“Tante Emma? Ada apa kesini?” tanya Mahanta dingin.Ziana yang merasa tidak enak pada Emma, bangkit lalu menghampiri Mahanta. “Sayang, jangan begitu. Kita dengarkan dulu tante Emma ya.”Ziana menarik tangan Mahanta agar duduk bersamanya di sofa. Juwita gantian bangkit lalu menghampiri Tomo dan mengambil paper bag di tangannya. “Aku akan menyiapkan kue ini. Mas temenin Maha dan Ziana dulu ya.”Tomo hanya mengangguk lalu duduk di sofa tunggal. Mereka kembali menoleh saat Lintang mendekati mereka. “Ah, maaf. Saya permisi pulang dulu ya.”“Tunggu, Lintang. Untuk malam ini, menginap saja disini. Ada yang harus kita selesaikan,” pinta Mahanta sambil melirik ke arah Emma.“Baik, bos.”Lintang pun ikut duduk di kursi yang kosong, menunggu apa yang akan Emma sampaikan kepada mereka. Juwita segera datang bersama maid yang membawa beberapa cangkir teh dan kopi. Kue yang Tomo beli, juga sudah dibagikan ke piring-piring kecil khusus untuk kue.“Silakan dinikmati, mbak,” ucap Juwita pada Emma.“Ter
Ziana melihat guratan kesedihan di wajah Hasan yang membuatnya terlihat sedikit lebih tua dari biasanya. Beban pikiran yang teramat berat dan tanggung jawab yang harus dipikulnya karena kedua istrinya sedang sama-sama tertimpa masalah, mungkin yang membuat Hasan seperti itu. Diraihnya tangan kokoh yang terasa sedikit gemetar.“Iya, pah. Aku mengerti karena papa baru tahu kejadian yang sebenarnya. Aku sudah memaafkan papa sebelum papa minta maaf. Jaga diri papa ya.”“Makasih, Ziana. Papa pulang dulu ya.”Ziana mengangguk lalu mengantar mereka ke pintu depan. Punggung tegap yang biasa ditunjukkan Hasan dan kepala terangkat penuh percaya diri, kini tidak lagi terlihat. Hasan menunjukkan dirinya juga manusia biasa yang bisa lelah dengan semua beban hidupnya.“Hati-hati di jalan, pah, tante. Kabari aku kalau sudah sampai,” ucap Ziana setelah menutup pintu mobil Hasan.“Iya, Na. Sampai jumpa,” sahut Hasan.Mobil pun bergerak menuju pintu gerbang mansion diiringi tatapan Ziana yang tidak lep
Ziana menutup bibirnya dengan tangan lalu mengalihkan pandangannya dari Hannah dan Lintang. Aneh rasanya memergoki kakaknya bermesraan seperti itu. Pandangannya bertemu dengan Mahanta yang sudah menatapnya sambil tersenyum.“Masih mau disini?” tanya Mahanta.“Kita pergi saja ya. Zaidan sama siapa?”“Tapi tante Juwita yang jagain. Ayo.”Mahanta meraih tangan Ziana lalu menuntunnya kembali ke pintu depan mansion. Saat mereka sampai di depan kamar bayi Zaidan, terdengar tangisan kencang bayi itu. Ziana dan Mahanta buru-buru masuk dan mendapati Juwita sedang mengganti popok Zaidan.“Zaidan kenapa, bunda?” tanya Ziana.“Dia buang air. Ngomel-ngomel sambil merem, gemes banget.”Ziana dan Mahanta sama-sama melempar senyuman melihat kelakuan putra mereka. Setelah tubuhnya kembali bersih dan hangat, Zaidan mulai membuat ulah lagi dengan menangis kencang. Ziana yang mulai memahami kebiasaan Zaidan, menggendong bayi itu.“Haus ya. Sini, sayang,” ucap Ziana lembut. Ia berpindah duduk ke sofa lalu
“Ngomong-ngomong soal kebelet kawin, apa yang kalian lakukan semalam?” tanya Ziana curiga. Lintang dan Arjuna saling pandang dengan ekspresi aneh sebelum sama-sama merinding. “Aku nggak ketemu dia semalam. Siapa yang kau maksud?” tanya balik Lintang.“Tentu saja kamu dan kakakku, Lintang. Siapa yang bilang kamu sama Arjuna sih? Stres.”“Salahmu ‘lah. Kalau nanya yang lengkap dikit. Kan jadi salah paham.”“Berani kamu nyalahin istriku, Arjuna!”Arjuna nyengir kuda ke arah Mahanta yang melotot kepadanya, lalu meraih menu sarapan diatas meja. Pagi itu maid sudah menyiapkan pilihan sarapan roti panggang dan nasi goreng yang lezat. Lintang juga melakukan hal yang sama agar mereka bisa segera berangkat ke rumah sakit. “Pertanyaanku nggak dijawab ‘loh,” ucap Ziana mengingatkan Lintang lagi. “Kenapa, Na? Nggak boleh ya kalau aku ingin lebih mengenal calon istriku sendiri. Lagian beberapa hari lagi, aku akan menjadi kakak iparmu, adik ipar.” Lintang tersenyum manis sambil menaik turunkan al
