“Periksa ke dokter aja,” ucapku ketika baru kucek suhu tubuhnya hanya turun 0,2 derajat celcius pagi ini. “Aku cuma butuh istirahat.” Aku tahu itu. Dia memang butuh istirahat. Sejak meninggalnya Papa dia seperti memaksa diri untuk menjelma jadi Super-Man. “Supaya tahu pastinya sakit apa, Mas.” Dia menggeleng. “Aku tahu tubuhku. Kamu nggak ke kampus?” Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Nggak ada bimbingan.” “Aksa mana?” “Lagi sarapan di bawah. Mas Abi makan, ya, aku antar Aksa dulu, nanti langsung pulang.” Aku sudah meletakkan semangkuk bubur, teh hangat campur madu, dan air putih di sana. Obat penurun demam juga tinggal dia konsumsi. Kuharap dia sudah dewasa dan tidak perlu kusuapi. Saat aku menuruni tangga, terdengar bel rumah yang berbunyi. Rasanya nggak sopan bertamu di jam sepagi ini kalau nggak beneran penting? Aku sama sekali tidak merasa aneh saat membuka pintu sampai kulihat ada wanita yang mengenakan dress panjang bermotif floral berdiri di sana. Dia datang dengan eks
Aku masuk kamar Aksa, lalu menguncinya. Aku duduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang terlipat. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang sukarela menjatuhkan diri kepadanya. Wawa benar, harusnya aku nggak begini. Harusnya aku bisa tegas sejak awal dengan batasan-batasan kami. Aku yang mudah dirayu. Aku yang terlalu naif dan menganggap semua orang yang memperlakukanku baik, maka akan baik selamanya. Konsep hidup di dunia nggak begitu. Banyak manusia yang sengaja pura-pura baik hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Apa yang dia mau sampai harus berpura-pura menganggapku penting untuknya? Padahal, endingnya sudah kutahu akan seperti apa. “Una ….” Suara pintu yang terketuk dipadukan dengan panggilan namaku sama sekali tak membuatku bergeming. Itu suara Mas Abi. Sungguh, aku akan merasa lebih baik andai dia bersikap seperti awal. Bersikap kalau kami ini nggak mungkin bersama. Namun, dia malah berkebalikan. Dia malah membuat kami ini memiliki ikatan yang benar-benar spesial.
Aku tidak butuh persetujuan Mas Abi untuk pergi keluar bersama Kak Alex. Toh, dia juga tidak meminta persetujuanku untuk membawa Rania masuk ke kamar. Sekarang, di sinilah aku berada. Di sebuah kafe dekat kompleks. Di depanku ada Kak Alex yang sejak lima menit lalu masih konsisten mengaduk dan menegak minumannya. Dia masih diam. Begitu juga denganku. Aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku sendiri bingung memulainya dari mana. Meski ini membingungkan, aku tetap perlu memulainya. Kebingunganku saat ini nggak akan sebanding dengan kebingungan Kak Alex. Mungkin dia sedang memilah kata di otaknya untuk mencari awal pembahasan yang tepat. Perlahan, tapi kucoba untuk meruntutkannya. Semua bermula dari permintaan Ibu yang mau menjodohkanku dengan Mas Harun. Pertengkaran keluargaku, hingga malam kecelakaan. Sampai pada akhirnya, kata ‘Sah’ itu terucap dan bagaimana aku menjalani hari-hariku. Aku memperhatikan gelagat Kak Alex yang sampai sekarang tidak mau melihat mataku. Dia malah memakan
Aku hanya duduk diam di kafe ini. Benar-benar diam dan mengabaikan orang yang silih berganti satu per satu. Sampai dua sahabatku datang dan langsung memelukku. Sepertinya mimik wajahku mudah sekali terbaca. Sebelum mereka datang, aku sudah berpesan ke Bik Tun bahwa tidak bisa menjemput Aksa. Aku sedang tidak mampu berakting di depannya. Anak itu pasti bisa menebak kalau aku sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Batinku terguncang. Rasanya ini begitu menyakitkan untukku. “Kenapa?” Satu kata ‘kenapa’ membuatku langsung menumpahkan semuanya. Aku tidak peduli dengan pengunjung lain yang memperhatikanku. Aku juga tidak peduli saat kuyakin pegawai di sini menganggapku aneh. Ketika Sherin menanyakan ‘kenapa’, sungguh semua pertahananku luluh lantah. Ada kesakitan di dalam hati yang membuatku ingin meraung sekencangnya. Aku tidak tahu ini tangis karena apa, entah karena hubungan Mas Abi dan Rania atau karena Kak Alex. Rasanya semua sudah bercampur menjadi adonan yang sempurna untuk me
