“Hah?!” teriak Nadina langsung membuat lingkungan sekitar hening dan mengamati Nadhif dan Nadina.Sementara Nadhif akhirnya memejamkan matanya, Nadina malah tampak meringis dengan melirik ke sekitar. Sudut mata wanita itu dengan jelas menangkap seluruh warga pondok mengamatinya atas pekikkan yang baru ia lontarkan itu.“Mas, lakukan sesuatu, mereka semua memandang kita,” bisik Nadina tanpa membuka mulutnya lebar-lebar.Nadhif akhirnya membuka matanya lalu memandang wajah cemas Nadina juga merasakan beberapa tatapan menghunjam punggungnya.“Apa kau lelah, Nadina?” tanya Nadhif sembari mengamati tubuh Nadina. Istrinya itu jelas semakin mengerutkan dahi melihat tingkat Nadhif yang tiba-tiba aneh begitu.“Baiklah, biar saya gendong kamu supaya kamu baik-baik saja, yah!” tutur Nadhif lalu langsung memegang bagian tubuh Nadina untuk membantunya menggendong wanita itu.“Eh, Mas! Mas! Mas ngapain! Turunin, Nadina!” bisik Nadina sambil terus mencubit kecil lengan Nadhif disertai senyuman kepad
Seseorang tampak dengan pelan menutup pintu kamar Nadina dan Nadhif tanpa membuat keduanya mengetahui pergerakan itu. Sementara itu, di kamar lain, Ali yang tengah membaca buku tiba-tiba terkejut saat melihat sang istri masuk ke kamar dan langsung menutup pintunya. “Umi? Kenapa seperti baru bertemu hantu begitu? Ada apa? Kenapa cepat sekali bertemu Nadina dan Nadhif? Minyak angin yang abi titipkan untuk Nadina sudah jadi umi berikan?” tanya Ali tanpa jeda. “Astaga, Abi! Kalau bertanya itu satu-satu! Jangan terus bertanya tanpa jeda seperti itu! Umi jadi bingung harus menjawab mulai dari mana!” tutur sang umi. “Baiklah, katakan apa yang terjadi hingga umi tampak terburu seperti itu?” ulang Ali sembari menutup buku yang baru ia baca itu. “Abi tak akan percaya kepada apa yang umi lihat barusan! Ada sesuatu di kamar Nadhif dan Nadina!” pekik Aminah sembari berjalan ke ranjang dekat meja kerja Ali. “Ada apa? Mereka baik-baik saja bukan?” Ali mengerutkan wajahnya lalu meletakkan buku d
Hari kembali pagi, Nadina telah lebih dulu bangun dan membersihkan dirinya di toilet. Setelahnya, Nadhiflah yang berganti masuk ke toilet. Sembari mengeringkan rambutnya, Nadina melirik ke arah ranjang juga lemari. Biasanya, Nadhif akan mengeluarkan pakaian yang hendak ia pakai dan meletakkannya ke ranjang atau menggantungnya di lemari. Namun sekarang itu semua tidak ada. Nadina bangkit dari kursi riasnya lalu berjalan menuju toilet. Diketuknya pelan pintu itu hingga suara air yang terdengar sebelumnya kini senyap. “Mas Nadhif, ini Nadina. Mas sudah bawa baju ganti? Kenapa di ranjang dan di gantungan tidak ada? Mau Nadina yang ambilkan?” tanya Nadina dengan sedikit berteriak berharap suaminya mendengar semua yang ia katakan. “Sudah Nadina! Terima kasih, tapi saya sudah bawa di sini!” pekik Nadhif membalas. “Ahh, baiklah! Nadina pergi ke dapur, ya!” pekik Nadina lalu kembali ke meja rias dan menuntaskan rambutnya sebentar lalu mengenakan hijab instan sebelum akhirnya keluar kamar.
