Kayana tak bisa beristirahat dengan tenang. Sang suami, Rafandra masih terlelap dalam tidurnya setelah meminum obat yang diberikan oleh dokter. Ia tak tenang karena berulangkali Rafandra bermimpi buruk dalam tidurnya. Seperti sedang melawan sesuatu yang sangat besar dan sulit. Mungkin ia bermimpi sedang dikejar harimau. Alyssa datang satu jam setelah dokter pulang. Ia terburu-buru masuk ke dalam kamar dengan membawa sebungkus makanan kesukaan Rafandra. "Bagaimana keadaan Rafa? tanya Alyssa yang sejak tadi berdiri di dekat Kayana. "Sudah membaik. Tapi dia butuh banyak istirahat," jawab Kayana sedikit mendongak. "Kamu sudah makan siang?" tanyanya lagi. Kayana menggelengkan kepalanya pelan. "Kita makan bersama. Ada papa dan Samsul di bawah." Kayana mengangguk. Ia mengikuti langkah mertuanya ke ruang makan, meninggalkan Rafandra yang masih tertidur lelap. "Rafa sudah baikan?" kali ini papa yang bertanya. Kayana menarik kursi lalu duduk di samping kanannya. "Sudah, pa. Rafa lagi tidu
Kayana mengejar Rafandra yang berjalan cepat dari meja makan menuju ruang tamu. Ia baru saja terbangun dan sudah mendapati suaminya yang rapi dengan kemeja dan jasnya. Tadi malam Rafandra masih mengeluh sakit kepala tapi entah mengapa pagi ini dirinya memaksakan diri untuk pergi ke kantor tanpa persetujuan istrinya. "Mau kemana?" Kayana berkacak pinggang di hadapan Rafandra. Tubuh mungilnya menghadang pria besar itu sambil merentangkan tangannya. "Kamu kan lagi sakit." "Sebentar saja Kayana. Aku tidak akan lama. Aku janji pulang cepat." Rafandra terkekeh dengan raut wajah Kayana yang terlihat khawatir. Diraihnya bibir mungil istrinya lalu diciumnya. "Aku hanya cek pekerjaan saja." "Kan ada Samsul." Kayana merajuk. "Ini mau kasih tahu Samsul. Nanti aku pulang sehabis makan siang. Aku janji." Rafandra mengecup dahi Kayana sebelum berangkat. Kayana tak rela membiarkan suaminya berangkat tapi apa daya jika ada sesuatu yang mendesak. Saat lambaian tangan itu menjauh, tiba-tiba saja dad
Ambruk. Rafandra yang masih dalam keadaan kurang sehat tiba-tiba saja jatuh saat mencoba berjalan di koridor menuju ruangan rapat yang terletak di ujung dekat ruangan serbaguna. Sejak keluar dari ruangannya, langkah Rafandra memang sudah limbung seperti sedang mabuk. Maka dari itu Samsul berjalan pelan di belakangnya sambil terus mengawasi bosnya. Brukk Tepat saat ia sampai di bibir pintu, Rafandra tak kuat lagi menahan pusing di kepalanya. "Pak bos!" teriak Samsul. Dengan sigap ia membantu Rafandra berdiri, namun karena lemah akhirnya kembali terjatuh. Samsul tak segan-segan menggendong bosnya itu kembali ke dalam ruangan kerjanya. Larinya sangat kencang tak berpikir dua kali menerobos karyawan yang lalu lalang di koridor. "Pak bos kenapa?" Aletta ikut masuk ke dalam ruangan. "Pingsan. Cepat telpon Bu Kayana atau Bu Alyssa. Saya mau telpon ambulan dulu." Aletta mengangguk. Ia segera berlari ke luar ruangan menghubungi istri dan ibu bosnya. Rafandra masih terpejam namun nafasny
Krekk Pintu ruangan kamar terbuka. Kayana pikir itu adalah Samsul yang membawa makanan, ternyata saat seseorang masuk ke dalam, mata Kayana terbelalak lebar tak menyangka. Kayana berdiri sambil berkacak pinggang menghadang orang itu masuk tapi tak berhasil. "Minggir!" Sonia, si tamu tak diundang itu memaksa masuk ke dalam. "Hai Rafa, apa kabar?" senyum Sonia membuat Kayana mual. Rasanya, ingin sekali menendang keluar wanita yang gatal menggoda suami orang ini. Rafandra tak membalas sapaannya. Ia malah menaikkan selimut hingga sebatas dada dan gerakan tangannya ia menyuruh Sonia pergi dari sana. "Aku mau tidur. Pergi sana!" usir Rafandra. Kayana tersenyum puas melihat reaksi Rafandra. Suaminya itu memang sudah tak ingin melihat Sonia berada di sekitarnya apalagi saat sedang sakit seperti ini. "Ih, aku mau bawakan buah untuk kamu. Aku dengar kamu sakit tipes. Jadinya—" "Rafa tidak boleh makan makanan berserat. Buah ada seratnya, kamu tidak paham." Alyssa datang tiba-tiba dari bali
