Arsenio berjalan keluar dari dalam hotel. Arsenio mengedarkan pandangannya. Arsenio ingat jika dia masih memiliki selembar uang seratus di dalam saku bajunya. Yah, uang yang ia dapat dari menjual barang di rumahnya.“Aku harus ke pinggir jalan raya. Siapa tahu ada taxi lewat.”Arsenio kembali melangkahkan kakinya. Untungnya saat itu Arsenio melihat taxi yang melintas di depannya.“Taxi.”Teriakan Arsenio yang keras, membuat sopir taxi menghentikan mobilnya. Arsenio pun tersenyum, dan langsung berjalan mendekat.“Silakan masuk Mas,: kata sopir taxi yang membukakan pintu.“Iya Pak, terima kasih.”Arsenio langsung berjalan masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan sopir taxi yang juga masuk ke dalam mobil. Sopir taxi pun melajukan mobilnya pergi.Perhatian Arsenio kembali fokus pada Jihan. Dari tatapannya yang sayu. Jihan terlihat begitu trauma. Arsenio percaya. Jika Jihan wanita baik-baik yang tidak pernah berhubungan dengan laki-laki, karena itulah dia bisa setrauma ini. Arsenio semaki
BrukkkkArsenio menghempaskan tubuhnya di sofa. Arsenio menyandarkan kepalanya, dan seketika itu. Arsenio teringat dengan kejadian tadi. Arsenio mengacak rambutnya frustasi. Bisa-bisanya Arsenio sampai tergoda dengan Jihan.“Kamu sangat memalukan Arsenio. Untung tadi Jihan sampai tidak melihatmu.”Arsenio memejamkan matanya. Arsenio mencoba melupakan kejadian tadi. Meski kejadian itu terus mengganggu pikirannya.Arsenio mulai terbawa suasana. Rasa kantuk yang tak tertahankan, membuat Arsenio mulai terbawa ke dalam samudra mimpi.Deg“Arlo.”Arsenio langsung membuka matanya. Arsenio panik saat mengingat putranya. Arsenio sudah meninggalkan putranya, dan Arsenio harus tahu keadaannya saat ini. Arsenio langsung beranjak dari duduknya, dan berlari menuju kamarnya.BrakkkkSaking paniknya. Arsenio membuka pintu kamarnya dengan keras. Arsenio berjalan masuk ke dalam kamar. Dan perhatiannya langsung tertuju pada ranjang."Arlo."Arsenio semakin panik dan juga cemas. Saat itu Arsenio tidak m
Mendengar pintu terbuka. Arsenio langsung beranjak dari duduknya. Arsenio melihat dokter yang keluar dari dalam ruangan."Bagaimana keadaan putraku dok?""Maaf tuan. Dengan berat hati, kami harus menyampaikan berita buruk ini. Kami sudah berusaha keras, tapi maaf. Kami tidak bisa menyelamatkan putra anda."BrukkkkArsenio langsung terjatuh. Ucapan dokter tadi seperti pukulan dahsyat yang menghujam jantungnya. Tidak. Rasanya Arsenio masih tidak percaya. Tapi ucapan itu, terus terngiang-ngiang di telinganya."Tidak mungkin. Tidak mungkin anakku mati. Tidak mungkin!!!!!!!"Air mata Arsenio semakin membanjiri pipinya. Hati Arsenio hancur. Putra kesayangannya harus pergi meninggalkannya untuk selamanya."Aku harus melihat anakku."Arsenio beranjak dan langsung masuk ke dalam ruangan. Langkah Arsenio terhenti di depan pintu. Perhatiannya tertuju pada anaknya yang terbaring di atas hospital bad dengan kain kafan membungkusnya. Hati Arsenio semakin hancur.“Tidak. Ini tidak mungkin.”Arsenio
Gerimis membasahi tanah. Hari masih pagi, namun gerimis seolah ingin ikut andil dalam kesedihan yang dirasakan Arsenio saat ini. Arsenio duduk termenung di samping batu nisan putranya. Arsenio tak langsung pergi. Meski prosesi pemakaman sudah selesai.“Kenapa begitu cepat kamu meninggalkan Papa, Arlo. Meninggalkan Papa sendirian seperti ini.”Perhatian Arsenio tak teralihkan dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya. Rasanya Arsenio masih belum percaya jika putranya telah pergi untuk selamanya. Berat bagi Arsenio menerima kenyataan pahit ini. Berulang kali air mata Arsenio berjatuhan. Mungkin jika tidak gerimis. Pipinya penuh dengan air mata."Maafkan Papa, Arlo. Jika malam itu Papa tidak meninggalkan kamu. Papa tidak akan mungkin kehilangan kamu.”Ingatan Arsenio mengingatkannya dengan kejadian tadi malam. Tangan Arsenio mengepal kuat. Mengingat omnya sendiri. Tega membohonginya."Semua ini gara-gara tua bangka itu. Gara-gara dia, aku kehilangan putraku."Mulai detik itu Arsenio
