Detik selanjutnya, mendadak hujaman Devan terhenti dan Mazaya semakin menggeliat di atas ranjang.Namun, bersamaan mereka mendengar samar suara anak kecil yang menangis. Apa mungkin itu Askara?Dan Mazaya mulai tersadar dari ketidakwarasannya beberapa saat yang lalu."Apa kamu denger itu, Mas? Bukannya itu Aska? Aku akan lihat dulu."Mazaya tidak mempedulikan raut wajah Devan yang tampak murung karena kecewa sedang panas-panasnya, berhenti melakukan permainan itu. Ia turun dari ranjang dan segera memakai bathrobe, lalu mengikat Cepol rambutnya hingga ke luar dari kamar tersebut.Sedangkan Devan tersenyum getir di atas ranjang karena ia malah belum berhasil menembus belahan inti sang istri, tapi malah sudah ada gangguan di luar.Meskipun sedikit kecewa, ia tidak mungkin mengabaikan putranya begitu saja. Ia juga turun dari ranjang dan memakai bathrobenya dan menyusul Mazaya ke luar kamar.Dan benar saja, jika yang menangis sebelumnya adalah Askara dan saat ini sedang ditenangkan oleh Ma
"Yaya. Ada apa? Kenapa bangun?"Tiba-tiba saja Devan memeluk Mazaya dari arah belakang dan hal itu membuat wanita tersebut dibuat terkejut. Ia segera mematikan ponselnya agar Devan tidak sampai membaca pesan dari Malvin."Bukan apa-apa. Itu hanya pesan dari aplikasi ... Hmm, apa aku boleh meminta sesuatu?" tanya Mazaya mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Selain itu ada sebuah gagasan yang terlintas di pikirannya dan ia harus membicarakannya dengan Devan "Minta apa? Katakan aja," balas Devan masih belum melepaskan pelukannya itu."Gak masalah kan kalau aku pergi dengan laki-laki lain seperti ikut makan malam atau sebagainya? Lagipula orang-orang sama sekali gak tahu kan kalau kita udah menikah, Mas. Kamu gak keberatan kan? Aku juga gak mau menjadi pusat perhatian karena sering ketemu sama kamu terus. Gak masalah kan?" tanya Mazaya yang mengeluarkan isi pikirannya saat ini.Devan terdiam sejenak. Ia tidak yakin untuk memberikan izin Mazaya dekat dengan pria lain. Ia pasti tidak akan
"Jelaskan padaku, apa hubungan kamu sama Rendra? Apa kalian lebih dari sekedar teman di kampus?"Devan yang masih mengemudi itu terdengar mendesak Mazaya agar menjelaskan semua hal yang tidak diketahuinya, tentang wanita tersebut dan keponakannya.Mazaya menghela nafasnya panjang, entah kenapa ia kini merasa menyesal mengatakan tentang Rendra di depan suaminya tersebut. Apakah semuanya akan baik-baik saja, jika pria tersebut tahu?"Yaya, kenapa kamu diam? Cepat jelaskan semuanya padaku sekarang juga," desak Devan kembali."Tapi, Mas Devan harus janji satu hal kalau nanti gak akan mencampuradukan antara urusan pekerjaan dan urusan pribadi," ucap Mazaya dengan nada serius.Devan membuang nafas kasar. Entah kenapa perasaannya saat ini tidak enak sama sekali."Iya, katakan sekarang! Sebentar lagi kita akan sampai di kantor," tegasnya.Mazaya menarik nafasnya dalam-dalam, tidak mudah menceritakan hal yang akan dikatakannya saat ini. Tapi, ia yakin Devan harus tahu, alih-alih Rendra sendiri
""Kenapa dia gak angkat teleponnya!"Devan yang tampak geram itu sejak tadi berjalan mondar-mandir di ruangannya, menghubungi keponakannya yang tak kunjung dijawabnya."Apa dia masih tidur jam segini?" tebak Devan sambil menatap jam yang ada di layar ponselnya tersebut.Di saat yang sama, terdengar ketukan di pintu ruangan CEO itu sehingga membuat Devan teralihkan."Ini saya, Pak Devan," seru William di balik pintu."Masuk," sahut Devan, sembari melangkahkan kakinya menuju ke kursinya dan duduk di sana.William masuk ke ruangan tersebut dan hanya seorang diri. "Mana Mazaya, Will? Bukannya aku menyuruh kamu buat bawa dia ke sini." Devan tampak kecewa sekaligus kesal karena tidak bisa bertemu dengan Mazaya. Apalagi sampai terang-terangan. Entah kenapa ia merasa diam-diam merindukan istrinya tersebut."Maaf, Pak Devan. Kata Bu Erina dia ke gedung hotel tempat Pak Malvin. Ada projek yang harus mereka bicarakan," terang William, seraya tangannya menyimpan sebuah map berwarna coklat di a
