Agni semakin membesarkan matanya ketika melihat Tian meletakkan handphone ke telinga dan berbicara kepada orang di balik panggilan itu. “Hallo,” Tian dengan nada datar dan suara Low tone memanggil siapa yang ada di seberang sana.“Hallo,” suara dari balik panggilan yang menjawab panggilan dari Tian. Tian yang mendengar suara itu langsung menjauhkan panggilan itu dari telinganya dan melihat Agni dengan tajam. Tatapannya bahkan membuat Agni menelan salivanya karena takut. “Maksud Lo apa?” Tian mengulurkan handphone karena panggilan di dalamnya. “Lo mau mainin gue?” tanya Tian dengan nada kesal kepada Agni. “Maksud Lo?” Agni heran dan bergetar, Agni takut ketahuan Tian sedang mengorbol dengan Axel.“Siapa dia?” Tian kembali bertanya masih dengan tatapan yang sama. Agni semakin tersudut dan tak bisa menjawab pertanyaan yang ditujukan oleh Tian. “Hufff ....” Tian mengendus kan napas karena dia tak kunjung menjawab pertanyaannya. Tian lalu menghidupkan loudspeaker dan bertanya kepa
"Bantu gue!” Axel dengan memegang tangan karina dan memasang wajah orang yang memerlukan bantuan. “Apa yang bisa gue bantu.” Karina merasa senang hati. Akhirnya Axel membutuhkannya. Senyum manis nampak di wajah, tentu Karina bersedia membantu Axel.“Lo harus jawab Telpon ini nanti kalau ada suara laki-laki yang ngomong!” Perintah Axel dengan cepat yang membuat Karina tak mengerti. “Hah?” Karina yang tak mengerti dengan apa yang di maksud Axel. Cuma terangga.“Hallo” tiba-tiba suara Tian terdengar dari balik panggilan dan membuat dia panik bukan kepalang untuk menyuruh Karina menjawab panggilan itu. Axel mengulurkan tangan yang berisi panggilan telepon lalu menyuruh Karina bicara dengan gestur wajah Axel. “Hallo.” Karina singkat dengan nada sedikit takut karena dia melakukannya hanya karena permintaan dari Axel. Setelah beberapa lama mereka mendengarkan pembicaraan antara Tian dan Agni yang masih belum terputus panggilannya. Axel dengan wajah marah dan kesal ingin menjemput Agni d
"Permisi Mbak,” Axel dengan sopan berbicara kepada salah satu staff yang berkerja di situ. “Iya pak, ada yang bisa saya bantu?” staff itu melayani penuh senyuman ramah. “Saya boleh ketemu sama managernya?” Axel langsung menampakkan wajah datar dan berterus terang. “Tapi apakah ada yang salah dengan toko kami, Pak?” staff itu dengan rasa cemas dan sedikit tersenyum. “Oh, enggak Mbak, kami kamu ketemu kepala managernya karena memang ada perlu,” ucap Axel tenang. Kali ini dia menyinggulkan senyum tipis.“Baik kalau begitu, tunggu di sini sebentar pak!” staff menyuruh Axel dan Arkan untuk menunggu sampai staff tadi kembali bersama dengan kepala managernya. Mereka pun terduduk di sofa yang ada di dalam toko, dan tak lama kemudian staff tadi kembali bersama dengan kepala managernya. “Baik Pak ini adalah kepala manager kami, silahkan bicara, saya permisi dulu.” Staff itu dengan sopan dan senyuman di di barengi dengan bungkukan sebagai tanda hormat kepada pelanggan. “Baik pak ada yang
“Tante. Kalau gitu Karina pulang dulu, ya?” pamit Karina seraya menyalami tangan Bu Ningsih penuh hormat.“Loh, kamu udah mau pulang? Maafin kelakuan Axel, ya, Rin. Axel mungkin hanya sedang banyak pikiran.” Bu Ningsih tidak ingin Karina salah paham dengan semua yang terjadi antara Axel dan Agni sehingga berniat menjauhi putranya.“Nggak apa-apa, Tante. Karina ngerti kok.” Setelah itu Karina langsung pulang. Meninggalkan bu Ningsih yang tidak enak hati pada Karina karena ulah Axel.Bu Ningsih segera menyusul Axel ke kamarnya. Dia langsung masuk karena pintu kamar putranya itu tidak dikunci. Axel baru saja ke luar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuh.“Apa, Ma?” Axel tahu pasti kalau mamanya pasti akan membahas tentang Karina tadi.“Xel, tolong kamu jangan kaya gitu dong sama Karina. Apa kamu nggak bisa menghargai dia sedikit aja?” tanya Bu Ningsih. Dia duduk di tepi ranjang milik Axel. Memandangi sang putra yang sedang menyisir rambut sambil bercermin.“Kan, selama ini udah, m
