Nadina segera keluar dari kawasan pondok, menoleh ke kana dan ke kiri berusaha mencari ke mana kurir yang membawa surat antah berantah itu. Namun sayangnya, lagi-lagi tak ada informasi. Kurir itu menghilang. “Nadina, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berlari??” sergah Rayyan yang turut menyusul Nadina saat itu. Wajah Nadina jelas menunjukkan kepanikan, ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri seolah tengah kehilangan sesuatu dan berusaha mencarinya. Tak sabar dengan jawaban yang akan Nadina berikan, Rayyan akhirnya meraih kertas itu dan turut membacanya. “Surat apa ini? Maksudnya motor tadi?” ujar Rayyan. Nadina memandang Rayyan cemas dan menarik kembali surat itu dari tangan pemuda itu. Nadina tak membalas dan malah pergi meninggalkan Rayyan ke arah ruang kesekretariatan. “Ya Tuhan, apalagi ini? Apa itu surat ancaman? Tapi dari siapa? Atau mungkin...,” gumam Rayyan sebelum akhirnya kembali menyusul Nadina. “Assalamualaikum! Afwan, siapa yang tadi menerima surat ini dari kurir lepas?”
Hari itu juga, Rayyan pergi dari kawasan pondok usai mendapatkan pernyataan dan sedikit cerita dari Melati mengenai ancaman yang beberapa hari ini Nadina terima. Pemuda itu tampak tergesa dengan mobilnya. Pikirannya terus melanglang buana seolah sedang memikirkan hal terpenting di dunia ini. Tak hanya itu, ia bahkan menjadi sering menoleh ke spion dan kaca tengah agar ia bisa dengan segera menginjak pedal gasnya. Tak ada tujuan lain hang akan ia datangi kecuali satu. Kediaman Regina. Ya! Siapa yang tak akan mengira bahwa Reginalah dalang dari segala kerusuhan bangkai tikus dan surat ancaman itu? Jika menilik dari latar belakang Regina mengenal Nadina, bukankah itu sangat masuk akal? “Lihat saja Regina, jika benar kau yang melakukan semua ini terhadap Nadina, aku tak akan tinggal diam! Akan kupastikan kau mendekam di penjara! Kriminal sepertimu tak akan pantas untuk hidup bebas bersama manusia normal lainnya!” sergah Nadina. Mobil hitam milik Rayyan kini telah memasuki kawasan peru
Raut muka Regina berubah menjadi tajam saat menuturkan semua pertanyaannya kepada sang lawan bicara. Samar-samar suara seseorang muncul membalas tuduhannya. [“Kau bicara apa, Regina! Kita baru saja hendak bertemu! Dengar, kau sudah terlambat, jangan membuatku marah dengan membuatku menunggu lagi! Segeralah tiba atau semua kesepakatan kita berakhir dan kau yang akan menjadi targetku selanjutnya!”] Suara dari seberang itu membuat Regina segera memadamkan panggilan. Kepalan tangannya dengan cepat menghantam stir mobilnya. Wajah wanita itu seketika berubah kesal. Umpatan demi umpatan terus melejit seolah ia tak mengerti apa dosa di balik seluruh umpatan yang ia tuturkan itu. “Apa-apaan ini! Belum saja kami bekerja sama dan ia telah mengancamku?! Dasar bajingan! Dia pikir dia siapa?! Dia tak tahu saja aku bisa melakukan semua hal untuk membunuhnya!” sergah Regina. Bsru saja emosi wanita itu sedikit meredam dan kembali fokus dengan apa yang ada di hadapannya, ia kembali teringat denga
Jauh sebelum itu, Nadina yang pergi dari hadapan Rayyan memutuskan untuk masuk ke dalem. Ia duduk di kamarnya dan memandang surat yang ia terima. “Apa maksud surat ini? Siapa dia? Siapa yang sengaja membuatku ketakutan seperti ini? Haruskah aku melaporkannya? Tetapi melaporkan siapa? Ya Tuhan, kenapa sekarang ujiannya semakin sulit? Jangan buat aku berprasangka buruk!” gumam Nadina. Nadina menyandarkan punggungnya di sofa yang ada di kamar itu. Setiap ia merasa jenuh, bingung, sedih, kesal, atau apapun itu, ketika ia duduk di sofa itu, akan ada satu memori yang terlintas. Dulu, saat Nadhif masih bersamanya, setiap ia merasa lelah dan suntuk, entah sebelum atau setelah memiliki Adnan kecil, Nadina selalu memilih meringkuk di sofa itu dan menangis. Dan secara ajaib tiba-tiba Nadhif berada di sebelahnya. Pemuda itu menepuk pundaknya perlahan sebelum akhirnya mengelus pucuk kepala Nadian sembari bertutur lembut, “Ada apa, Nadina? Ingin membaginya dengan saya? Katakan, saya siap menden