"Ke-kenapa mendadak menanyakan hal seperti itu, Pak Malvin? Bukannya itu sudah keluar dari pembahasan tentang proyek? Saya pikir anda bisa bersikap profesional jika di kantor ...."Sebisa mungkin, Mazaya mengelak dari pertanyaan Malvin sebelumnya. Meskipun ia bisa saja mengatakan kebohongannya untuk menutupi semuanya. Tapi, sekalinya berbohong maka ia tidak akan berhenti mengatakan kebohongan lainnya. Jadi, baginya lebih baik untuk diam saja.Malvin tersenyum kecil seraya memperbaiki posisi duduknya, melihat bagaimana sikap tenang Mazaya yang berbicara kepadanya saat ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan apapun diantara wanita tersebut dan Devan. Ia terlalu dini menyimpulkan, padahal sudah jelas jika Mazaya adalah adik ipar Devan dan tidak lebih dari itu."Kamu benar, Yaya. Aku sepertinya sedikit terbawa suasana dan teringat apa yang terjadi di kantin waktu itu. Aku merasa perhatian Devan bisa dikatakan lebih dari sekedar kakak ipar kepada adik iparnya dan--"Mendadak ucapan Malvin
Tepat pukul sembilan pagi, Rendra berjalan menuju ruang kerja Devan. "Om Devan, maaf aku terlambat," ucap Rendra sembari mengetuk pintu ruangan Devan dan masuk begitu saja tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu.PLAK.Sebuah map tebal pun melayang ke sisi Rendra dan hampir saja mengenai wajahnya."Om! Kenapa--""Dasar berandalan!" pekik Devan memotong ucapan Rendra dan memasang wajah kesal di depan keponakannya itu. Ia berdiri dari kursinya dengan berkacak pinggang."Jam berapa sekarang hah?" lanjut Devan kembali. " Kamu pikir ini rumah dan kamu bisa masuk atau memanggil pamanmu ini dengan panggilan 'om'?! Apa kamu lupa kalau ini di kantor!" pekiknya.Rendra langsung menundukkan wajahnya. Ia akui salah karena masih terbiasa dengan pergaulan bebasnya di luar negeri."Maaf, Om. Ah bukan, Pak Devan. Saya salah dan masih belum terbiasa dengan bekerja di kantor. Maafkan saya," ucapnya dengan nada menyesal.Devan menghela nafasnya panjang. Ia tahu keponakan itu selalu bersikap semau hati
"Itu sebenarnya hasil tes DNA antara aku dan Askara. Anaknya Mazaya."Devan pada akhirnya mengungkapkan tentang hasil tes DNA yang dilakukannya itu. Cepat atau lambat wanita itu pasti akan tahu kebenarannya.. Meskipun begitu ia mempunyai rencana lain untuk menghadapi Nasuha."Dengar, Suha. Ini bukan salah Mazaya. Itu karena--" Ucapan Devan terjeda karena Nasuha tiba-tiba memutus panggilan tersebut. Bahkan nomor ponsel istrinya itu mendadak tidak aktif dan menambah rasa kesalnya saja saat ini.Devan seharusnya tahu, jika saat ini Nasuha sedang diliputi oleh amarah.Tampak Nasuha menghela nafas panjang, mencoba menahan amarahnya yang memuncak. Tangannya masih menggenggam erat telepon yang baru saja ia tutup secara sepihak. Ia tidak bisa mempercayai kenyataan yang baru saja didengarnya. Meskipun ia sendiri sudah berselingkuh, tapi entah kenapa hatinya begitu sakit mendengar bahwa Devan bisa mempunyai anak dari wanita lain.Hal yang membuat Nasuha tidak habis pikir adalah Devan, sang s
"Ma-maksud Mas Devan apa?! Jangan menuduhku sembarangan tanpa bukti! Sudah jelas-jelas kamu yang salah di sini dan sekarang mau melemparkan kesalahan itu sama aku?! Enak aja, aku gak terima, Mas!"Nasuha dengan raut wajah setenang mungkin berbalik melawan Devan. Ia yakin suami yang ada di depannya saat ini hanya sedang menggertak nya saja agar dirinya ketakutan. Tapi, itu sama sekali tidak mempan baginya.Sementara Devan tersenyum tipis melihat bagaimana Nasuha yang tampak percaya diri ucapannya itu. Wanita tersebut tidak tahu bahwa selama ini ia sudah kumpulkan banyak bukti dan kapan saja siap untuk diungkapkannya. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuka semua gedung istrinya itu."Menurut kamu aku sama sekali tidak bukti?" tanyanya seakan ingin mengejek Nasuha saat ini.Mendengar ucapan Devan yang begitu serius dan tampak meyakinkan untuk sesaat kaki Nasuha sedikit gemetaran. Tapi, hal itu tidak ditunjukkannya langsung di depan suaminya saat ini."Mas Devan pikir aku