Bab 39Dinda keluar dari kelasnya dengan wajah muram. Ia benar-benar sedih tak bisa menjadi penolong untuk Andra. Ia tak tahu bagaimana caranya membuktikan bahwa sang dokter tak mungkin menculik seseorang.Gadis itu menggigit bibirnya. Membayangkan Reza yang begitu yakin bahwa Dr.Andra adalah penjahat. Bagaimana kalau Dr.Andra dipenjara? Ah, ia benar-benar tak sanggup membayangkannya. Hatinya hanya bisa berharap semoga pengacara yang dicari Alex bisa segera membantu sang dokter. "Dinda!" Sebuah suara memanggilnya dari arah tempat parkir.Dalam kekacauan pikirannya, gadis itu menoleh. Dan langkahnya seketika terhenti. "Dokter ... Andra?" sebutnya terbata. Rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Andra melayangkan senyuman hangat. "Iya, ini aku," jawabnya. Dinda mengerjapkan matanya, memperjelas penglihatannya yang mungkin saja tertipu halusinasi. Dan ternyata sosok Andra benar-benar nyata. Serasa telah menemukan kembali separuh jiwanya, Dinda merasakan haru memenuhi dadanya.
Para wartawan mulai datang?Dinda menggigit bibirnya. Untung tirai jendela belum ia buka. "Terus bagaimana?" tanyanya."Apa boleh buat, kita harus pura-pura tak di rumah. Kita duduk di dapur saja," jawab Andra.Keduanya melangkah pelan kembali ke dapur. Membuat Dinda merasa tegang, seolah sedang dalam suasana perang. Andra menghembuskan napas berat. "Kalau tidak bisa berangkat sekarang, kita berangkat nanti malam saja. Tapi jadi gagal jalan-jalan hari ini," ujarnya.Dinda menunduk dengan rasa bersalah. "Maaf, Dokter. Ini salah saya. Harusnya saya lebih hati-hati."Andra tersenyum. "Tidak ada yang tau apa yang akan dilakukan orang lain. Ini bukan salah kamu," hiburnya. Dinda menghampiri meja masak dan memperhatikan bahan-bahan masakan yang telah ia bersihkan namun belum sempat diolah. "Sekarang kita juga tidak bisa masak," desahnya. "Kita juga tak bisa delivery. Apa sebaiknya aku menyuruh orang untuk membubarkan mereka?" Andra mengambil ponsel dari saku celananya. Dinda tampak ber
Dengan cekatan, Dinda melukis pada wajah tampan sang dokter. Jemarinya tak canggung sama sekali menyentuh bahkan meneliti dalam jarak yang cukup dekat.Andra hanya bisa duduk mematung dengan mata yang bergerak ke manapun gadis itu bergerak. Ternyata saat melukis, Dinda benar-benar melupakan sekelilingnya. Bahkan rasa grogi yang biasa dialami istrinya itu ketika mereka berdekatan, saat itu menguap entah kemana. Sepertinya Dinda benar-benar menganggap wajahnya kanvas lukis. Setelah menggarap wajah, tangan Dinda beralih pada rambut Andra. Dengan cekatan gadis itu mewarnai rambut tebal sang dokter."Ini cat yang mudah dibersihkan, tinggal keramas seperti biasa, catnya langsung hilang," ujarnya memberitahu. Andra mengangguk paham. Sebenarnya, walau cat itu tak bisa hilang sekalipun rasanya ia juga rela jika Dinda yang melakukannya. Hingga beberapa saat lamanya, bibir mungil Dinda tampak tersenyum puas. "Sudah selesai. Coba dokter liat di cermin," pintanya.Andra menurut. Ia bangkit d
Asisten Andra tampak bingung saat tiba dengan mobil dan melihat sepasang kakek-nenek yang menunggu. Setahunya Dr.Andra tak lagi memiliki orangtua. Laki-laki berpostur kekar dengan kepala plontos itu turun dan menghampiri. "Kakek dan nenek kenal Dr.Andra?" tanyanya sopan. Andra langsung menatap Dinda dengan bibir tersenyum geli. Kemudian beralih kembali pada Barry, asistennya. Kepalanya pun mengangguk. "Berarti memang kalian yang disuruh jemput. Sebentar ya, saya telepon bos saya dulu untuk instruksi selanjutnya."Barry mengambil ponselnya dan menelepon. Laki-laki itu seketika tersentak, saat mendengar dering dari celana sang kakek. Kakek itu kemudian mengambil ponselnya. "Lho, kok?" Barry mengernyit bingung dengan ponsel masih menempel di telinganya. "Halo?" Andra menjawabnya dengan bibir tersenyum. Kerutan di kening Barry semakin bertambah. Ia kenal persis suara bos-nya. Tapi kenapa laki-laki tua di hadapannya ini memiliki suara seperti itu?Matanya meneliti wajah sang kakek
