Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Di salah satu ruangan kantor, terlihat seorang gadis tengah menyandarkan kepalanya ke atas meja. Layar komputer yang masih menyala seolah tidak berarti apa-apa. Fasya tetap menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Tidak, dia tidak tertidur. Dia hanya sedang merenggangkan punggung dan lehernya yang kaku. Beruntung pekerjaannya kali ini selesai dengan cepat. Meskipun tetap lebih lama dari jam pulang, tetapi setidaknya tidak seperti hari-hari sebelumnya yang berakhir hingga larut. "Mau langsung balik?" tanya Dinar yang membuat Fasya membuka matanya kembali. Dia melihat Dinar tengah merapikan barang-barangnya bersiap untuk pulang. "Iya lah, mau ngapain lagi?" "Kita makan dulu. Sekalian lo harus cerita siapa cowok yang sama lo di kantin tadi." Fasya meringis dalam hati. Seketika dia mengalihkan pandangannya agar tidak menatap mata Dinar secara langsung. Jujur saja Fasya belum menemukan alasan yang tepat. Seseorang bantu dia kabur
Keluar dari gedung kantor, Fasya memilih untuk berjalan di belakang bersama Niko. Meskipun sudah tidak banyak orang, tetapi dia harus tetap menjaga jarak dengan Adnan. Apalagi ditambah dengan kejadian tak terduga sebelumnya. Sejak pelukan itu, Fasya tidak bisa menatap wajah Adnan secara langsung. "Mana kunci motor kamu?" Tiba-tiba Adnan berhenti berjalan membuat Fasya ikut berhenti untuk menjaga jarak. "Kenapa?" tanya Fasya pelan. "Mana?" Meskipun bingung, Fasya tetap memberikan kunci motornya pada Adnan. "Kamu bawa motor Fasya," ucap Adnan melempar kunci motor pada Niko. "Dan kamu, sama saya," lanjutnya menatap Fasya. "Nggak usah, aku pulang sendiri aja." Niko menatap perdebatan itu dengan aneh. Pasangan di hadapannya itu sangat konyol, apalagi setelah tertangkap basah berpelukan di depan matanya tadi. "Udah malem, lo sama Mas Adnan aja. Motor lo, gue yang bawa ke rumah sekalian mau liat kakek." "Tapi..." Fasya menatap keadaan sekitar dengan ragu. "Nggak ada sia
Semua orang memang memiliki pertahanan diri yang berbeda-beda. Untuk menghadapi orang asing, kadang manusia harus melupakan kenyamanan diri. Namun rasa nyaman itu bisa muncul dengan sendirinya karena terbiasa. Yang awalnya asing bisa berubah menjadi salting. Dengan mata yang masih terbuka sempurna, Fasya meringis melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Untuk kedua kalinya dia tidur seperti orang yang tak memiliki nyawa dan berakhir memalukan. Bagaimana bisa dia tidak sadar tengah memeluk Adnan saat ini? "Fasya bego!" rutuknya dengan gemas, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Bisa saja Fasya marah pada Adnan karena berani tidur di sampingnya. Namun dia takut jika Adnan membalikkan semua perkataannya saat melihatnya tidur dengan keadaan memeluknya erat. Fasya tidak mau itu terjadi. Sangat memalukan! Dengan perlahan, Fasya mulai bergerak untuk melepaskan diri. Terima kasih pada matahari yang telah muncul sehingga bisa membangunkannya lebih dulu. Fasya tidak bisa mem
Di halaman belakang, Denis melihat Niko yang tengah bersantai sambil memainkan ponsel. Sesekali pria itu tertawa keras seolah tidak peduli jika ia dianggap gila. Dengan mantap, Denis mulai berjalan menghampiri Niko. Dia harus memastikan sesuatu sebelum mengambil langkah. "Ko," sapa Denis duduk di sampingnya. "Ada apa, Mas?" Denis menggeleng, "Gue denger lo magang di kantor Adnan." "Oh, iya. Baru mulai kemarin." "Kenapa nggak magang di kantor gue?" Niko menggaruk lehernya bingung, "Kalau bukan karena kakek sebenarnya gue mau magang di tempat lain, yang nggak ada hubungannya sama keluarga." "Kakek?" tanya Denis bingung. Sepertinya apa yang ia duga sebelumnya memang benar. "Iya, aku disuruh awasi Mas Adnan sama Fasya," bisik Niko hati-hati. Tidak ada rasa curiga dari diri Niko. Sebagai sepupu yang netral, dia memperlakukan Adnan dan Denis sama. Lagipula dia juga paling muda di antara mereka. Baginya masalah Adnan dan Denis adalah masalah konyol yang seharusnya dihentikan. B
