“Tante Laura.” Amira bergumam tatkala netranya bersirobok dengan netra Laura ketika ia baru saja memasuki sebuah ruangan.
Tadi petugas wanita yang memanggil Amira hanya mengatakan bila ia kedatangan seorang tamu.Petugas itu tidak memberitau siapa nama tamu tersebut, Amira pikir tamu yang mengunjunginya adalah pengacara.Jika sebelumnya Amira tahu yang berkunjung adalah Laura mungkin ia akan menolak untuk bertemu.Pasalnya Amira tidak tahu bagaimana harus menghadapi Laura-ibunda dari pria yang dengan sengaja ia seret dalam kasus hukum untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diperbuatnya.Tapi melihat Laura yang tadi duduk dan langsung berdiri menyambutnya dengan raut wajah tampak bersahabat membuat Amira berani melangkah mendekati wanita itu.“Kalau Tante tanya kabar kayanya basa-basi banget ya?”Laura memulai setelah Amira duduk di depannya.Tidak lama kemudian Kenzo kembali dengan wajah segar karena baru saja mencuci wajahnya. Langsung menarik Jillian begitu tubuhnya berbaring di atas ranjang dan menjadikan Jillian gulingnya. “Ken … pijetin pinggang aku, donk … pegal banget.” Dengan senang hati, Kenzo membantu Jillian mengubah posisi agar membelakanginya kemudian begitu sabar memijat pinggang dan punggung Jillian selama beberapa lama. Jillian memang tidak ngidam yang aneh-aneh apalagi sampai membangunkan Kenzo tengah malam hanya untuk minta dibelikan makanan yang sedang diinginkannya tapi semua sifat buruk Jillian muncul lebih sering dan berkali-kali lipat parahnya. “Semakin besar si Cantik, perut aku juga makin besar … makin ke depan jadi punggung aku makin melengkung ke belakang, bisa patah enggak ya nanti lama-lama?” celoteh Jillian membuat topik pembicaraan dengan Kenzo. Bila harus jujur, Jillia
Jillian menatap pintu kamar yang tertutup itu sesaat kemudian menghirup udara dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia akan mengubah dirinya menjadi mode Reog untuk memberi pelajaran kepada Kenzo usai pria itu dengan tanpa perasaan mengusir Augusta Maverick dan Laura hingga sang ibunda menitikan air mata. Tadi Kenzo pergi begitu saja, naik ke lantai dua masuk ke dalam kamar sementara Jillian mencoba menenangkan Laura dan meminta maaf kepada Augusta Maverick. Jillian masih berharap rencananya dengan Augusta Maverick berjalan lancar karena semua ini adalah demi Kenzo. Sebenarnya Jillian yang meminta ayah dari Bima untuk menolak berbisnis dengan Kenzo atas dasar alasan Kenzo tidak memiliki perusahaan berharap Kenzo mau menerima perusahaan Augusta Maverick yang dilimpahkan kepadanya. Dan mereka bisa menjalin kesepakatan bisnis setelah Kenzo memimpin perusahaan Augusta Maverick.
“Sayang, tahan sebentar ya.” Kenzo mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, menekan klakson berkali-kali dampak dari panik yang mendera. Sedangkan Jillian duduk lemas di sampingnya sambil memegang perut dan sesekali meringis. “Ken … sakit.” Jillian melirih, wajahnya tampak pucat membuat Kenzo kalang kabut. “Sebentar lagi sayang … tahan sebentar lagi.” Rasanya dunia Kenzo akan runtuh melihat Jillian tersiksa seperti ini. “Sakit, Ken … aku enggak kuat.” “Sayaaang.” Kenzo meraih tangan Jillian yang terasa dingin, dikecupnya jemari rapuh yang bahkan tidak sanggup balas menggenggam itu. “Ken … janji sama aku … janji sama aku terima perusahaan daddy … demi si Cantik.” “Jangan pikirin itu dulu sayang, yang penting sekarang kamu sama si Cantik harus selamat … tahan sebentar ya.” Kenzo tidak memiliki
Perlahan Jillian membuka mata, memindai sekitar lalu tatapannya jatuh pada sisi ranjang di mana Kenzo tertidur dengan menelungkupkan setengah tubuh sambil menggenggam tangannya. Padahal pria itu memilih kamar Royal Suite yang memiliki satu ranjang nyaman untuk si penunggu dan jaraknya hanya beberapa meter saja dari ranjang Jillian tapi Kenzo malah duduk di kursi dan terlelap di samping Jillian. Jillian mengeratkan genggaman tangan Kenzo bermaksud membangunkannya dan pria itu terusik lantas menegakan punggung. “Sayang ….” Kenzo bergumam, mata sayunya tampak merah karena mengantuk. “Ken … haus.” Setengah merengek Jillian mengatakannya. “Sebentar ….” Kenzo beranjak dari kursi untuk membawakan Jillian air minum. Satu gelas air mineral yang Kenzo bawakan langsung dihabiskan oleh Jillian. “Haus, sayang?” tanya Kenzo basa-basi sambil menyimpan gelas kosong di