Matahari semakin tinggi. Mobil Andra kini memasuki sebuah daerah yang cukup hijau. Tak ada rumput yang mengering, karena daerah itu ditanami rumpun bambu yang berbaris rapi dan menyejukkan. Dinda membuka jendela mobil, dan menghirup dalam-dalam udaranya yang segar. Bunyi gesekan daun bambu yang tertiup angin langsung terdengar. Juga bunyi batang bambunya yang mirip dengan suara siulan. Gadis itu tersenyum senang. Ini adalah melodi alam yang sangat menenangkan. Benar-benar suasana yang merelaksasi. "Di depan sana ada sungai. Kamu suka sungai, kan?" Andra menoleh sekilas."Sangat suka," jawab Dinda. "Bisa dibilang sungainya adalah mutiara yang tertutup cangkang kerang." "Maksudnya?" "Sungainya berada di antara lereng gunung. Biasanya disebut sungai lembah. Tidak banyak orang ke sana. Karena sungainya tidak dalam dan banyak bebatuan. Jadi tidak bisa digunakan untuk mencuci baju ataupun memandikan kerbau. Paling-paling orang desa datang ke sana cuma untuk memotong rumput pakan ternak
Kereta yang ditarik kerbau itu akhirnya tiba di lembah. Udaranya yang lembab membuat cuaca terasa dingin. Dinda seketika terkesima melihat pemandangan di hadapannya. Rasanya sedang berada di negeri yang memiliki empat musim. Penyebabnya adalah karena barisan pohon berdaun jingga di sepanjang bawah lereng gunung. Sementara di tepi lain sungai tumbuh bermacam jenis rumpun bunga liar. Dan gemericik air sungai yang mengalir di antara bebatuan menambah eksotisnya pemandangan. "Subhanallah," ucapnya sambil turun dari kereta. "Kenapa bisa ada pohon yang daunnya jingga begitu. Itu pohon apa?" tanyanya. "Itu pohon hijau biasa. Cuman, daunnya berubah kuning kemerahan begini karena kekurangan cahaya matahari Dan juga kelebihan asupan air," terang Andra. Dinda manggut-manggut . Pohon-pohon itu memang tertutup lereng gunung yang lumayan cekung. "Saya pamit pulang dulu, Pak Dokter. Pulangnya kapan? Biar saya bisa jemput kemari." Orang kepercayaan Kepala Desa bertanya dengan sikap yang sangat
Dinda menatap langit yang dipenuhi bintang dengan tatapan resah. Duduk di balai-balai yang berada di halaman Pak Kades dalam suasana malam yang indah itu bersama Dr.Andra harusnya membuat hatinya senang."Maafkan saya, Dok," ucapnya dengan rasa bersalah. "Maaf kenapa?" Laki-laki di sampingnya mengerutkan kening. "Karena saya lukisnya lama, jadi kita mesti nginap di sini." Andra tersenyum. Lalu ikut menatap bintang di langit malam desa Sejuk Beramai. "Justru aku senang, kita bisa menginap di sini," ujarnya."Ibu-ibu tadi juga kasihan, udah capek masak tapi tamunya nggak jadi datang," imbuh gadis itu. Kakinya yang menggantung, ia goyangkan dengan raut manyun. "Besok pagi kita sarapan di rumah mereka.""Mereka? Maksudnya di rumah semua ibu-ibu yang ngundang makan, gitu?"Andra tertawa pelan, terdengar renyah dan hangat. "Ya. Kita makan sedikit-sedikit saja. Lebihnya kita minta dibungkus, jadi banyak bekal makanan kita sampai ke Rumah Pinus," guraunya. Dinda ikut tertawa mendeng
"Semanggi Mobil?" gumam Lina dengan kening mengernyit. Ia tahu itu nama Showroom mobil terbesar di kota Bukit. Tapi tidak mungkin pemiliknya adalah pemuda di hadapannya ini, bukan? Maksum mengambil kartu itu dari tangan istrinya. Raut wajahnya pun langsung berubah."Showroom mobil ini punya kamu?" tanyanya tak percaya. "Iya, warisan orang tua saya. Saya hanya mengelola dan hasilnya saya rasa cukup untuk membiayai Fathimah," jawab Alex apa adanya. Linda dan Maksum saling pandang. Sementara Fathimah masih tampak bengong, tak percaya jika Alex akan melamarnya. "Ya, sudah kalau begitu. Kamu pulang dulu sekarang. Kami akan selidiki dulu kebenarannya dan Fathimah juga harus mempertimbangkan dulu lamaran kamu," ujar Linda kemudian. Alex menatap Fathimah sejenak. Gadis itu pasti syok mendengar lamarannya. Ia akan menjelaskan besok, bahwa lamaran ini hanya sandiwara sementara, sampai Fathimah menemukan pilihan hatinya sendiri. *Subuh menjelang. Dinda membuka matanya dan menyadari Dr.An