Rafandra terbaring lemas di tempat tidurnya lebih dari tiga hari. Tubuhnya mulai kurus dan sedikit tirus tapi dia masih ada semangat untuk makan dan minum obat. Kayana yang setia, tetap datang menunggunya di samping tempat tidur walau sempat kena marah oleh ibu mertuanya. "Kamu pulang jangan terlalu malam. Kasihan sama dedek bayinya." tangan Rafandra mengusap perut buncit Kayana dengan lembut. "Sayang dedek. Maaf ya, papa nyusahin mama kamu." "Enggak ada yang nyusahin. Namanya juga lagi kena musibah." Kayana berpindah duduk di depan tv sambil mengupas jeruk yang ia bawa dari rumah lalu menawarkannya pada Rafandra. "Kamu udah boleh makan jeruk kan?" Rafandra mengangguk. "Oh iya, kemarin papa telpon aku tapi enggak aku jawab. Terus, aku telpon balik malah enggak aktif." Rafa mengambil dua ruas jeruk yang disodorkan oleh Kayana lalu mengunyahnya. "Jeruknya manis banget." "Oh, beliau mau ngomongin sesuatu yang rahasia kayanya. Nanti pas kamu pulang ke rumah, mau dibahas keluarga besar
Setelah kepulangan Rafandra ke rumah, Kayana yang awalnya ramah berubah jadi dingin dma sering mengabaikan suaminya. Rafandra jadi serba salah. Ini semua pasti imbas dari kedatangan Sonia ke rumah sakit. Ingin sekali ia meluruskan semuanya tapi tak ada waktu untuknya berbincang berdua dengan istrinya. Dua hari sejak kembalinya Rafandra ke ranah pekerjaan tetapnya, ia tak mempunyai waktu luang lagi. Apalagi, ayahnya selalu mengajak dirinya untuk bertemu dengan pengacara pribadi mereka di sela kegiatan kerja. Katanya, ini penting. Demi keberlangsungan kehidupan keluarga Wirautama. "Silakan pak Rafa tanda tangani di halaman ini," tunjuk si pengacara. Rafandra mengalihkan tatapannya ke arah ayahnya yang mengangguk mantap padanya. "Saya bisa baca sebentar?" tanya Rafandra. Si pengacara mengangguk. Rafandra membaca dari halaman awal, surat itu berisikan nama dan aset milik ayahnya yang sepenuhnya jatuh ke tangannya. Rafandra menarik napas panjang. Tangannya gemetar saat rangkaian kalima
"Papa...." Suara Rafandra menggema keras di depan ruangan operasi sebuah rumah sakit. Di hadapannya, pintu itu tertutup dengan lampu merah menyala di atasnya. Dada pria itu berguncang hebat saat mendapat kabar ayahnya terhantam kendaraan di luar kantor setelah pertemuan bersama dengannya di kantor notaris. Dirinya menyesal tak mengajak ayahnya tadi. "Rafa, sudah. Jangan seperti ini." Alyssa datang dengan wajah tegar. "Doakan papa baik-baik saja." "Rafa menyesal tidak pulang bersama dengan papa tadi. Rafa menyesal." Rafandra memukul dadanya. Air matanya mengalir melewati pipinya hingga jatuh mengenai kemejanya. Lemas, ia menundukkan kepalanya lalu bersandar di bahu ibunya. "Maafkan Rafa, ma." "Kamu enggak salah sayang. Ini sudah takdir." Keduanya berpelukan. Sayang sekali, Kayana tak diizinkan ikut ke rumah sakit karena kehamilannya. Alyssa takut menantunya nanti kelelahan. "Permisi nyonya." seseorang bertubuh besar datang menghampiri Alyssa. Ia memberi hormat lalu membisikkan s
Wirautama telah siuman. Saat ia mulai membuka matanya, pemandangan yang pertama dilihat olehnya adalah wajah sang istri yang tertidur di sampingnya sambil memegangi tangannya yang dipasangi selang infus. Sekujur tubuhnya terasa sakit, apalagi bagian tangannya. Ada sesuatu yang nampaknya mengganjal di sana. Sedikit menggeliat, mata Wirautama terpaku pada sosok sang istri yang terlihat cantik jika dilihat dari samping. Bibirnya pun tersenyum tak sengaja. "Kamu sudah bangun?" Alyssa membuka matanya. "Mau aku ambilkan minum?" Wirautama mengangguk. Alyssa tadi terbangun karena mendengar napas berat dari suaminya. Tangannya bergerak mengambil minuman yang terletak tak jauh dari meja rawat. "Rafa mana?" tanya Wirautama dengan suara parau terbata-bata. "Aku suruh pulang. Tadi dia nangis, terus kelelahan." Alyssa membuka lengan tangan sebelah kanan suaminya. Terlihat luka lebam berwarna biru tua di sepanjang lengan itu. "Bagian mana yang masih sakit?" Wirautama menggelengkan kepalanya. "Ka