CklekArsenio membuka pintu kamar mandi. Setelah dia selesai mengganti bajunya. Saat Arsenio hendak berjalan menuju ranjang. Langkahnya terhentikan. Melihat tempat di mana ia menemukan putranya terjatuh dan bersimbah darah.Hati Arsenio kembali dibalut duka. Tapi perasaan itu dikalahkan oleh pikirannya. Yah, Arsenio masih memikirkan putranya yang masih bayi, tapi dia bisa sampai terjatuh ke lantai.“Bagaimana Arlo bisa terjatuh? Dia masih bayi, dan dia tidak mungkin bisa bergerak. Apa ada orang yang menjatuhkannya? Tapi siapa? Tadi malam Arlo tinggal sendirian di rumah.”Arsenio terus memutar otaknya, namun Arsenio tetap tidak menemukan jawabannya. Arsenio sampai mengacak rambutnya karena frustasi.Semakin lama di dalam kamar. Semakin Arsenio terbawa suasana hatinya. Bahkan tanpa diundang air matanya berjatuhan. Ada rasa sesak di dalam dadanya yang benar-benar mengganggunya.“Lebih baik aku keluar.”Arsenio melangkahkan kakinya berjalan keluar dari dalam kamar. Arsenio berjalan menuju
Cklek“Keluar,” kata polisi tadi yang menarik Arsenio keluar dari dalam mobil.“Lepaskan saya.”Arsenio kembali memberontak, tapi Arsenio tetap tidak bisa melepaskan dirinya saat tangannya di borgol.“Lapor komandan. Kami berhasil membawa pelaku,” kata polisi tadi saat mereka masuk ke dalam kantor.DegArsenio terkejut saat melihat omnya yang amat ia benci saat ini melihat kearahnya. Omnya tersenyum, tapi bagi Arsenio itu sebuah ejekan. Arsenio mengalihkan pandangannya. Malas rasanya melihat wajah tua bangka itu. Apalagi wajahnya penuh dengan luka yang diperban. Dan itu hasil karya Arsenio malam itu.“Pasti tua bangka yang sudah melaporkan aku ke kantor polisi,” bisiknya.Tap tap tapArsenio mengalihkan pandangannya. Saat itu Arsenio melihat omnya yang berjalan mendekatinya.“Selamat malam keponakanku tercinta.”Arsenio langsung menarik daguyanya dari tangan menjijikkan tua bangka itu.“Sebentar lagi masuk penjara, tapi masih sok sikapmu.”“Tidak masalah kalau aku harus masuk penjara.
Tubuh Arsenio bergetar mendengar suara yang menggelegar. Arsenio meyakinkan dirinya. Dengan perasaan cemas. Arsenio membalikkan badannya.DegArsenio terkejut. Arsenio baru menyadari jika di dalam sel yang sama dengannya. Ada penghuni lain selain dirinya. Arsenio menegang di tempatnya. Sepertinya kehadirannya tidak mendapatkan sambutan yang baik dari mereka. Itu sangat terlihat jelas dari tatapan tak bersahabat yang mereka berikan.“Kamu penghuni baru di sini?”“I-iya.”Arsenio waspada saat salah satu diantara mereka berjalan mendekatinya. Dari penampilannya. Sepertinya laki-laki itu ketua geng di tahanan ini. Dia berdiri di depan Arsenio dengan tersenyum mengejek.“Kenapa kamu bisa masuk sini?”“Maaf, itu bukan urusan kamu.”“Oh, begitu ya.”Laki-laki itu tersenyum mengejek. Dia sempat berbalik, tapi hitungan detik setelahnya. Dia kembali membalikkan badannya.BrukkkkkkArsenio terkapar di lantai saat pukulan keras mendarat tepat di wajahnya. Arsenio menyeka sudut bibirnya saat meras
“Apa?”Dyra terkejut dan langsung membalikkan badannya. Dyra melihat mamanya yang kini duduk di depannya.“Mama serius dengan kabar yang Mama sampaikan tadi?”“Iya, serius. Mama mendapatkan kabar ini dari orang yang terpercaya.”Dyra diam, dan melihat mamanya dengan tatapan dalam. Tapi tidak lama setelahnya. Gelak tawa terdengar keras memenuhi kamarnya.“Kamu kenapa Dyra? Kamu tidak gila kan karena anak kamu meninggal?”Mama Shellin langsung beranjak dari duduknya. Mama Shellin panik melihat putrinya yang tertawa seperti ini. Mama Shellin menyadarkan putrinya yang tidak berhenti tertawa.“Dyra, kamu jangan gila dong sayang. Mama tahu kamu sedih, tapi bukan berarti kamu sampai seperti ini,” sambung Mama Shellin yang semakin panik.“Ihhhhh, apa sih Ma. Siapa juga yang gila,” balas Dyra. Dyra yang risih menyingkirkan tangan mamanya dari wajahnya.“Terus kenapa kamu tertawa seperti ini?”“Bagaimana aku tidak tertawa. Kalau Arlo meninggal. Secara otomatis hidup Arsenio akan semakin menderi