Ramon turun dari mobilnya. Hari masih pagi. Hawa sejuk pegunungan terasa begitu menyegarkan. Ia jadi paham kenapa Pak Dirman memilih pulang kampung daripada bekerja terus untuknya. Ia memberi isyarat pada salah satu anak buahnya untuk bertanya pada seorang wanita paruh baya yang sedang menggendong balita di depan sebuah rumah kecil dan sederhana yang terbuat dari papan dan juga anyaman bambu. Bi Sunnah segera berbalik untuk kembali masuk ke dalam rumah namun terlambat salah satu orang dari mereka telah memanggilnya."Bu maaf bisa mengganggu sebentar," tanya seorang pria mendekati bi Sunnah. Bi Sunnah mencoba tersenyum seraya menyembunyikan wajah Givani. Ia hanya ingin mengantisipasi kekhawatirannya seandainya dugaannya benar kalau pria barat itu kemungkinan ayah Givani."Ya ada apa ya pak?" kata Bi Sunnah."Apa anda tahu pak Dirman? apa pria itu masih tinggal di sini?" tanya orang itu. Bi Sunnah berpikir cepat. Ia menjadi lebih waspada. "Ini memang kediaman Pak Dirman. Anda mengena
Beberapa kali Tobias membawa perempuan berbeda ke apartemen. Masih tetap sama ia akan bercinta seenaknya di segala sudut ruangan apartemen tanpa peduli dengan keberadaan Sofia. Seperti biasa pula Sofia tetap dengan wajah acuhnya mengerjakan tugasnya. Malam itu Sofia sedang tidur seperti biasa ketika Tobias dengan kurang ajarnya membawa seorang perempuan ke kamarnya."Pergi Sofia aku ingin bercinta di atas ranjang mu," ucap Tobias tak menghentikan cumbuannya pada seorang jalang yang terkikik geli karena sentuhan Tobias. Tentu saja Sofia yang baru bangun sempat bingung. Ia beranjak dari kamar tidurnya memandangi kelakuan tidak senonoh di depannya. Tobias dan wanita itu langsung saling tindih di atas tempat tidur yang baru saja ditidurinya. Entah kenapa kali Sofia tidak bisa menoleransi semuanya. Kemarahan menggelegak menyesakkan dadanya. Dengan segenap tenaganya ia menyerang perempuan itu dan berusaha memisahkannya dari Tobias. Tobias tertegun melihat Sofia seperti kesetanan. "Dasar
Wanita yang menarik kartu kridit itu ternyata setelah diselidiki adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit tempat ATM itu berada. Ramon segera menemui dokter itu ketika dokter itu baru selesai praktek."Maaf mengganggu waktunya sebentar," ujar Ramon yang duduk di kursi tunggu pasien. "Maaf apakah anda pasien saya?" jawab dokter wanita itu meneliti tubuh pria itu. Ramon berdiri dan mengulurkan tangannya. Dokter wanita itu menyambutnya canggung. "Silahkan masuk ke ruangan saya. Meski ini bukan tempat praktek pribadi.,""Ini tak akan lama saya hanya menanyakan satu hal pada anda," ujar Ramon masuk dan segera duduk berhadapan dengan dokter itu. "Ya silahkan saja. Mungkin saya bisa membantu," ujar dokter itu. Ramon menghela nafas kemudian menunjukkan data transfer."Di tanggal ini anda menarik uang dari kartu kridit saya yang saya berikan pada kekasih saya. Saya ingin tahu kenapa anda sampai bisa menarik uang dari kartu itu?" tanya Ramon menatap tajam sang dokter. Dokter mencob
Dokter psikiater itu memberikan suntikan penenang untuk Sofia. "Coba mungkin anda ajak istri anda liburan bersama atau kegiatan romantis. Atau tanyakan apa yang diinginkannya. Buat di senyaman mungkin. Dia hanya terkena depresi ringan," saran dokter itu." Ada lagi dok?" tanya Tobias menatap wajah Sofia yang perlahan mulai tertidur."Ia butuh suasana keluarga. Jangan biarkan ia melamun sendirian," tambah dokter itu. "Ya akan saya lakukan," kata Tobias mengantarkan dokter ke pintu apartemen. Tobias kembali ke kamar dan membenahi selimut Sofia.Ia membelai wajah wanita itu. Sejak dulu ia sudah menyukai Sofia saat pertama kali dibawa ke mansion oleh Alfaro untuk dikenalkan. Sayangnya perasaannya terpaksa ia pendam rapat-rapat begitu Alfaro dan ibunya ingin menjodohkan Sofia dengan Ramon. Sofia memiliki wajah cantik nan eksotik khas wanita latin. Rambut coklat gelap segelap matanya. Kulitnya mulus agak kecoklatan dengan tubuh yang sangat ideal. Selain cantik Sofia juga begitu ramah dan
