“Mbak, kenapa? Kok kaya orang linglung begitu? Ada masalah?” tanya Melati tepat setelah Adnan dan kawannya tutun dari kursi makan dan memutuskan untuk pergi mencuci tangan mereka. Nadina sedikit melirik lalu menggeleng sebentar. “Yakin? Wajah Mbak Nadina bener-bener kaya orang bingung, lho! Kalau ada sesuatu nggak papa cerita sama Melati aja, Mbak! Jangan dipendam begitu!” pekik Melati “Nggak papa, Mel. Insyaallah semuanya aman! Oh iya, bantu membereskan mainan Azif, yuk! Sepertinya telepon tadi menandakan bahwa ibunya akan segera memintanya kembali,” ujar Nadina mengalihkan topik. Melati pun terpaksa menurut dan menahan semua rasa penasarannya itu. Singkat cerita, akhirnya Azif benar-benar dijemput setelah mereka membereskan mainan mereka. Kali ini seorang sopir dengan mobil yang sama yang keluar dari mobil dan menjemput Azif ke dekat dalem. Sopir itu mengaku sendirian dan tak bersama bunda Azif. “Azif benar mengenal bapak ini?” tanya Nadina berbisik pada Azif. “Iya! Biasanya
Sementara itu, jauh dari tempat Nadina berada, tepatnya pada salah satu tempat makan lokal, Ali bertemu dengan Rayyan. Rayyan segera bangkit dari tempat duduknya saat mendapati Ali telah melangkahkan kakinya ke arah meja yang ia duduki. “Assalamualaikum, Abi!” pekik Rayyan sembari menyalami dan mencium tangan keriput Ali. “Waalaikumussalam,” sahut Ali. Keduanya lanjut duduk. Tak ada pembuka yang begitu berarti, Rayyan segera menjelaskan apa yang tadi terjadi di pondok. Mulai dari tabrakan itu hingga surat yang berisi kalimat ancaman. “Apakah Nadina memang sudah menerima banyak paket ancaman, Abi?” tanya Rayyan. “Tidak, Nak Rayyan. Ini kedua kalinya. Tapi jujur saja Abi cemas dengan menantu abi itu. Kami tak memiliki seseorang pun untuk diperkirakan, tak ada bukti untuk membawa kami pada petunjuk apapun,” sahut Ali. “Abi, jujur saja Rayyan mencurigai Regina. Mantan kekasih Rayyan yang terang-terangan menyampaikan kebenciannya pada Nadina. Rayyan bahkan telah pergi menemuinya. Ra
Beralih dari Rayyan dan Ali, di sebuah rumah yang cukup besar, tampak seorang anak kecil tengah berlari memasuki rumah sembari terus memanggil sang ibu. “Bunda!!” pekik bocah itu yang tak lain dan tak bukan ialah Azif. Bocah itu segera saja berlari ke arah sebuah kamar yang diduga kuat adalah kamar sang ibu. Tanpa permisi, ia langsung membuka dan menghamburkan dirinya ke dalam ruangan. Seorang wanita berpakaian hitam tengah berdiri memandang jendela segera mendapat pelukan dari Azif. Pelukan yang sangat erat. Seolah bocah itu hendak mengeluarkan segala cerita tentang harinya kepada sang wanita. “Bunda sudah bilang berapa kali pada Azif?! Jangan lupa mengetuk pintu lebih dahulu! Kenapa mematuhi hak sesederhana itu Azif tidak bisa?! Bunda tidak suka ya jika Azif melanggar dan main masuk kamar bunda!” sergah wanita itu kini berbalik dan mencekal kedua lengan tangan Azif. Bocah yang awalnya memasang senyuman lebar itu kini berubah datar. Rautnya tampak sedikit ketakutan melihat sang
“Haisshh! Anak itu! Tidak tahu diuntung! Bisanya hanya merengek! Memang seharusnya dia mati saat insiden tujuh tahun lalu!” sergah sang wanita yang rupanya mendengar keluhan sang putra dari balik celah pintu kamar. Wanita itu kembali ke kamar lalu duduk di meja kerjanya. Ia menatap sebuah ponsel dengan tatapan ketus. Ada rasa amarah dan dendam yang terasa membuncah dan lama dipendam. “Dengar Nadina, tujuh tahun aku membiarkanmu menang atas segalanya. Dan sekarang, tak akan kubiarkan hidupmu tenang! Kau sendiri sekarang. Tak akan ada yang bisa membantumu dan membelamu. Apapun akan kulakukan. Kau harus membayar semua rasa malu dan sakit hatiku!” sergah wanita itu. Wanita itu memang berhijab, bahkan hijabnya panjang sempurna menutup aurat yang memang semestinya ia tutupi. Tetapi siapa sangka jika hatinya begitu penuh amarah. Kemampuannya dalam mengontrol emosi sangat rendah bahkan saat ia di hadapkan pada seorang anak kecil. “Sayang sekali, sebelum aku bisa menunjukkan kembali diriku