Tapi kemudian si Cantik terusik karena Mommynya banyak bicara. Bibir mungil si Cantik terlepas dari puting Jillian disusul tangis kencang yang membahana di kamar itu. “Keeeeen.” Jillian menatap horor si Cantik yang menangis atau lebih tepatnya berteriak, membuka mulutnya lebar dengan pejaman mata yang sangat erat. “Coba … susuin lagi, pindahin si Cantik ke sebelah kanan.” Kenzo memberi solusi. “Gimana cara pindahinnya?” Jillian merengek. “Aku juga enggak tau, coba kamu angkat.” Kenzo melongok ke arah pintu, berharap sang suster peka dan mendengar tangis si Cantik lalu datang membantu mereka. “Angkat gimana? Dia rapuh banget … coba kamu ambil, Ken.” “Ambil gimana?” Kenzo juga belum bisa menggendong si Cantik. Si Cantik masih terlalu kecil dan rapuh, Kenzo takut sampai menyakiti si Cantik karena ia belum berpengalam
Bima dan kedua orang tuanya datang menjenguk, Kenzo yang memberi mereka kabar mengenai kelahiran si Cantik. Dan sekarang si Cantik sedang dikuasai bunda juga Bima di ranjang khusus penunggu yang masih berada di ruangan itu. Mereka berdua seolah tenggelam dalam dunianya sendiri bersama si Cantik, melupakan Jillian yang kini duduk termangu di atas ranjang menatap lurus ke arah Kenzo yang sedang berbincang di sofa dengan ayahnya Bima. Benak Jillian mencari-cari alasan pasti kenapa ia bersedia membatalkan perjanjian perceraian dengan Kenzo. Bukan karena ia merasa Kenzo sangat baik, perhatian dengan sikap pria itu yang seakan tulus mencintainya. Sesungguhnya Jillian masih merasa Mutiara belum benar-benar pergi dari hati Kenzo, buktinya ketika emosional Kenzo masih menyebut nama Mutiara dan membandingkannya dengan Jillian. Jahat, kan? Tapi Jillian ber
Keesokan harinya Dila datang membawa banyak berkas agar bisa Kenzo tanda tangani, gadis itu juga membawakan pakaian kerja Kenzo karena a Kenzo memiliki janji bertemu seorang klien penting siang nanti. Kenzo sudah meminta ijin tiga hari untuk mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Di atas ranjang yang bagian kepalanya dibuat menegak, Jillian mengawasi Dila dan Kenzo yang terlihat serius membicarakan urusan pekerjaan. Ada setitik cemburu yang mulai mengotori hati Jillian melihat kedekatan antara Kenzo dan Dila walaupun Kenzo bersikap formal dan profesional begitu juga Dila. Pasalnya saat ini Jillian tidak sedang dalam kondisi terbaik, badannya membengkak dan wajahnya pucat tanpa makeup. Yang paling parah adalah perutnya bergelambir bekas tempat si Cantik selama sembilan bulan tumbuh dan berkembang sebelum lahir ke dunia. Jillian memberengutkan wajah ketika Kenzo tidak senga
“Sayang ….” Suara bisikan pelan yang masih bisa Kenzo dengar itu membuatnya menoleh ke ambang pintu. Kenzo lantas tersenyum kepada sosok wanita cantik yang sedang berjalan mendekat. Rambut Jillian dicepol asal memamerkan lehernya yang jenjang dan gaun tidur berbahan satin itu memetakan tubuh Jillian memberikan siksaan tersendiri bagi Kenzo yang belum bisa menyentuh Jillian hingga masa nifasnya selesai. “Kamu kenapa malah ngelamun di sini?” Jillian bertanya setengah menegur ketika bokongnya sudah mendarat di atas pangkuan Kenzo dan kedua tangannya melingkar di leher pria itu. Entah sejak kapan juga Kenzo melamun di ruang kerja usai tadi menyelesaikan pekerjaan yang dikirim Dila padanya. Beberapa hari ini memang benaknya berisik sekali dengan berbagai macam pikiran di saat semestinya ia bahagia dan tenang karena Jillian akan menjadi miliknya untuk selamanya dan si Cantik