“Jadi, kalian bakalan ngerawat anak Bang Hasan dari temennya itu?” telisik Tya dari jok kemudi.
Dia bertanya tanpa beralih pandangan ke arahku. Kelihaiannya mengemudi sejak SMA telah membuat gadis itu mampu menakhlukkan mobil jenis apapun dengan mudah, berbeda denganku yang masih belum belajar menyetir sama sekali sampai hari ini.
“Iya, untuk ke depan, Husein akan jadi tanggungjawabku dan Bang Hasan. Tapi, tinggalnya tetap dengan mamak, sih. Mamak juga enggak izinin kami bawa Husein,” lanjutku pada Tya.
Usai sepeninggal Wulan, kuputuskan untuk bercerita pada Tya. Dibanding Wulan yang sedang menghadapi kesulitannya, Tya jauh lebih senggang untuk mendengarku. Lagi pula, jika aku masih mencoba menyembunyikannya lebih lama, aku khawatir Tya atau Wulan akan mengetahuinya dari orang lain dan mulai menyimpan dendam padaku.
Kami berdua menjadi hening untuk sesaat. Tidak ada yang berbicara lagi, dan hanya deru napas lelah yang terdengar.
Aku segera berpaling begitu mendengar suara dalam yang menyentak siang. Di belakangku, Bang Hasan sudah berdiri dengan ekspresi geram. Dia tidak berkata apapun lagi usai menegur mahasiswa tidak sopan yang mengusik istrinya, selain memandang lurus dengan sorot mata serupa elang.Begitu tajam, tegas. Bang Hasan seolah menegaskan jika dirinya menantang mahasiswaku yang berusia jauh di bawahnya itu.“Abang? Ka-kapan datang?” Aku tergugu menghadapi Bang Hasan.Lekas ayunan langkah kaki ini menuju padanya. Tidak, tidak boleh begini. Aku tidak mau jadi viral dalam satu hari. Bang Hasan dan pemuda tidak sopan itu harus dipisahkan, atau paling tidak kami berpindah tempat.“Bang? Tenang.”“Ini orangnya, Zahrah? Mahasiswa yang sering mengganggumu melalu pesan-pesannya?” Bang Hasan menunjuk mahasiswa itu.Kutemukan urat-urat leher dan lengannya bermunculan segera. Pertanda buruk jika Bang Hasan mulai kehilangan kendal
Ini sudah kedua kalinya aku mengecek setiap daun pintu dan jendela. Hati kecil terus berbisik gelisah mengingat aku akan tinggal sendirian sejak malam ini.Dua jam yang lalu, usai salat isya Bang Hasan dijemput mobil kantor. Dia dan dua manajer lain akan diantar ke bandara malam ini juga.Sebelum berangkat, pria berparas indah itu terus mengecupku tanpa henti. Mengingatkan juga agar istrinya senantiasa berhati-hati selama dirinya pergi nanti. Bahkan, Bang Hasan memberi ide agar aku minggat saja ke rumah mamak mertua dan tinggal bersama keluarganya.Tapi, tentu saja aku keberatan. Bukannya tidak sayang diri sendiri, atau mengabaikan nasihat suami, namun mamak mertua tentu masih menyimpan sedikit kecewa karena keputusanku yang menginginkan Husein untuk hidup bersama kami.“Abang, pergi saja. Jangan khawatir. Dulu, aku juga sendirian, kan?!” elakku padanya saat mengantar pria itu ke teras rumah.Mobil fortuner putih sudah berdiri di luar p
"Iya, Abang. Aku baik-baik aja, tenang!” Begitulah kuingatkan Bang Hasan di hari ketujuh dinasnya ke pulau Jawa.Sungguh, Bang Hasan lebih posesif dari pada almarhum bapak dan almarhumah mamak. Tidak hanya merecoki Tya dan Wulan agar mereka berdua tinggal di rumah ini sementara, Bang Hasan terus meneleponku setiap kali dia punya waktu.Tidak jarang, Bang Hasan hanya bertanya hal sederhana. Sudah makan? Atau sedang apa? Lalu, mematikan panggilan setelah merasa cukup puas.Jujur, aku senang dibuatnya. Bang Hasan menunjukkan sikap jika diriku memanglah wanita satu-satunya yang dia inginkan di dalam hidupnya yang menawan itu.Aku yang selalu tersipu mendengar suaranya yang memanggil namaku di seberang sana. Atau, ketika Bang Hasan bertanya tentang apa yang kuinginkan saat dia pulang nanti selain keselamatan dan kesehatannya yang sudah pasti. Unik, bukan? Bang Hasan yang kubayangkan dulu saat kami masih berstatus teman tidaklah se