Hari berganti pagi, entah bagaimana caranya, Rayyan telah ada di serambi masjid bersama Ali dan tengah berbincang bersama saat Nadina keluar dari dalem dan bersiap untuk kelas bahasanya di salah satu jam mengajar pondok. “Rayyan? Abi? Sejak kapan dia ada di sana? Apa aku telah benar-benar terlalu baik padanya hingga memberikan harapan yang semestinya tak aku bagi padanya?” gumam Nadina. Hari itu hari libur sekolah, karenanyalah Rayyan bisa dengan leluasa datang tanpa sibuk dengan jam mengajarnya. Sementara itu, Nadina yang sedang mengajar di kelas sedikit tak fokus karena memikirkan mengenai Rayyan juga sosok yang ia lihat pada panggilan telepon Azfi tempo hari. “Ya Allah, kenapa aku jadi tidak tenang dan terus-terusan was-was seperti ini, ya?” batin Nadina. Meskipun begitu, tanggung jawab Nadina untuk menyelesaikan kelasnya tetaplah nomor satu. Satu jam berlalu dan ia pun memutuskan untuk keluar dari kelas. Saat keluar berjalan pada koridor, ia melihat melati tengah berjalan be
Mobil Nadina berhenti di sebuah pemakaman umum pinggir kota. Keduanya segera turun dari mobil dan sejenak menarik napas sebelum melangkahkan kakinya untuk memasuki kawasan penuh nisan bernama itu. “Mbak Nadina masih hafal posisinya? Apalagi ini sudah tujuh tahun sejak kematiannya. Pasti sudah banyak makam-makam baru, ‘kan?” tanya Melati saat keduanya mulai mengawasi tanah yang akan mereka pijak. “Aku dan Mas Nadhif masih sering kemari setidaknya dua bulan sekali. Tetapi setelah kematiannya, aku tak terlalu sering datang kemari. Terakhir kali aku kemari satu tahun yang lalu. Jadi kuharap perubahannya tak akan begitu kentara,” ujar Nadina. “Ahh, iya ‘kah? Wah, tetapi kenapa Mbak Nadina dan almarhum Gus Nadhif masih sering datang kemari? Maksud Melati, ya Melati tahu kalian orang baik, tetapi lokasi ini juga cukup jauh dari pondok ‘kan? Perlu kurang lebih empat puluh menit untuk kemari. Kenapa repot-repot?” tanya Melati panjang. Nadina diam sebentar, langkahnya pun berhenti. Ia meman
“Mungkin karena aku sudah lama tidak mengunjunginya, Mel!” sahut Nadina sekenanya. “Masyaallah, Mbak Nadina!” pekik wanita paruh baya itu. Sebut saja Rukmi namanya. “Assalamualaikum, Bu Rukmi!” pekik Nadina segera berjalan menuju wanita yang tampak terkejut dan antusias itu. Melati pun segera mengeluarkan kotak roti yabg memang mereka beli untuk Ibu Rukmi dari dalam mobil lalu menyerahkannya kepada sang penerima. “Ya Allah, Mbak! Kenapa repot-repot! Jenengan—kamu, datang kemari saja sudah membuat saya senang! Tidak perlu repot-repot membawa buah tangan!” pekik Rukmi tak langsung menerima sodoran kotak roti dari Melati. “Mboten—tidak, repot kok, Bu! Saya senang bisa bertemu ibu lagi. Lagi pula ini hanya sedikit, diterima nggih, Bu!” ujar Nadina mengambil alik kotak roti itu dari tangan Melati lalu menyerahkannya ke tangan Rukmi. “Alhamdulillah, terima kasih, Nak!” pekik Rukmi. “Ayo, ayo masuk dulu! Tapi maaf, seperti biasa rumah ibu ya begini kecil dan kumuh!” pekik Rukmi sembari
Mobil Nadina kini berhenti di pelataran pondok. Namun mata Nadina langsung menangkap sebuah mobil yang sedari tadi pagi memang ada di sana. “Pak Rayyan belum pulang juga, Mbak! Sepertinya memang menunggu Mbak Nadina, deh!” pekik Melati. “Bantu aku membuat alasan, Mel! Jujur saja aku tidak ingin bertemu dengannya saat ini. Aku tak siap mesti bersikap seperti apa padanya,” ujar Nadina terdiam dengan sabuk pengaman yang masih menempel. “Kenapa terus dihindari, Mbak? Kalau bukan hari ini, besok mungkin dia akan datang lagi. Semua akan seperti itu, kembali terulang. Kalau saran Melati, jangan dihindari lagi, Mbak. Temui saja beliau,” ujar Melati. “Begitu, Mel? Tetapi harus seperti apa aku nanti?” tanya Nadina kini menundukkan kepalanya. “Ehm, biasa saja. Jangan memberikan perlakuan spesial. Namun juga jangan memberikan perlakuan tak baik. Bersikap saja dia tamu yang patut dihormati.” Nadina menarik napas panjang lalu mengangguk ke arah Melati. “Baiklah. Oiya, jangan lupa rotinya, Mel