Bukannya langsung meraih beda yang disodorkan Nala, Bastian malah diam dengan tatapan lurus tertuju pada benda itu. "Bu-buat apa?""Ya dipakai, lah. Kan mau pijit, ini aku juga pakai kok nanti."Loh? Emangnya kenapa kok harus sampai ganti pakai sarung segala? Kan pijit yang tinggal pijit aja, kok-kok? Nyatanya pertanyaan-pertanyaan itu hanya berputar di otak Bastian tanpa bisa diutarakan. Apalagi saat netranya melirik pada benda-benda yang sudah disiapkan Nala di atas ranjang, berati semuanya sudah Nala siapkan dengan baik. Jelas, Bastian jadi tak enak hati menolaknya.Usai sarung itu berpindah tangan ke yang lebih tua, Nala langsung meraih satu sarung untuknya. Tanpa mengatakan apapun ia langsung masuk ke dalam sarung yang ukurannya jauh lebih besar ketimbang dirinya tersebut, membanting tubuhnya sendiri ke atas ranjang. Bergerak heboh di dalam sarung yang sudah sepenuhnya membungkus tubuh mungilnya, lalu keluar dengan potongan-potongan pakaian di tangannya.Bola mata Bastian langsun
"Eugh." Bastian mengerjabkan matanya pelan kala merasakan suhu tubuhnya semakin dingin dan juga dadanya yang terasa sesak. Agak terkejut saat mendapati wajah Nala berada dalam jarak yang terlampau dekat dengannya. Pelan-pelan ia pun menggeser tangan dan kaki Nala yang menempel padanya.Ah, lehernya terasa sakit karena posisi tidurnya. Namun, berbanding terbalik dengan keseluruhan tubuhnya yang terasa enteng, entah berapa lama Nala memijit tubuhnya hingga tubuhnya terasa begitu ringan saat ini.Menyandarkan tubuhnya pada headboard Bastian menggosok-gosok wajahnya dengan telapak tangan untuk menghilangkan kantuk, tangan besar itu beralih menyibak rambutnya yang mulai agak panjang. Diliriknya jam yang telah menunjukkan pukul satu dini hari, di luar sana juga sudah tenang, pertanda hujan sudah berhenti.Pandangan matanya beralih pada wanita yang tidur lelap di sampingnya, bahkan mulutnya sedikit terbuka dengan suara dengkuran halu. Ah, sial, matanya tertuju pada sarung yang dikenakan Nala
Rasa khawatir yang sejak tadi rasakan Nala mendadak pudar kala membuka sebuah pesan yang baru saja masuk dalam ponselnya.(Pict.Sorry, Bastian lagi ada di sini nemenin gue. Lo sendiri dulu, ya malam ini.)Lemas, otot-ototnya mendadak terasa lemas, bahkan ponsel yang tadi dipegangnya pun terlepas dari genggaman tangannya. Dadanya mendadak terasa begitu sesak, nafasnya tak berjalan dengan baik, pandangan matanya pun sudah mulai buram.TesTiba-tiba saja air matanya jatuh begitu saja membasahi pipinya, bibirnya bergetar sebelum isakan tangisnya semakin kencang terdengar. Malam ini begitu sunyi dan sepi, angin masih terus berhembus hingga menjadikan temperatur suhu semakin rendah. "Jahat banget."Nala kalah, ia kalah dalam sebuah perang tak berdeklar ini. Lagi-lagi suaminya mengecewakannya, tanpa ragu berlari pada wanita lain dan meninggalkan dirinya sendiri di sini. Memberi peluk hangat pada perempuan sana dan membiarkan dirinya sendirian kedinginan di sini. Sekali lagi, ia kalah.***"
Akhirnya, Bastian bisa keluar dari apartmennya sendiri dengan usaha yang terbilang susah. Pasalnya, Alettha terus berniat menahannya di sana, usai sarapan, perempuan itu masih memintanya ini dan itu. Tentu saja Bastian sadar jika itu hanyalah alasan Alettha saja agar ia selalu ada di sampingnya, mungkin karena perempuan itu masih terlalu kesepian, hingga membutuhkan sosok teman lain. Namun, di rumah juga ada Nala, perempuan yang semalam tiba-tiba ia tinggalkan begitu saja.Perempuan itu baru melepasnya setelah sebuah janji lolos begitu saja dengan mudahnya dari bibirnya. "Nanti aku ke sini lagi." Entah akan betulan dipenuhi atau tidak, janji itu keluar begitu saja karena desakan dan tanpa pertimbangan.Dari semua pesan yang dikirimkan pada Nala, perempuan itu hanya membalas beberapa, singkat pula. Untuk membangun suasana sebelum nantinya meminta maaf, Bastian lebih dahulu menepikan mobilnya ke sebuah kedai yang terbilang lumayan ramai oleh anak muda terutama perempuan. Seblak, yah, Ba