“Astagfirullah! Mbak, mending lapir polisi aja, deh! Kalau kaya gini sudah masuk tindakan kriminal ‘kan? Percobaan pembunuhan! Ada lho pasalnya!” pekik Melati. Nadina mengeluh lirih sembari menggendong Nadhin ke pangkuannya. Wanita itu sebentar merapikan pakaian putri kecilnya itu. “Mau melaporkan siapa, Mel. Semuanya tanpa petunjuk, dan ini belum bentuk teror yang benar-benar membahayakan. Siapa yang bisa menjamin pengirim surat dengan penabrak orang yang sama? Bisa aja ‘kan, pemilik surat lihat aku nyaris tertabrak lalu menggunakan insiden itu dalam ancamannya?” papar Nadina. Melati tampak berpikir lalu mengangguk pelan. “Lalu sekarang rencana Mbak Nadina apa? Jujur aja nih ya, Mbak! Yang dikirim Mbak Nadina tapi yang ketar-ketir Melati tahu!” aku Melati dengan wajah cemasnya. “Sudah, nggak usah parno! Insyaallah, semuanya aman kok. Allah pasti jaga!” ujar Nadina. Keduanya kini bangkit dari meja makan, tampaknya hendak mengamati Adnan dan kawannya yang tengah bermain di ruang
“Mbak, kenapa? Kok kaya orang linglung begitu? Ada masalah?” tanya Melati tepat setelah Adnan dan kawannya tutun dari kursi makan dan memutuskan untuk pergi mencuci tangan mereka. Nadina sedikit melirik lalu menggeleng sebentar. “Yakin? Wajah Mbak Nadina bener-bener kaya orang bingung, lho! Kalau ada sesuatu nggak papa cerita sama Melati aja, Mbak! Jangan dipendam begitu!” pekik Melati “Nggak papa, Mel. Insyaallah semuanya aman! Oh iya, bantu membereskan mainan Azif, yuk! Sepertinya telepon tadi menandakan bahwa ibunya akan segera memintanya kembali,” ujar Nadina mengalihkan topik. Melati pun terpaksa menurut dan menahan semua rasa penasarannya itu. Singkat cerita, akhirnya Azif benar-benar dijemput setelah mereka membereskan mainan mereka. Kali ini seorang sopir dengan mobil yang sama yang keluar dari mobil dan menjemput Azif ke dekat dalem. Sopir itu mengaku sendirian dan tak bersama bunda Azif. “Azif benar mengenal bapak ini?” tanya Nadina berbisik pada Azif. “Iya! Biasanya
Sementara itu, jauh dari tempat Nadina berada, tepatnya pada salah satu tempat makan lokal, Ali bertemu dengan Rayyan. Rayyan segera bangkit dari tempat duduknya saat mendapati Ali telah melangkahkan kakinya ke arah meja yang ia duduki. “Assalamualaikum, Abi!” pekik Rayyan sembari menyalami dan mencium tangan keriput Ali. “Waalaikumussalam,” sahut Ali. Keduanya lanjut duduk. Tak ada pembuka yang begitu berarti, Rayyan segera menjelaskan apa yang tadi terjadi di pondok. Mulai dari tabrakan itu hingga surat yang berisi kalimat ancaman. “Apakah Nadina memang sudah menerima banyak paket ancaman, Abi?” tanya Rayyan. “Tidak, Nak Rayyan. Ini kedua kalinya. Tapi jujur saja Abi cemas dengan menantu abi itu. Kami tak memiliki seseorang pun untuk diperkirakan, tak ada bukti untuk membawa kami pada petunjuk apapun,” sahut Ali. “Abi, jujur saja Rayyan mencurigai Regina. Mantan kekasih Rayyan yang terang-terangan menyampaikan kebenciannya pada Nadina. Rayyan bahkan telah pergi menemuinya. Ra
Beralih dari Rayyan dan Ali, di sebuah rumah yang cukup besar, tampak seorang anak kecil tengah berlari memasuki rumah sembari terus memanggil sang ibu. “Bunda!!” pekik bocah itu yang tak lain dan tak bukan ialah Azif. Bocah itu segera saja berlari ke arah sebuah kamar yang diduga kuat adalah kamar sang ibu. Tanpa permisi, ia langsung membuka dan menghamburkan dirinya ke dalam ruangan. Seorang wanita berpakaian hitam tengah berdiri memandang jendela segera mendapat pelukan dari Azif. Pelukan yang sangat erat. Seolah bocah itu hendak mengeluarkan segala cerita tentang harinya kepada sang wanita. “Bunda sudah bilang berapa kali pada Azif?! Jangan lupa mengetuk pintu lebih dahulu! Kenapa mematuhi hak sesederhana itu Azif tidak bisa?! Bunda tidak suka ya jika Azif melanggar dan main masuk kamar bunda!” sergah wanita itu kini berbalik dan mencekal kedua lengan tangan Azif. Bocah yang awalnya memasang senyuman lebar itu kini berubah datar. Rautnya tampak sedikit ketakutan melihat sang