juga tahu jika sekarang Adnan tampak semakin bersemangat karena kehadiran murid baru yang menurut bocah itu sangat unik. Hingga hari ini, Adnan berencana mengundang Azif untuk bermain di rumahnya. Nadina telah menyiapkan segalanya berharap kawan putranya itu akan merasa nyaman nantinya. Saking tak sabarnya akan pertemuan itu, Adnan bahkan sampai menunggu di depan gerbang pondok untuk menjemput Azif. Sementara Nadina yang merasa rawan karena putranya berada di tepi jalan pun akhirnya turut mengikuti. “Kamu sangat senang sepertinya, Sayang! Ibu yakin temanmu tidak akan tersesat saat menuju kemari. Kita bisa menunggu di dalam, kok!” uj
Nadina menyiapkan makanan ringan untuk Adnan dan Azif sembari keduanya tengah bersama-sama bermain di ruang tamu dalem saat itu. “Adnan, ajak Azif untuk makan jajanannya, ya! Jangan dibiarin saja!” tutur Nadina sembari menata makanan dan minuman yang ia bawa ke meja. “Siap, Ibu!” pekik Adnan. “Terima kasih, Tante!” sahut Azif dan tersenyum lebar. Nadina balas tersenyum. Namun sekelebat senyuman Azif seolah mengingatkan Nadina dengan seseorang, namun ia bingung siapa orang yang senyumnya memiliki getaran yang sama dengan senyum bocah itu. Tak ingin mengambil pusing tentang hal itu, Nadina akhirnya segera bangkit dan pergi dari sana. Seperti yang ia janjikan, ia bertemu dengan Rayyan di aula terbuka. Pemuda itu tampak telah berada di sana dan duduk menantinya. Saat Nadina mendekat, Rayyan segera bangkit dan menyambut Nadina dengan sedikit menunduk. “Maaf telah membuatmu lama menunggu,” ujar Nadina. “Tidak, aku juga baru saja tiba. Mau langsung duduk saja?” Keduanya pun lanjut du
Nadina segera keluar dari kawasan pondok, menoleh ke kana dan ke kiri berusaha mencari ke mana kurir yang membawa surat antah berantah itu. Namun sayangnya, lagi-lagi tak ada informasi. Kurir itu menghilang. “Nadina, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berlari??” sergah Rayyan yang turut menyusul Nadina saat itu. Wajah Nadina jelas menunjukkan kepanikan, ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri seolah tengah kehilangan sesuatu dan berusaha mencarinya. Tak sabar dengan jawaban yang akan Nadina berikan, Rayyan akhirnya meraih kertas itu dan turut membacanya. “Surat apa ini? Maksudnya motor tadi?” ujar Rayyan. Nadina memandang Rayyan cemas dan menarik kembali surat itu dari tangan pemuda itu. Nadina tak membalas dan malah pergi meninggalkan Rayyan ke arah ruang kesekretariatan. “Ya Tuhan, apalagi ini? Apa itu surat ancaman? Tapi dari siapa? Atau mungkin...,” gumam Rayyan sebelum akhirnya kembali menyusul Nadina. “Assalamualaikum! Afwan, siapa yang tadi menerima surat ini dari kurir lepas?”