Aku sama sekali tidak beranjak dari kasur sampai matahari berganti bulan. Sampai jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pun aku masih bergeming di kamar kos Sherin. Dua sahabatku sedang asyik nonton drama Korea. “Na, lo nggak mati, kan?” “Hampir,” jawabku asal. “Suami lo tuh nelponin Sherin.” “Siapa? Mas Abi?” “Emang lo punya suami lain lagi selain dia?” “Kenapa?” “Dia nyariin lo.” Wawa duduk di samping ranjang dan menatapku. Dia seperti mau memperagakan sesuatu. Suaranya dibuat nge-bass. “Kalau dia bangun, beri tahu untuk pulang. Aksa nggak mau tidur. Jangan biarin dia bawa motor, nanti kebut-kebutan. Suruh naik taksi atau ojek online.” “Aaaa … gue gemes.” Suara Wawa langsung kembali seperti semula. Dia memukul-mukul tubuhku yang ada di balik selimut. “Jangan tertipu,” gumamku. Mas Abi memang begitu. Kadang baik dan manis banget seperti tadi. Namun, dia juga berhasil membuatku semakin bingung dengan tujuannya selama ini. “Pulang, Na. Anak lo jangan jadi korban.” “Mmm,” ja
“Aku mau teh madu tadi pagi,” ucap Mas Abi. Kami sudah duduk di meja makan. Aku tidak bisa masak, jadi hanya menggoreng ayam yang memang sudah dibumbui dan diungkep oleh Bik Tun. “Seharian ke mana aja?” “Di kos Sherin.” “Gimana ketemu Alex?” “Baik-baik aja,” jawabku sekenanya. “Gimana ketemu Rania?” Dia tidak menjawabku. Dia hanya diam dan benar-benar mengabaikan pertanyaanku sampai sekian menit hingga ayam yang kugoreng sudah matang. “Kamu mau tanya itu?” “Nggak dijawab juga nggak papa.” “Kamu mau tahu?” “Nggak usah.” Aku sudah menyiapkan makan. Aku sudah membuatkan teh madu. Aku sudah menyiapkan obatnya juga. Aku sudah tidak ada keperluan dengannya, sehingga kuputuskan untuk kembali ke kamar. Namun, dia menahanku. Dia memintaku untuk duduk di sampingnya. Dia sodorkan piring yang tadi kuberikan untuknya. Dia memang tidak berbicara, tapi aku paham maksudnya. Dia minta aku untuk menyuapinya? “Tangan masih sehat, kenapa minta disuapi?” sindirku tanpa mengindahkan permintaanny
Kalimatnya itu sudah menjelaskan semuanya. Dia tidak menginginku sebesar keinginannya untuk membantu Rania. Aku tidak peduli dengan penyakitnya, yang jelas sekarang sudah diputuskan kalau Mas Abi lebih mementingkan Rania. Mungkin, kalau diurutan aku hanya di peringkat kedua, ketiga, atau malah ke sepuluh. Aku tinggalkan dia di ruang makan dan aku kembali ke kamar. Seenggaknya kami sudah membahas beberapa poin, untuk yang lainnya dibalas nanti. Aku sudah kelelahan. Otakku yang baru dipaka sebentar dan tubuh yang hanya bergerak sedikit sudah menuntut untuk diistirahatkan. Akan tetapi, sebelum aku benar-benar tertidur di samping Aksa, aku membuka ponsel dan mencari tahu apa yang diberitahu Mas Abi tadi. Ada satu artikel yang berbunyi seperti ini, ‘Erotomania adalah gangguan yang membuat seseorang percaya atau sangat yakin bahwa ada orang yang sedang jatuh cinta kepadanya. Padahal, hal tersebut tidak benar.’ Penyebabnya macam-macam dan salah satunya karena trauma. Memangnya trauma apa ya
Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku berstatus sebagai istri Abimayu. Ini baru pertama kali kami benar-benar menunjukkan hubungan yang kurasa akan lebih baik jika tidak ada orang yang tahu. Kami bukan membuat pengumuman ke kampus kalau kami sudah menikah, melainkan hanya jalan-jalan. Tepat di saat dia bilang sudah sembuh dan pulang dari kampus, dia langsung mengajakku berkunjung ke mall yang tidak jauh dari rumah. Tidak ada kegiatan lebih, hanya menemani Aksa bermain di plyazone, kemudian makan bersama. Tentunya, kami tidak hanya bertiga, ada Bik Tun yang juga ikut. Sepertinya aku belum pernah membahas Bik Tun. Dia itu orang yang paling tenang yang pernah kulihat di muka bumi. Dia terbilang masih cukup muda dengan usia kisaran empat puluh tahun. Yang membuat unik, jam tidur Bik Tun itu sama dengan Aksa, yaitu jam sembilan malam. Jadi, saat aku dan Mas Abi ngobrol di ruang makan tadi malam, kuyakin Bik Tun tidak akan mendengar. Andai aku membuat kegaduhan di dapurnya pun dia memi