Tangan Tobias merasakan kekosongan saat ia meraba area ranjang di sebelahnya. Sofia sudah tak ada saat ia terbangun. Hari sudah beranjak siang. Ia tak akan pergi ke kantor. Ia pun segera turun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Mungkin Sofia sudah berkutat di dapur untuk memasak dan melakukan pekerjaan lainnya. Sofia telah menjadi ibu rumah tangga yang begitu manis. Itu semua berkat gemblengan dan tindakan kerasnya. Saatnya Sofia sekarang bisa menjadi wanita yang bisa dicintai dan siap untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Tobias tersenyum sendiri membayangkan anak-anaknya akan lahir dari rahim Sofia. Tobias langsung membuka kamar mandi. Pikirannya masih sibuk dengan bayangan rumah tangga sempurna bersama Sofia sampai ia terpaku menatap tubuh Sofia sudah tergeletak di lantai kamar mandi. Nadinya sobek dan mengeluarkan banyak darah. Tobias segera balik ke kamar, meraih ponsel dan menghubungi ambulance. Setelah itu dengan panik ia segera meraih kemejanya untuk mengikat lenga
Ganis mencium pipi Givani berulangkali sebelum memeluknya erat. Mereka sedang berada di bandara. Hari ini Ganis akan terbang ke Jepang untuk jadi teknisi bengkel motor. "Kakak kenapa aku nggak boleh ikut," rajuk Givani tidak mau ditinggal. "Sayang kakak mau bekerja, bukan untuk main," bujuk bi Sunnah. "Kakak janji akan segera video call. Givani baik- baik saja sama ibu. Harus nurut dan belajar yang baik," kata Ganis membelai rambut kecoklatan gadis kecil itu."Janji ya, jangan bohong," kata Givani sambil mempermainkan kepangan rambutnya. Ganis hanya tersenyum dan memeluk kembali Givani singkat. Kali ini ia harus kuat. Ia harus meninggalkan Givani demi masa depan mereka kelak.Waktu hampir habis. Ganis menyerahkan Givani pada bi Sunnah. Kini giliran Ganis memeluk bi Sunnah dan bergegas menyeret kopernya berjalan menuju boarding pass. Ia sempat mendengar tangis Givani. Ia memejamkan mata menguatkan batin.Dalam pesawat Ganis menatap langit melalui jendela pesawat dengan perasaan pilu
Ramon segera bergegas menuju mobilnya setelah selesai mengadakan konferensi pers. "Aku yakin dengan mensponsori acara olahraga ini maka produk kita akan semakin dikenal," ucap Soraya asisten Ramon yang tentu saja terus mengikuti Ramon kemanapun pergi. Soraya adalah keponakan Mara yang baru saja lulus. Mara mengajukan Soraya untuk jadi asistennya karena Mara sendiri tak akan bisa mengikuti mobilitas Ramon yang sangat sibuk mengingat usianya yang kian bertambah. "Kau seantusias itu," kata Ramon melonggarkan dasinya. Soraya mengangguk dengan senyum optimisnya. Ramon menangkap senyum itu dan kembali teringat Ganis. Soraya adalah gadis muda berusia sama dengan Ganis. Seharusnya Ganis bisa hidup seperti Soraya dan gadis lainnya. Rasa sesal dan rasa bersalah kembali menderanya. "Soraya hari ini kau bisa bebas melewatkan akhir pekanmu," ucap Ramon singkat. Ia berharap Soraya akan bisa menikmati hari liburnya dan sejenak melupakan urusan pekerjaan. "Bapak sendiri apakah juga akan bekerja?"
Ganis sedang melakukan video call dengan Givani dan Bi Sunnah. "Kak kata ibu aku mau sekolah," ujar gadis kecil itu sambil makan donat kesukaanya. "Ya Vani harus sekolah," ucap Ganis tersenyum. Bi Sunnah tampak di belakang Givani tak ingin ikut berbincang. Ia ingin memberi kesempatan keduanya untuk saling bercakap. "Aku melihat Sherli pergi ke sekolah. Apakah semua anak harus pergi ke sekolah kak? Kata ibu kalau sekolah aku nggak boleh bangun siang lagi," tukas gadis kecil itu terlihat cemberut. "Ya karena Sekolah ada aturannya sayang. Percayalah nanti Vani pasti menyukai sekolah," sahut Ganis paham dengan kegusaran Givani. "Kak aku nggak mau sekolah kalau nggak diantar kakak," rajuk Givani manja pada Ganis. "Tentu saja di hari pertama kau sekolah aku akan minta ijin untuk pulang khusus untuk mengantar Vani," janji Ganis berpikir untuk berupaya pulang. Kebetulan ia sama sekali tak pernah mengambil hak cutinya selama bekerja. Givani langsung meloncat kegirangan. "Betul Ya, kaka