Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas13. Selingkuh? (Bagian A)"JANGAN PEGANG-PEGANG!" pekik Kak Ambar kuat sambil menyentak tangannya yang tadi aku pegang, dia terlihat risih dan segera membetulkan lengan bajunya.Aku limbung karena hentakannya dan hampir saja terjungkal ke depan jika saja tidak segera dipegang oleh Bang Galuh."Kak!" tegur Bang Galuh pada kakaknya, suamiku terlihat sagat tidak suka karena aku hampir saja terjatuh.Aku hanya diam dan mencerna kejadian yang sangat cepat ini, lalu kembali bersikap setenang mungkin. Kududukkan diriku lagi, dan segera meminum sirup yang dari tadi memang sudah ada di gelasku."Sudah, Bang. Tidak apa-apa," kataku pada Bang Galuh yang masih menatap Kak Ambar dengan marah.Kutarik tangannya untuk ikut duduk bersamaku, dan menyodorkan minuman untuknya. Sedangkan Kak Ambar terlihat gelisah dan lantas menatap Bang Gery dengan takut-takut."Jadi kamu tidak mau memberikan uang itu, Luh?" tanya Bang Gery pada suamiku."Tidak, Bang! Uang itu akan
14. Selingkuh (Bagian B) "Dek, pulang yuk!" ajaknya pada Aksa yang masih betah menonton televisi, dia bahkan tidak terganggu sedikitpun dengan keributan yang tadi ada."Hm?" gumamnya tidak jelas."Pulang, Yuk!" Kali ini Kak Ika yang mengajak."Enggak, ah. Mama sama Papa pulang aja, Aksa nginep di sini." Final Aksa tak mau pulang."Ih, jangan ah. Ntar kamu ngerepotin Om sama Tante." Kak Ika berusaha melarang."Enggak, Aksa kan udah gede. Gak akan ngerepotin, kok, Ma," ucap Aksa merayu. "Boleh, kan, Tan?" tanyanya padaku."Ya boleh, dong!" jawabku semangat. "Nanti malam Aksa akan Tante ajak jalan-jalan, iya kan Om?" Aku meminta persetujuan Bang Galuh."Iya dong, nanti Aksa mau jajan apa, bilang aja. Om belikan semuanya," kata Bang Galuh menyetujui ucapanku. "Mumpung di desa Timbang Jaya ada pasar malam, kita kesana nanti malam," lanjut Bang Galuh lagi."Wah, Aksa mauuuuuu!" pekiknya dengan wajah imut."Ya udah, deh. Mama sama papa pulang dulu, ya. Aksa jangan nakal, jangan ngerepotin Om
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 15. Pasar Malam (Bagian A) "Astaghfirullahaladzim," ucapku sambil mengusap dada, lantas dengan cepat menatap Kak Luna demi meminta penjelasannya. "Kamu kaget? Lah, Kakak juga begitu tadi," katanya dengan nada bercanda. "Kak, yang benar? Jangan sampai jadi fitnah, loh," kataku lagi, berusaha mengingatkan. Sambil berbincang, aku tetap memfokuskan tangan dan mataku untuk tetap memilih baju untuk Aksa karena tujuanku datang ke sini adalah untuk itu. Namun telingaku tetap awas dengan segala ucapan Kak Luna, karena dia berbicara dengan nada pelan dan juga hati-hati jadi terpaksa aku harus membagi fokusku menjadi dua. "Nah, ini yang buat Kakak ragu untuk ngomong sama kamu. Karena belum tentu kebenaran berita ini, tapi kok ya mulut Kakak gatal, Loh Len. Kepengen ngomong sama kamu," katanya sambil terkikik kecil. "Emangnya Kakak dengar dari mana? Atau Kakak lihat sendiri, gitu?" tanyaku memastikan. "Aku lihat sendiri, jadi memang belum ada yang t
16. Pasar Malam (Bagian B) Aku manyun, niatku yang hari ingin membuat dia marah malah gagal. Aku segera beranjak menuju jendela dan menutup sedikit gordennya karena aku lihat Aksa mengernyit akibat paparan sinar matahari sore."Dek, beli baju Aksa berapa pasang?" tanya Bang Galuh sambil mengamati segala kegiatanku yang mondar-mandir di kamar kami yang luas ini."Sepasang, Bang." Aku menyahuti dari balik pintu lemari."Loh, kok cuman sepasang, Dek? Belikan lah entah tiga pasang gitu," katanya protes.Aku mengernyit dan menatap Bang Galuh dari balik pintu lemari, sedangkan yang ditatap malah balik menatap seolah bertanya kenapa aku menatapnya."Lah, kan emang cuma nginap satu malam, Bang. Besok juga sudah diantar pulang," kataku heran."Walaupun satu malam, kan nggak ada salahnya membelikan beberapa pasang, Dek." Bang Galuh menyahut sambil membetulkan posisi tidur Aksa yang mulai merosot, dan hampir jatuh ke bawah."Iya, sih. Besok deh Bang," jawabku singkat."Lagian, kita kan punya ban