Nadhif tersenyum memandang Nadina lalu menutup tangan kanan Nadina dengan kedua tangannya sembari mengelusnya pelan. Nadina tampak mengerutkan dahi saat menyadari Nadhif malah tersenyum dan melakukan hal di luar dugaan untuk kesekian kalinya.“Mas tidak marah?” celetuk Nadina membuat Nadhif yang kala itu menundukkan pandangan beralih menatap mata Nadina.Kekehan sedikit terdengar dari mulut Nadhif, pemuda itu menegakkan badannya lalu menatap lurus sang istri.“Kenapa kamu selalu bertanya apakah saya marah, apakah saya marah, Nadina? Saya tidak akan mudah marah hanya karena masalah yang baik-baik saja ini. Malahan saya sangat bersyukur, saya sangat senang setidaknya kamu bisa mulai menerima saya. Ini sebuah kemajuan yang sangat baik, Nadina!” pekik Nadhif.“Kenapa Mas Nadhif baik sekali? Jangan terlalu baik, Mas! Nanti orang lain mengambil kesempatan untuk menyakiti Mas Nadhif. Terkadang jadi sedikit jahat juga tidak apa-apa ‘kan?” tutur Nadina.Nadhif mengangguk pelan, “Menjadi baik i
Nadhif dan Nadina saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya Nadina menundukkan pandangannya dan Nadhif kembali menatap anak kecil itu. “Terima kasih, ya! Ini sangat keren! Kalian sangat baik! Saya terima ya adik-adik!” tutur Nadhif sembari sebentar mengelus pucuk kepala bocah itu. Usai kembali bersalaman, mereka kembali masuk berlari ke dalam ruang kelas mereka dan meninggalkan Nadhif serta Nadina berdua saja dalam kecanggungan yang hebat. Nadhif sedikit berdeham sebari kembali menegakkan tubuhnya, ia berharap tak akan ada masalah setelah ini. “Rupanya kabar semalam sangat cepat menyebar ya, Mas! Bahkan para anak kecil itu juga telah mengetahui rumor itu,” tutur Nadina. “Ehm, ya! Saya juga tidak menyangka itu benar-benar terjadi. Saya tidak pernah menyangka jika pernikahan saya akan menjadi pusat perhatian seperti saat ini,” tutur Nadhif. “Nadina sudah memikirkannya, kok! Bagaimana tidak menjadi pusat perhatian, Gus Tampan mereka tiba-tiba menikah dengan wanita asing!” tutur
“Akan aneh jika kami telah memiliki putra putri sebesar yang kamu pikirkan, Meydina. Kami baru saja menikah beberapa waktu lalu,” sahut Nadhif cepat untuk menghindari keadaan canggung. “Ahhh, begitu!! Saya pikir kau telah menikah lama! Jadi di hadapanku ini sepasang pasutri —pasangan suami istri, baru?!” pekik Meydina lalu kembali tersenyum dan beralih memandang Nadina. “Hahaha, baiklah saya rasa ini tidak akan ada habisnya jika diteruskan. Lebih baik lanjutkan masalah pekerjaan kalian saja,” ujar Nadhif. “Ahh iya! Saya sampai lupa! Maafkan saya ya, Nadina! Nadhif ini kawan dekat saya saat kami sekolah dasar! Dulu dia tidak sependiam ini, dia seperti preman anak kiai! Patutlah jika saya sedikit nostalgia,” ujar Meydina sambil sesekali terkekeh memandang Nadhif. Nadina tak banyak membalas, ia hanya tersenyum sambil mengiyakan. Ia masih terlalu terkejut dengan situasi di hadapannya saat ini. “Baiklah Nadina, begini. Sadewa telah memberi tahu saya ada beberapa syarat yang akan kamu
“Ahh, begitu rupanya. Saya kira kalian memiliki hubungan kerabat atau pertemanan lain. Baiklah Nadina, selamat datang ke Butik Medina. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya! Dan pemotretan pertamamu adalah besok sesuai jam yang tekah kita sepakati!” papar Meydina. Nadina dan Nadhif saling mengangguk. Usai semua penjelasan hari itu, Nadina dan Nadhif kembali pulang. Nadina terus saja memikirkan mengapa Nadhif tidak memberi tahu Meydina jika Sadewa adalah kawan satu sekolahnya dulu. “Mas Nadhif, kenapa Mas Nadhif tidak mengaku saja jika Mas Dewa adalah kakak tingkat Nadina?” tanya Nadina sembari sedikit menoleh ke arah Nadhif. “Setidaknya mereka tidak akan memperlakukanmu spesial atau merendahkan kemampuanmu karena orang dalam. Dan ada beberapa alasan lain yang tidak bisa saya jelaskan sekarang ini,” jawab Nadhif sembari sedikit melirik ke arah istrinya. Nadina hanya sedikit berdeham. Separuhnya ia paham dan separuhnya ia tak mengerti dengan apa maksud dan tujuan Nadhif. Nam
Nadina dengan raut kebingungan menoleh ke kanan dan ke kiri berharap bertemu sang umi maupun suaminya yang akan bisa menjelaskan kebingungannya hari itu. Namun percuma, tak ada yang bisa ia temui. “Ehm, begini. Kalian tahu saya baru di sini bukan? Bahkan hari ini adalah hari pertama saya berada di sini. Jadi bolehkah jangan membahasnya dulu? Saya masih belum memahami apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh saya putuskan,” tutur Nadina berusaha selembut mungkin. “Ahh, baiklah Mbak! Kami akan kembali nanti. Assalamualaikum!” pekik dua orang santriwati itu. Seperginya mereka dari sana, Nadina segera meraih ponselnya dan mengetikkan pesan kepada Nadhif. Ia segera hendak meminta Nadhif datang dan menjelaskan semua kebingungannya itu. Karena Nadhif sedang sibuk mengajar, ia tak bisa datang secepat itu dan berjanji akan menjelaskannya sore nanti. Nadina yang merasa sedikit frustrasi, akhirnya menjatuhkan kepalanya ke meja dan bergaya malas. Tak kama setelah posisinya itu, seseorang masuk