“Aku tidur di mana, Kak?” protes Anisya menggema di ruang tamu.Wanita berbadan dua itu berbalik dengan cepat usai menyisir seluruh ruangan. Menyebabkan Wulan dan Tya, berdiri berhimpitan dengan dinding, lalu memerhatikan adikku yang mulai rusuh begitu datang.“Kenapa Kakak izinin mereka tidur di kamarku, sih?” imbuhnya lagi. “Aku kan sudah ngalah, kamar lama dipakai Kakak dengan Bang Hasan. Masa aku pakai kamar mamak, sih?”Sempat aku mengerling ke arah Tya dan Wulan yang dipermasalahkan oleh Anisya. Ya, rencana awal memang bukan begini. Tya dan Wulan akan pulang ke rumah mereka sendiri sebelum Anisya tiba, dan semuanya tidak akan rumit begini.Namun, nyatanya takdir memainkan peran. Rencana tinggallah rencana, yang tersisa hanyalah omelan tanpa henti dari bibir adikku sendiri.“Nisya enggak mau tahu, Kak!” sentaknya sembari menghentak kaki.Akibatnya, dua b
“Assalamualaikum?“ sapaku begitu berhenti di depan pintu rumah mamak mertua.Suasananya terlalu sunyi dan hening, bahkan semilir angin pun tidak terasa kali ini. Hanya sengatan panas dari matahari yang membumbung tinggi di langit, menandakan jika hari telah mencapai puncaknya hari ini.Kuulangi sekali lagi, “Assalamualaikum, Mak?” Memang, ini rumah mamak mertua, tapi bukan berarti aku bisa seenaknya masuk ke sana. Namun, mengucap salam tanpa balasan begini pun, rasanya sangat tidak menyenangkan.“Mak? Ini Zahrah,” akuku.Aku menggerek koper kecil lebih dekat ke pintu. Rumah mamak mertua yang jauh lebih bagus dari rumah peninggalan bapak dan ibu masih tetap sunyi. Sekelebat pikiran aneh melintas, jika mamak mertua sedang ....“Masuk, Zahrah! Kamu mau semua tetangga dengerin salammu?” Suara itu menggelegar.Mamak mertua muncul dari balik pintu
“A-bang Hasan? A-bang Hasan, kan?” Jemari Anisya menunjuk wajah suamiku. Anisya yang syukurnya berpakaian tertutup lengkap itu tidak berpaling walau hanya untuk satu detik. Keduanya berganti tatap beberapa saat, sebelum kemudian terdengar tawa nyaring dari mulut adikku. “Haha, seriusan? Ini Abang?” Kali ini, Anisya seperti mengelilingi Bang Hasan dengan bola matanya yang berkilau. Dia yang sudah sekian lama tidak lagi pernah bertatap muka dengan sang mantan suami tidak bisa berhenti tertawa. Entah apa yang begitu lucu sampai mulutnya yang tertutup telapak tangan masih saja mengelakkan tawa keras. Kudekati mereka berdua. Kasihan sekali Bang Hasan, dia tetap berdiri di posisinya. Sabar, walau sepertinya begitu kebingungan setelah bertemu lagi dengan sang mantan istri. Bang Hasan terlihat bergeming, dia melirik sedikit ke arah lain. Mungkin mulai risih dengan perilaku Anisya terhadapnya, atau sebab hal lain yang tidak bisa kumengerti. “Abang? Ken
Pertama kalinya dalam satu hari, aku mendatangi rumah mamak mertua hingga dua kali. Napas ini seakan tercekat di tenggorokan usai memijakkan kaki di teras. Padahal, selisih waktu antara kepergian Bang Hasan dan diriku yang mengejar hanya beberapa menit, tetapi tetap saja diri ini gagal menggapai Bang Hasan tepat di belakang.Seperti biasanya, pintu rumah tertutup rapat. Sepatu yang dipakai Bang Hasan saat pergi tadi terduduk rapi di dekat pintu. Dia baru tiba, dan mungkin saja sedang bertukar sapa dengan anggota keluarganya.Kudekati gagang pintu. Salamku menggema begitu pelan. Khawatir, takut dan bimbang semua bercampur di dalam satu kegelisahan akan tanggapan mamak mertua saat kami bertatap muka nanti.“Assalamualaikum?”Detik berlalu lebih cepat. Ingin segera bertemu dengan pemilik tulang rusukku. “Assalamualaikum, Mak? Ini Zahrah.” Serasa seperti dejavu, tetapi di dalam sana ada suamiku.Aku melangkah mundur saat mendeng
Malam nakal yang siang tadi dibisikkan Bang Hasan padaku akhirnya terjadi. Di bawah atap yang sama dengan mamak mertua, kami memadu kasih sesungguhnya. Bang Hasan tidak mau mendengar berbagai alasan yang kusebutkan dan tetap saja meminta haknya sebagai seorang suami. Bagi pria itu, dia telah bertahan seminggu dan itu sudah lebih dari cukup untuk menyiksa dirinya. Dan kini, Bang Hasan tidak ingin mendengarku.Napasnya terdengar berat di sebelah ranjang. Dia tidur dalam posisi menyamping usai membersihkan tubuh dan berwudu. Membayangkan gemercik air saja membuatku merinding hebat, khawatir jika mamak mertua mendengar kami. Padahal, sebelum tidur tadi, Husein juga merengek pada Bang Hasan agar ikut dengannya. Syukurnya mamak mertua lebih dulu mencegah, seolah mengerti dengan tujuan dari putra tercintanya.Aku masih belum mampu memejamkan mata walau hanya sesaat. Sudah lewat tengah malam dan kantuk yang sedari tadi kutunggu tidak kunjung datang.