"Emhh." Diletakkannya pulpen yang sejak tadi diapit jari jempol dan telunjuknya, matanya sudah mulai pusing melihat banyaknya tulisan di laptop-nya. Sudah hampir satu jam Nala mengerjakan tuganya, namun sekarang otaknya sudah menyerah, tak lagi mampu diajak berpikir. "capek. Ngapain ya biar nggak gabut?"Alunan musik K-pop menjadi teman setia Nala, bibirnya bergerak mengikuti lirik lagu yang mengalun. Bibir yang tadinya mengerucut itu mulai mengendur, membentuk senyuman tipis kala menatap lockscreen ponselnya, gambar siapa lagi kalau bukan laki-laki yang diakuinya sebagai 'Cowok halu gue'Jari lentik itu menari-nari diatas layar ponselnya, menggulir media sosial untuk mencari hiburan. Sampai pada akhirnya panggilan masuk dari suaminya menghentikan aktivitas tersebut. "Ehemm." Nala berdehem terlebih dahulu untuk menetralkan diri sebelum mengangkat panggilan tersebut. "iya, Mas?""Kamu sudah pulang?"Refleks Nala pun menganggukkan kepalanya meskipun yang diajak bicara tak dapat melihatn
Ceklek"Nal--" Langkah kaki dan gerakan bibir Bastian langsung terhenti kala netranya menangkap sosok Nala yang duduk di pinggiran ranjang menghadap ke arahnya. Senyumannya begitu lebar sampai-sampai Bastian sendiri ngeri melihatnya. "o-oh, kamu udah siap, ya?" Bastian menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mendadak terasa canggung."Tumben dengerin musik rohani?" tanya Bastian. Tak salah pertanyaannya, karena selama tinggal seatap dengan Nala, ia tak pernah mendengarnya pula.Yang ditanya terkekeh pelan, sebelum tangannya terulur meraih ponsel dan mematikannya. "Biar berkah tau. Minta restu sama Tuhan."Ah, Bastian baru menyadari ada aroma yang begitu menenangkan menembus rongga hidungnya. Setelah ditelusuri sumbernya, ternyata dari tubuh sang puan. "Wangi banget kamu. Kayak mau ke mana aja.""Ya masak kudu bau apek, sih? Udah. Buruan mandi." Tanpa membalas lagi, Bastian pun bergegas menuju lemari dan mengeluarkan pakaian yang akan digunakannya nanti.Pandangan mata Nala tak pernah lep
"Nal-Sayang, udah, ya." Bastian menahan dari Nala dengan telapak tangannya kala perempuan itu masih berusaha menyasar bibirnya. Agresif sekali memang, sampe Bastian sendiri kaget plus ngeri dibuatnya. "nanti masaknya gimana? Udah laper ini." Ditutunkannya kaki yang masih melingkar di pinggangnya, saat menoleh ke bawah yang didapati Bastian malah paha mulus Nala karena rok yang dikenakannya tersingkap luas."Sekali lagi," rengek Nala yang masih belum rela kehiatan intimnya harus berakhir.Harus dituruti kalau Bastian mau semuanya cepat selesai. Diraupnya kedua sisi rahang Nala dengan telapak tangannya yang lebar, ciuman dengan melibatkan lidah akhirnya kembali lagi. Namun, kali ini tak lama, hanya bertahan kurang dari satu menit. "Udah." Dirapikannya anak rambut yang menutupi sebagian wajah Nala.Meskipun masih tak rela, namun akhirnya Nala pun membalikkan tubuhnya, sementara Bastian langsung mengambil alih mencuci bahan-bahan yang diperlukan.Suara rintihan air hujan yang menjadi soun
Bukannya langsung meraih beda yang disodorkan Nala, Bastian malah diam dengan tatapan lurus tertuju pada benda itu. "Bu-buat apa?""Ya dipakai, lah. Kan mau pijit, ini aku juga pakai kok nanti."Loh? Emangnya kenapa kok harus sampai ganti pakai sarung segala? Kan pijit yang tinggal pijit aja, kok-kok? Nyatanya pertanyaan-pertanyaan itu hanya berputar di otak Bastian tanpa bisa diutarakan. Apalagi saat netranya melirik pada benda-benda yang sudah disiapkan Nala di atas ranjang, berati semuanya sudah Nala siapkan dengan baik. Jelas, Bastian jadi tak enak hati menolaknya.Usai sarung itu berpindah tangan ke yang lebih tua, Nala langsung meraih satu sarung untuknya. Tanpa mengatakan apapun ia langsung masuk ke dalam sarung yang ukurannya jauh lebih besar ketimbang dirinya tersebut, membanting tubuhnya sendiri ke atas ranjang. Bergerak heboh di dalam sarung yang sudah sepenuhnya membungkus tubuh mungilnya, lalu keluar dengan potongan-potongan pakaian di tangannya.Bola mata Bastian langsun
