“Makanlah Jill, setelah itu minum vitamin.”
Kenzo melangkah pergi setelah memerintah demikian, terpaksa meninggalkan Jillian yang terisak di atas ranjang.Bukan ini yang ia harapkan dari pernikahannya dengan Jillian saat menghadapi hadirnya calon anak buah cinta mereka.Kenzo ingin menjadi suami siaga yang selalu ada di samping Jillian ketika mual muntah melanda.Kenzo bersedia menyuapi Jillian makan dan membuatkan susu ibu hamil.Ia juga yang akan memeluk Jillian setiap malam agar Jillian tenang dan nyaman.Kenzo ingin membentuk keluarga yang bahagia dan sempurna bersama Jillian yang tidak pernah ia dapatkan seumur tiga puluh satu tahun hidupnya.***Sudah satu minggu lebih Kin tidak melihat Jillian bergentayangan di kampus semenjak Jillian pingsan dan dibawa ke klinik.Kin jadi khawatir terjadi sesuatu kepada Ji“Ken … Ken … jangan tidur.” Amira yang panik menepuk-nepuk pipi Kenzo. “Dingin.” Kenzo bergumam lemah. “Permisi Bu, apa yang terjadi?” Dua orang sekuriti datang, bermaksud untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di Penthouse milik Kenzo setelah tadi melihat istri dari pemilik Penthouse ini berlari keluar gedung sambil berlumuran darah sementara saat mereka tiba di sini sang pemilik Penthouse tengah terkapar bersimbah darah. “Jillian, istrinya Kenzo … dia yang menusuk Kenzo, apa Bapak-Bapak tidak melihat Jillian keluar dari gedung ini?” Amira menjelaskan diakhiri sebuah tanya. “Lihat Bu, bu Jillian keluar dari gedung dengan pakaian berlumuran darah.” Salah seorang sekuriti menjawab. “Terus kenapa enggak ditangkap?” Amira mengesah, tangannya yang berlumuran darah mencoba menutup luka Kenzo agar darah tidak terus keluar. “Kami sudah berusaha mengejar t
Mata Jillian membulat ketika melihat dua orang anggota kepolisian berdiri di depannya ketika ia membuka pintu. Untuk apa lagi kedua polisi itu datang ke sini jika bukan untuk menangkapnya. Amira benar-benar memenuhi ucapannya yang akan melaporkan Jillian kepada yang berwajib. Jillian hendak menutup kembali benda berbahan kayu itu tapi dua orang polisi berhasil menahan. “Kin,” panggil Jillian meminta pertolongan tatkala kedua tangannya dicekal dua pria berbadan tegap yang menggunakan seragam coklat. “Sorry Jill, gue nggak bisa ambil risiko dengan nama baik keluarga gue … tapi gue janji akan bantu lo, gue akan carikan pengacara terbaik untuk lo.” Kin berujar dengan raut wajah penuh penyesalan. Jillian menggeleng, tatapan matanya sangat terluka dan kecewa. Ia pikir Kin bisa diandalkan. “Brengsek lo, Kin.” Jillian mengumpat dengan nada tinggi.
Laura langsung datang ke Jakarta begitu dikabari mengenai keadaan Kenzo oleh Amira. Dijemput sendiri oleh Amira dari Bandara dan langsung menuju rumah sakit di mana Kenzo di rawat. Pria itu masih belum siuman. Laura tidak berhenti meneteskan air mata melihat kondisi sang putra yang terbaring lemah dengan alat penunjang kehidupan di samping kiri dan kanan ranjangnya. Bunyi ‘bip’ dari salah satu mesin membuat jantung Laura terasa dihujat dengan ribuan pisau. Wanita yang masih berusia kepala empat itu sampai menyimpan satu telapak tangan di dada mencoba meredakan nyerinya. “Aku enggak tahu percis masalah apa yang terjadi di antara mereka sampai Jillian tega mencoba melakukan pembunuhan sama Kenzo,” cetus Amira sambil menatap kosong ke arah Kenzo dari kaca jendela di luar ruang ICU. Satu fitnahan Amira layangkan karena sebenarnya Jillian tidak pernah menco
Diskusi antara Ayahnya Bima dan Yudha harus terhenti karena panggilan telepon dari Dion yang mengabarkan kalau Kenzo telah siuman. Mereka berdua bersama pengacara ayahnya Bima langsung bergerak menuju rumah sakit. Meski Yudha mengatakan bahwa ayahnya Bima tidak perlu ikut tapi beliau memaksa. Sesungguhnya, ayah dan bundanya Bima merasa bersalah karena telah menelantarkan Jillian padahal ketika Maharani Putri masih hidup pernah berpesan agar mereka ikut membantu Adolf Guzman untuk mengawasi Jillian. Ayah dan bundanya Bima tidak pernah melakukan apa yang dipesankan Maharani Putri karena kesibukan mereka bahkan ketika Adolf Guzman meninggal dunia, mereka hanya bisa sebentar menghadiri pemakaman karena ada urusan di Luar Negri. Mereka membiarkan Jillian sendirian. Sesampainya rombongan itu di rumah sakit, ternyata Kenzo baru saja mendapat pemeriksaan menyeluruh oleh dokter y