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 17. Permulaan (Bagian A) "Walah, walah, ngakunya sudah tidak punya uang. Lah, ternyata habis untuk keponakan istrimu ini. Galuh … Galuh … jadi suami kok, ya, bodoh sekali?" ujar Kak Ambar. Kak Ambar menggelengkan kepalanya sok dramatis, dia mendekat sambil melihat Aksa dengan pandangan jijik. Lah, kok jijik? Keponakanku kan tidak salah apa-apa? Huh, Untung saja Aksa bukan model anak yang cengeng, yang dilihat oleh orang baru langsung menangis. Malahan anak abangku satu-satunya ini memelototi balik Kak Ambar, dia tidak gentar. "Apa sih, Kak? Malu didengar orang," ucap Bang Galuh, dia melihatku dengan pandangan meminta maaf. Aku sih santai, aku tidak ambil pusing kelakuan Kak Ambar dan juga Bang Gery. Semakin kesini, aku semakin cuek bebek menghadapi mereka. Biar saja mau bilang apa, aku sudah tidak peduli. Lah, wong yang menyakitkan hati saja sudah biasa aku terima. Kalau hanya ucapan-ucapan seperti ini, aku sudah tahan banting! "Malu? Kal
18. Permulaan (Bagian B) Galuh bergedik horror sambil merangkul Gitok. "No, no, Adek gak suka, Adek gak mau, Adek gelayyyyy!" Balasnya tak kalah mendayu. Pecah sudah tawa mereka bertiga, bahkan kernet Gitok sampai tersandung batu bata karena melihat candaan mereka yang lumayan menjijikkan. Torik segera merangkul Gitok dan juga Galuh menuju depan warnetnya yang sudah tersedia kursi untuk duduk-duduk. "Gimana, Bang? Ada yang kurang bahannya?" tanya Galuh saat mereka sudah duduk dengan santai di teras warnet Torik. "Sejauh ini enggak ada, entar kalau ada yang kurang, si Usman udah pesan suruh ngambil aja di panglong Wak Adi," kata Gitok sambil menyalakan rokoknya. Galuh mengangguk mengerti, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Di sini lah nanti dia mencoba membangun usaha, yang diharapkannya menjadi besar dan dia bisa membahagiakan Ellena. "Kamu mau ke mana? Cuma mau mengantar semen?" tanya Torik pada Galuh sambil menunjuk beberapa sak semen, yang ada di atas jok motor milik
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 19. Dicuri? (Bagian A) Galuh, Gitok, dan juga Torik terbengong sesaat, mereka saling pandang seakan tengah melakukan telepati. Sedangkan Gery bersikap cuek bebek, tidak merasa diperhatikan oleh tiga orang itu. Dia malah santai menghidupkan rokoknya, dan berkacak pinggang seperti mandor proyek. Matanya memindai ke sekeliling, dan langsung tertumbuk di semen tadi Galuh bawa. Seringai nampak di wajahnya, membuat Galuh merinding. "Cuma itu semennya?" tanyanya menunjuk. "Lah, bukannya kemarin di rumah kamu banyak? Kok, sekarang semennya cuma segitu?" katanya dengan nada heran yang sangat kentara. Galuh menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa tolol luar biasa karena dia terpaku pada setiap ucapan dan tindakan Abang iparnya ini. Gery ini, tipe lelaki keras. Penjilat ulung di depan Ibunya, namun bertindak sesuka hati di belakang beliau. "Untuk hari ini, memang butuhnya segitu, Ger," jawab Gitok. "Oh …." Gery mengangguk mengerti. "Ya udah, Luh
"Dasar manusia bersel satu, gak ada otak!" umpatnya pelan. "Luh, mana semennya? Langsung aku bawa aja deh, males aku lama-lama di sini. Manusianya bodoh semua, nggak ada otak!" kata Gery memaksa. "Nggak bisa, Bang. Pokoknya ini punyaku, udah pas untuk bangunan yang mau aku bangun. Kalau Abang mau, ya silahkan beli di panglong Wak Adi sana," ucap Galuh setengan mengusir. "Berani kamu ya? Aku adukan sama Ibu, mampus kamu!" gertak Gery dengan nafas memburu. "Ya udah, aduin aja, Bang," balas Galuh dengan santai. "Baru menyewa tanah strategis aja, sombong bener. Aku doain usaha kamu nggak laku!" umpatnya sambil berlalu. "Eh, Ger …." Panggilan Gitok mampu menghentikan langkah Gery, dia menoleh tanpa membalikkan badannya. Kernyitan di dahinya terlihat jelas, menandakan kalau dia heran luar biasa akan panggilan Gitok. "Lah, nyewa dari mana? Tanah ini punya Ellen kali, lo lupa? Keluarga Ellen itu juga kaya, jangan tanya tanahnya ada dimana-mana," ucap Gitok sambil menahan tawa. Dan de