"Eugh." Bastian mengerjabkan matanya pelan kala merasakan suhu tubuhnya semakin dingin dan juga dadanya yang terasa sesak. Agak terkejut saat mendapati wajah Nala berada dalam jarak yang terlampau dekat dengannya. Pelan-pelan ia pun menggeser tangan dan kaki Nala yang menempel padanya.Ah, lehernya terasa sakit karena posisi tidurnya. Namun, berbanding terbalik dengan keseluruhan tubuhnya yang terasa enteng, entah berapa lama Nala memijit tubuhnya hingga tubuhnya terasa begitu ringan saat ini.Menyandarkan tubuhnya pada headboard Bastian menggosok-gosok wajahnya dengan telapak tangan untuk menghilangkan kantuk, tangan besar itu beralih menyibak rambutnya yang mulai agak panjang. Diliriknya jam yang telah menunjukkan pukul satu dini hari, di luar sana juga sudah tenang, pertanda hujan sudah berhenti.Pandangan matanya beralih pada wanita yang tidur lelap di sampingnya, bahkan mulutnya sedikit terbuka dengan suara dengkuran halu. Ah, sial, matanya tertuju pada sarung yang dikenakan Nala
Rasa khawatir yang sejak tadi rasakan Nala mendadak pudar kala membuka sebuah pesan yang baru saja masuk dalam ponselnya.(Pict.Sorry, Bastian lagi ada di sini nemenin gue. Lo sendiri dulu, ya malam ini.)Lemas, otot-ototnya mendadak terasa lemas, bahkan ponsel yang tadi dipegangnya pun terlepas dari genggaman tangannya. Dadanya mendadak terasa begitu sesak, nafasnya tak berjalan dengan baik, pandangan matanya pun sudah mulai buram.TesTiba-tiba saja air matanya jatuh begitu saja membasahi pipinya, bibirnya bergetar sebelum isakan tangisnya semakin kencang terdengar. Malam ini begitu sunyi dan sepi, angin masih terus berhembus hingga menjadikan temperatur suhu semakin rendah. "Jahat banget."Nala kalah, ia kalah dalam sebuah perang tak berdeklar ini. Lagi-lagi suaminya mengecewakannya, tanpa ragu berlari pada wanita lain dan meninggalkan dirinya sendiri di sini. Memberi peluk hangat pada perempuan sana dan membiarkan dirinya sendirian kedinginan di sini. Sekali lagi, ia kalah.***"
Akhirnya, Bastian bisa keluar dari apartmennya sendiri dengan usaha yang terbilang susah. Pasalnya, Alettha terus berniat menahannya di sana, usai sarapan, perempuan itu masih memintanya ini dan itu. Tentu saja Bastian sadar jika itu hanyalah alasan Alettha saja agar ia selalu ada di sampingnya, mungkin karena perempuan itu masih terlalu kesepian, hingga membutuhkan sosok teman lain. Namun, di rumah juga ada Nala, perempuan yang semalam tiba-tiba ia tinggalkan begitu saja.Perempuan itu baru melepasnya setelah sebuah janji lolos begitu saja dengan mudahnya dari bibirnya. "Nanti aku ke sini lagi." Entah akan betulan dipenuhi atau tidak, janji itu keluar begitu saja karena desakan dan tanpa pertimbangan.Dari semua pesan yang dikirimkan pada Nala, perempuan itu hanya membalas beberapa, singkat pula. Untuk membangun suasana sebelum nantinya meminta maaf, Bastian lebih dahulu menepikan mobilnya ke sebuah kedai yang terbilang lumayan ramai oleh anak muda terutama perempuan. Seblak, yah, Ba
Menjelang sore Nala berada di sini, sebuah cafe yang dahulu menjadi langganannya ketika masih duduk di bangku SMA. Segelas jus alpukat dan juga udang chrispy menjadi hidangan favoritnya, Oh jangan lupakan juga nasi mie aceh yang sudah lama tak silaturahmu di mulutnya.Sejak duduk di sini sekitar setengah jam yang lalu, ia hanya bisa mengumpat dua sejoli di depannya ini. Ingin marah, tapi dirinya sendiri juga yang mau ikut, niat yang tadinya ingin mencari udara segar berubah seperti tengah menghirup polusi kota."Udahlah, Nal. Jangan ngambek gitu, sih. Yang penting kan keluar dari rumah. Ambil aja sisi positifnya."Nala melepaskan sedotan yang tadi terjepit di mulunya, menyandarkan tubuhnya dengan kasar pada sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya. "Halah, apaan. Himah aja nggak dapet apalagi yang lainnya."Mendadak perhatian Nala teralih pada ponselnya yang tiba-tiba menyala dan memperlihatkan sebuah notif pesan masuk. Tangan kecilnya langsung terulur meraih benda itu, membaca