Agni ke luar dari kamar mandi dengan mata sembap.‘Ini adalah tangisan terakhirku. Aku harus bisa mengambil keputusan jalan mana yang akan aku pilih untuk kehidupanku. Axel sangat baik, tapi Tian juga nggak jahat. Tian begitu karena aku selalu membantahnya. Aku mencinta Axel, tapi Tian juga layak dicintai.’Tangan Agni dia letakkan di dada. Biarlah, waktu yang akan membawanya pada jalan takdir.*“Desi, segera datang ke ruanganku,” titah Tian pada Desi saat dia baru tiba di kantor dan lewat di depan meja sekretarisnya itu menuju ruangan kerjanya.“Baik, Pak.”Setelah Tian masuk ke ruangannya, lima menit kemudian Desi juga ikut masuk seperti yang sudah diperintahkan padanya tadi.“Ada apa, Pak Tian? Apa ada sesuatu yang harus saya kerjakan?” tanya Desi dengan menyungging senyum ramah. Tian menatap tubuh Desi yang kini berdiri tegak di hadapan. Entah kenapa bayangan Agni saat berdekatan dengan Axel tiba-tiba muncul begitu saja. Ada rasa kesal karena dia sempat menduga telah terjadi ses
“Kalau begitu ... terima kasih banyak Pak.”Tian mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Sesaat kemudian dia sudah kembali sibuk dengan beberapa berkas yang sudah menumpuk di meja kerja. Desi masih diizinkan untuk di ruangan itu sampai kondisi kakinya lebih baik.Tanpa sadar Desi terus menyungging senyum bahagia. Sepatu itu sangat berarti baginya. Tapi kemudian raut wajahnya berubah datar saat dia mengingat sesuatu.‘Enak banget pasti jadi istrinya pak Tian. Saya yang cuma sekretaris aja dikasih sepatu sebagus dan semahal ini. Apalagi istrinya? Aku harus bisa dapetin hati pak Tian gimana pun caranya.’“Emh ... Pak, saya izin kembali ke meja kerja.” Desi pamit pada Tian karena dia tidak mau terlalu memikirkan kemewahan yang diterima Agni sebagai istri Tian.“Memangnya kaki kamu sudah baikan?” tanya Tian dengan raut wajah yang masih khawatir.“Sudah lebih baik, Pak. Dan saat akan lebih berhati-hati lagi.”“Baiklah kalau begitu.” Tian merentangkan sebelah tangan mempersilakan Desi ke
Agni memejamkan mata sambil menutup telinga. Tapi dia tidak menyalahkan Tian sama sekali. Dia juga tidak menyalahkan Axel karena ini di luar kendali semua orang.Agni gemetar lalu mendekati Tian dan bersimpuh di kaki Tian. “Maafkan aku Tian. Aku benar-benar nggak tau kalau Axel datang. Dan itu tadi karena dia mau ngajak aku pergi dari sini,” ucap Agni berusaha jujur agar Tian memaafkannya.Sayang sekali karena Tian sudah terlanjur salah paham. Pria itu melenggang pergi naik ke lantai atas tempat kamar mereka berada.Agni menyesali semua yang terjadi. Dia tidak tahu takdir apa yang sedang dia jalani kenapa begitu sulit untuk sejalan dengan apa yang ada di dalam pikirannya.“Non Agni kenapa?” Bi Ira berlari dari arah belakang karena mendengar suara benda jatuh tadi. Dia membawa Agni bangkit dan kembali duduk di sofa. “Kenapa lagi Non? Den Tian marah pasti ada sebabnya.” Bibi sudah menebak pasti kedua majikannya itu kembali bertengkar. Dia melihat pecahan guci yang berserakan di lantai.
*Agni memeluk lutut sambil duduk bersandar di ranjang. Dia menunggu Tian yang tak kunjung pulang padahal sudah jam sembilan malam. Tian pergi sejak sore dan tidak tahu ke mana. Agni juga baru tahu kalau ponselnya diambil oleh Tian, jadi dia tidak bisa menghubungi siapa pun termasuk suaminya itu. Akhirnya dia hanya bisa menunggu sampai Tian pulang dan akan kembali meminta maaf.Hatinya masih begitu rapuh. Rasa cinta pada Axel masih begitu menggebu. Tapi dia juga bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Tian. Tok! Tok! Tok!“Non Agni. Non belum makan malam. Ayo turun kita makan sama-sama,” panggil bibi mengajak Agni makan malam. Agni memang belum makan karena kepergian Tian tadi membuatnya begitu merasa bersalah.“Nanti bi. Agni tunggu Tian pulang,” sahut Agni tanpa beranjak.“Tapi ini udah jam sembilan non. Den Tian juga belum tahu pulang jam berapa. Nanti non Agni sakit, loh,” bujuk bibi lagi.“Nggak bi. Agni masih belum lapar. Nanti kalau mau makan Agni turun sendiri.”Akhirny