Jillian baru saja selesai makan malam ketika melewati kamar Kenzo yang pintunya sebagian terbuka. Setelah Jillian menyanggupi perjanjian yang diajukan Kenzo—pria itu menepati janji dengan tidak mengurungnya. Bahkan memberikan kamar utama untuk ditempati Jillian dan Kenzo menghuni kamar tamu di mana ia pernah mengurung Jillian. Dari pantulan cermin pada lemari yang menunjukkan keadaan kamar mandi karena pintunya terbuka lebar—Jillian bisa melihat Kenzo sedang susah payah membuka kaos. Tadi siang Jillian tidak sengaja mendengar keluhan Kenzo kepada perawat ketika mengganti perban. Kenzo mengatakan bahwa kesulitan mengangkat tangan karena kulit perutnya yang dijahit terasa sakit akibat tertarik. Sesungguhnya melakukan apapun rasanya sakit sekali tapi Kenzo harus memaksakan diri. Jillian hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Kenzo bermaksud memb
“Sore ini aku ada janji kontrol jaitan sama dokter di rumah sakit, gimana kalau kamu ikut sekalian USG?” Jillian menjawab pertanyaan Kenzo hanya dengan anggukan kepala. Pandangan Jillian tertunduk pada piring berisi sarapan pagi yang sedari tadi ia aduk tanpa minat. Perjanjian perceraian mewajibkan Jillian menuruti apapun yang Kenzo inginkan atau perintahkan selama itu berhubungan dengan janin dalam kandungannya. “Kenapa? Makanannya enggak enak?” Kenzo bertanya lagi, suaranya begitu lembut terdengar di telinga Jillian membuat hatinya menghangat. Jillian menggelengkan kepala tanpa menatap mata Kenzo, masih setia pada piringnya. “Lantas, kenapa sarapan paginya enggak dihabiskan?” Barulah Jillian mendongak. “Tadi sehabis mandi aku mual terus waktu aku muntahin enggak ada yang keluar … sekarang kalau aku makan juga percuma, pasti muntah-muntah.”
Tidak sampai dua detik, Kenzo berhasil melepas kaitan di punggung Jillian kemudian melempar bra itu ke lantai. Dan terbebas lah dua gundukan besar di dada Jillian, kepala Kenzo yang jauh lebih tinggi membuat penglihatannya dapat menjangkau ke sana. Kenzo menelan saliva, demi apapun ia merindukan dua bagian favorite-nya itu. Tapi Kenzo tidak berani menyentuhnya, perlu waktu. Setelah semua pengakuan Kenzo, Jillian tidak mungkin mempercayainya dengan mudah. Kenzo melanjutkan menggosok tubuh Jillian menggunakan puff bersabun membuat air yang tadinya jernih mulai keruh. “Sini … bersandar di dada aku … biar kamu enggak pegal.” Kenzo berucap demikian sambil menarik pinggang Jillian membuat dadanya dan punggung Jillian menempel tanpa jarak. Jillian sempat terhenyak tapi tidak melakukan protes meski jantungnya berdetak tidak karuan apalagi ke
“Saya sangat kecewa sama kamu, Ken … saya enggak menyangka kalau niat awal kamu memang untuk menguasai perusahaan saya ….” Kalimat Adam Askandar itu terdengar menyudutkan Kenzo, walau pun Kenzo telah menguasai perusahaan beliau seperti sekarang—Adam Askandar sama sekali tidak dirugikan malah perusahaannya berkembang pesat dan para karyawannya sejahtera. “Dan yang paling kejam, kamu mendekati putri saya satu-satunya, memperdayanya dalam keadaan sakit keras hanya untuk ambisi kamu … dan dari cerita kamu barusan, saya justru menyimpulkan kalau kamu adalah alasan Tiara menggugurkan cucu saya … kamu biadab, Ken.” Kenzo mengakui semua yang dilaporkan Amira pada Adam Askandar. Sialnya, Amira juga menceritakan bahwa di awal masa kedekatannya dengan Tiara—Kenzo masih sering meniduri Amira. Kenzo tidak memiliki alasan untuk menyanggah semua kebenaran yang diceritakan Amira. Tap