Bagi Fasya, orang yang paling ia sayangi selain kakek dan neneknya adalah Dinar. Gadis itu sudah menjadi sahabatnya hampir 10 tahun lamanya. Susah senang mereka nikmati bersama dan baik buruknya mereka juga bukan lagi rahasia. Namun untuk kasus perjodohan, sulit bagi Fasya untuk menceritakan semuanya. Baginya, perjodohan ini adalah hal yang memalukan. Dia pikir rahasianya akan aman sampai dia berpisah dengan Adnan. Namun ternyata takdir berkata lain. Jangankan keluarga inti, bahkan Kinan dan Dinar pun sudah mengetahuinya sekarang. Fasya mulai takut, apa jadinya jika semakin banyak orang yang tahu? "Berarti lo tinggal di rumah Pak Adnan?" Fasya mengangguk sambil memakan siomay bandung kesukaannya. Saat ini mereka tengah duduk di trotoar sambil menikmati siomay langganan mereka semasa kuliah. Kendaraan yang berlalu lalang seolah membuat percakapan rahasia mereka teredam. "Sampai kapan?" Fasya menghentikan kunyahannya dan menghela napas kasar, "Sampai kesehatan kakek gue dan
Entah kenapa hari Fasya akhir-akhir ini selalu berlangsung menyedihkan dan membosankan. Tidak ada yang benar-benar bisa membuatnya lupa dengan masalahnya dan tertawa lepas. Beruntung masih ada Dinar dan Saka yang membuatnya lupa akan masalahnya meskipun hanya sebentar. Pulang bekerja, Fasya mengendarai motormya dengan pelan dan hati-hati. Hari ini dia pulang tepat waktu dan tidak lagi larut seperti biasanya. Andai saja Saka tidak ada pekerjaan mendadak dan mengharuskannya untuk lembur, mungkin saat ini mereka tengah asik berkencan. Fasya tahu jika apa yang ia lakukan cukup beresiko mengingat jika dia sudah menikah. Namun dia tidak melakukannya sendiri, Adnan juga melakukan hal yang sama. Tidak ada alasan bagi Fasya untuk menjaga ikatan pernikahan ini. Dia juga berhak bahagia dengan seseorang yang membuatnya nyaman. Motor Fasya berhenti saat lampu berubah warna merah. Dia memperbaiki letak maskernya agar polusi tidak langsung mendarat ke wajahnya. Seperti wanita pada umumnya
Di sebuah restoran yang cukup ramai, terlihat seorang wanita tengah duduk santai dengan ditemani secangkir kopi. Pembawaannya yang begitu tenang seolah berhasil menyembunyikan rasa penasarannya. Saat ini, Kinan sedang menunggu seseorang. Seorang pria yang secara tiba-tiba menghampirinya saat makan siang di jam istirahat tadi. Pria itu mengaku bernama Denis. Terdengar tak asing di telinga Kinan, tetapi dia tidak mengenal pria itu. "Sudah lama?" Pria yang sedari tadi membuatnya penasraan sudah datang dengan napas terengah. "Maaf, tadi ada rapat sebentar di kantor." Kinan mengangguk mengerti, "Nggak masalah. Jadi, ada apa?" Denis tersenyum miring, "Nggak mau pesen makan dulu?" Kinan melirik jam tangannya sebentar dan menggeleng, "Waktu saya nggak banyak. Jadi apa yang kamu ketahui dari Adnan?" Kinan benar-benar tidak ingin membuang waktu. Entah kenapa ada gerak-gerik yang mencurigakan dari diri Denis. Jika bukan karena penasaran tentu dia tidak akan berada di sin
Hari ini Fasya memiliki kegiatan di luar kantor. Secara kebetulan, departemennya melakukan pertemuan rutin dengan awak media yang bertujuan untuk menjalin hubungan baik. Meskipun Fasya tidak ikut membantu perencanaan awal kegiatan ini, setidaknya dia diberi kesempatan untuk ikut melihat secara langsung. Semakin banyak kegiatan, semakin mudah dia membuat laporan magang nanti. "Lo kemarin jadi makan gelato?" tanya Dinar pada Fasya. Fasya mengangguk mantap sebagai jawaban. Tangannya terulur untuk mengambil roti yang menarik perhatiannya sedari tadi dan mulai memakannya. Saat ini mereka tengah berdiri di samping meja konsumsi. Acara yang dibuat santai di salah satu hotel itu berlangsung dengan hangat dan menyenangkan. Mereka benar-benar berbaur dengan awak media, tetapi tetap dengan satu tujuan, yaitu membuat citra baik untuk perusahaan. "Bukannya Mas Saka batalin? Nggak jadi lembur?" Senyum Fasya merekah. Dia menatap Dinar dengan wajah konyolnya. Bahkan cengirannya membu