Menjelang sore Nala berada di sini, sebuah cafe yang dahulu menjadi langganannya ketika masih duduk di bangku SMA. Segelas jus alpukat dan juga udang chrispy menjadi hidangan favoritnya, Oh jangan lupakan juga nasi mie aceh yang sudah lama tak silaturahmu di mulutnya.Sejak duduk di sini sekitar setengah jam yang lalu, ia hanya bisa mengumpat dua sejoli di depannya ini. Ingin marah, tapi dirinya sendiri juga yang mau ikut, niat yang tadinya ingin mencari udara segar berubah seperti tengah menghirup polusi kota."Udahlah, Nal. Jangan ngambek gitu, sih. Yang penting kan keluar dari rumah. Ambil aja sisi positifnya."Nala melepaskan sedotan yang tadi terjepit di mulunya, menyandarkan tubuhnya dengan kasar pada sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya. "Halah, apaan. Himah aja nggak dapet apalagi yang lainnya."Mendadak perhatian Nala teralih pada ponselnya yang tiba-tiba menyala dan memperlihatkan sebuah notif pesan masuk. Tangan kecilnya langsung terulur meraih benda itu, membaca
Hujan masih turun membasahi bumi, namun sedikit lebih baik karena petir tak lagi menyambar. Hujan kembali tenang tanpa membawa ketakutan bagi si manusia takut petir.Entah apa yang Nala pikirkan, belum genap dua puluh menit Nala berubah pikiran. Tiba-tiba saja ia menyetujui ajakan Bastian yang Nala yakin seharusnya sudah tak berlaku."Hp kamu, Mas." Nala menoleh ke arah laki-laki yang masih berusaha fokus pada jalanan di depannya. Tak terlalu laju, karena sadar jalanan masih licin dan ditambah jarak pandang yang terbatas. Antisipasi agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan."Biarin aja."Nala bukan tak tau siapa yang terus-terusan menghubungi suaminya. Ingin sekali rasanya ia meraih benda pipih itu dan berkata "Iyaa, ini masih dijalan, Cok!" Ah, tapi itu hanya bisa Nala lakukan dalam angan-angan saja. Menurutnya sudah lebih dari cukup Bastian lebih memilih tinggal dengannya, menenangkan dirinya dan mengeluarkan sejuta kata maaf. Entah bagaimana reaksi Alettha nanti saat Bastian da
Ternyata di sini hujannya tak begitu deras, juga tak terdengar adanya suara petir atau apapun itu. Sepertinya Alettha memang hanya sengaja memancing Bastian untuk datang ke sini. Parasit."Makasih, Bas." Nala tersenyum senang menerima semangkuk mie yang masih mengeluarkan asap tebal, setelahnya Bastian ikut mendudukkan bokong di sampingnya. "hmmm, baunya enak banget."Bastian terkekeh pelan, tangannya pun langsung tergerak untuk mengacak-acak pelan puncak kepala istrinya. "Kamu makannya banyak banget, nanti jadi mampir ke tempat tadi nggak? Beli bakso.""Sebenernya aku tuh udah feeling kalau bakalan habis. Tadi aku mau minta langsung mampir aja pengennya, tapi nggak jadi.""Ya sudah, besok sebelum berangkat kita mampir dulu beli baksonya sebentar, ya?" Nala menganggukkan kepala setuju, perhatiannya kini telah teralihkan kala sumpitnya berhasil menjepit mie tersebut dan segera memakannya.Loh, kok malah seperti ini? Disini kok malah dirinya yang jadi obat nyamuk? Padahal tadi Alettha s
"Harusnya ada yang aku omongil lagi. Biar dia sadar.""Udah, Nal-- kamu nggak lihat gimana dia udah marah banget sama kamu?" Bastian langsung memasangkan sabuk pengaman untuk Nala, mengecup sekilas bibir itu agar sang puan lekas diam.Ah, padahal cuma hal kecil seperti ini, namun berhasil membuat perut Nala dipenuhi oleh kupu-kupu yang beterbangan. Buru-buru ia memalingkan wajahnya ke samping, tak sudi jika Bastian sampai melihat wajahnya yang memerah.Telat, Bastian sudah melihatnya walaupun hanya beberapa detik. Ia memainkan lidahnya di dinding mulut karena terlalu gemas. Menyalakan mesin mobil lalu melajukannya dengan kecepatan sedang, meninggalkan lokasi awal.Masih hujan, tapi tidak selebat tadi. Jarak yang lumayan jauh ternyata memberikan curah hujan yang berbeda. Untung saja tadi ia berhasil mengendalikan diri, memposisikan dirinya dengan benar dengan bantuan alam semesta.Andai saja tadi hujan lebat dengan disertai petir, tentu saja ia tak akan tega membiarkan Alettha sendiria