“Apa kamu mau turun sekarang?” tanya Lintang setelah dua orang yang mereka lihat tadi masuk ke dalam mobil. “Aku tidak menyangka om Hasan dan tante Intan datang bersama untuk menjenguk Jay. Apa kau masih tidak mau bicara dengan mereka, Maha?” Arjuna menoleh ke belakang menatap Mahanta yang menatap keluar jendela dingin.“Tidak ada yang perlu kubicarakan dengan mereka.”“Sampai kapan, Maha?”“Aku tidak tahu. Hatiku masih sakit mengingat perlakuan mereka pada Ziana. Aku tahu mereka tidak tahu, tapi setidaknya jangan menghina Ziana. Darah kotor, rendahan, semua hinaan itu masih memenuhi kepalaku sampai sekarang. Ziana tidak bersalah, tapi keluargaku membencinya.”“Kudengar kalau om Hasan sudah minta maaf pada Ziana. Dan Ziana sudah memaafkannya ‘kan?”“Tetap saja aku masih sakit hati. Ayo kita turun,” ajak Mahanta enggan mendengar ucapan Arjuna dan Lintang lagi. Mereka turun dari mobil lalu berjalan menuju lobby rumah sakit. Dari bagian informasi, mereka mengetahui kalau Jay dirawat di
Rianti menoleh sejenak lalu kembali mencoba melepaskan genggaman tangan Zaidan pada ujung rambut panjangnya. “Bayi Zaidan menarik rambut saya, nona. Genggamannya kuat sekali ya. Agak sulit melepaskannya.”“Oh. Biar aku bantu.”Ziana membantu melepaskan genggaman tangan Zaidan dari rambut Rianti, lalu mengambil alih bayinya. Sambil menimang bayinya, Ziana menatap Rianti yang sedang merapikan rambutnya. “Kita akan ke rumah sakit hari ini. Sudah waktunya Zaidan imunisasi. Bersiaplah.”“Baik, nona.”Rianti dengan cekatan menyiapkan semua keperluan bayi Zaidan. Satu tas khusus untuk perlengkapan bayi Zaidan pun sudah siap mereka bawa. Sekali lagi Rianti mengecek satu persatu barang-barang di dalam tas itu sebelum menatap Ziana lagi. “Semuanya sudah lengkap, nona. Kita berangkat sekarang?”“Iya. Tapi sebelum itu ganti baju Zaidan dulu ya. Aku harus menelpon seseorang dulu.”Rianti mengangguk lalu mengambil alih bayi Zaidan lagi. Ziana yang baru teringat belum memberitahu Mahanta, menjauh
Sesampainya di rumah sakit, Ziana dan Rianti segera menuju ruang imunisasi. Ziana sudah mengatur temu janji dengan dokter anak dan tiba tepat waktu. Sebelum mereka sampai di depan ruangan dokter anak, keduanya bertemu dengan dokter Kavya. “Halo, Ziana. Apa kabar?” “Baik, Kavya. Kamu apa kabar?” balas Ziana sambil mendekat untuk memeluk Kavya. “Baik dong. Bayimu gimana? Mau imunisasi ya?” tebak Kavya. Dokter wanita itu menatap gemas bayi Zaidan yang tertidur lelap dalam gendongan Ziana. “Iya nih. Mana ketiduran lagi. Susah dibangunin. Kavya mau kemana?” “Mau visit bentar. Tapi tunggu deh, aku mau lihat bayimu imunisasi. Siapa namanya?” “Zaidan. Ayo, kita ke ruang dokter anak dulu,” ajak Ziana. Dokter Kavya mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya menatap Rianti yang masih stand by di samping Ziana. Keningnya mengerut mencoba mengingat dimana dirinya pernah melihat Rianti sebelumnya. “Dia siapa, Na?” tanya dokter Kavya sambil tersenyum tipis pada Rianti. “Dia Rianti. Dia yang
“Baik. Pak Jay apa kabar? Sedang apa disini?” Ziana benar-benar hanya ingin berbasa-basi sambil menunggu Rianti kembali. Posisinya saat ini sangat aman karena berada di lobby rumah sakit yang terdapat perawat dan sekuriti. Jadi kecil kemungkinannya kali Jay ingin melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi tetap saja hati Ziana tidak bisa tenang. “Kamu masih saja formal ya, Na. Kamu boleh kok panggil aku Jay seperti Maha memanggilku.”“Saya tidak enak, Pak. Sudah kebiasaan. Biarlah tetap begitu.”Jay mengangguk lalu beralih menatap Zaidan di gendongan Ziana. “Kamu ngapain disini, Na? Sendirian?”“Nggak, Pak. Saya sama Rianti, pengasuhnya Zaidan. Sebentar lagi dia akan kembali ke sini. Saya baru selesai imunisasi Zaidan. Sejak lahir, dia belum diimunisasi.”Jay menghela nafas panjang lalu tersenyum pada Ziana. “Maafkan Sherena ya. Kecemburuan dan ambisi membuatnya buta. Aku sangat bersyukur karena Zaidan baik-baik saja dan segera ditemukan saat itu.”“Saya memang sudah memaafkan Sh