enjoy reading. jangan lupa komen dan likenya ya.🥰
Bab 28 Iri Hati (Pov Ning)Menjelang sore, anak-anak SD teman Amir sudah pulang. Pun Ayu memilih pamit lebih dulu karena mendapat panggilan ibunya. Tim dari kampus datang bersama Pak Lurah. Beruntung bapak sudah selesai mandi, meski belum sempat istirahat. Bapak pulang dari keliling langsung ke kebun mengambil ketela untuk persediaan keripik esoknya lagi. "Selamat sore, Pak Rahmat, Bu Romlah," sapa Pak Lurah diikuti dosen dan mahasiswa. Aku masih mengenakan baju milik Ayu. Sebab bajuku tidak ada yang layak dipakai menyambut tamu menurut Ayu. Hufh, ada-ada saja memang sahabatku satu itu. Mbak Titin sampai mencibirku. Mengira aku sengaja memakai baju bagus untuk menarik perhatian. Menjengkelkan, dia sendiri malah pakai baju baru dan dandan menor. "Silakan masuk Pak Lurah, Pak Dosen, Mas dan Mbak!" Bapak menyilakan tamu masuk dan duduk lesehan. Aku sudah menggelar tikar karena kursi yang tersedia di ruang tamu tidak cukup. Mereka pun duduk lesehan. Bapak menemani tamu mengobrol, seda
Bab 29 Penagih Utang (Pov Ning)"Bu, Alhamdulillah orderan keripik seminggu ini meningkat," ucap bapakku dengan wajah berbinar. Aku tersenyum mengembang, pun ibuku dan Mbak Titin. Seminggu berlalu, uji coba produk keripik singkong aneka rasa tergolong menjanjikan. Banyak pelanggan menambah orderan untuk dijual di warungnya ataupun dikonsumsi sendiri. Selepas Isya, bapak mengajak berdiskusi setelah makan bareng. Hanya Amir yang tidak ikut karena masih menyiapkan bahan ujian praktik di sekolah esok hari. "Syukur kalau begitu, Pak. Ning senang usaha bapak bisa maju." "Ini berkat Zen juga, Pak. Anak itu sudah banyak membantu keluarga kita." Ibuku terlihat bersemangat memuji-muji Zen. Sementara itu, Mbak Titin wajahnya tersipu saat nama Zen disebut. "Bukan hanya Zen, Bu. Tapi timnya juga, ada Mbak Vina juga," ralatku. Aku tidak mau ibuku berlebihan menilai Zen. Jangan sampai beliau menyalah artikan kebaikan Zen. "Kayaknya Zen calon mantu idaman ya, Pak." Sontak saja aku terbelalak.
Bab 30 Sombong (Pov Ning)Sejak semalam, aku memutar otak bagaimana mengganti uang dua ratus ribu. Meminta ke ibu sepertinya mustahil. Beliau mati-matian mengumpulkan uang dengan segala cara untuk keperluan Mbak Titin. Seperti barusan aku meminta, tetapi hanya tangan kosong hasilnya. "Bu, uang dua ratus ribu yang diminta Lik Marni mana?" "Uang apa? Itu tanggung jawabmu, Ning. Ibu kan nggak nyuruh kamu ngasih ke Marni." "Ya Allah Bu. Lik Marni kan meminta haknya. Lagian buat periksa anaknya yang sakit lho." "Kamu kan bisa alasan lain, Ning. Lagian ibu pinjam juga pasti membayarnya. Ini juga belum jatuh tempo." Pagi-pagi di rumah sudah riuh perdebatanku dengan ibu di dapur. Mbak Titin kulihat sempat berdiri di ambang pintu. Setelahnya, ia justru menutup telingan dan masuk ke kamar lagi. Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar. "Uangnya mana, Bu?" seruku biar Mbak Titin turut mendengar. Namun, justru bapak yang menyela dari arah kamar. "Ada apa ta, Ning? Pagi-pagi sudah ramai,"
Bab 31 Terhibur (Pov Ning)Aku meninggalkan kumpulan ibu-ibu tukang gosip dengan sedikit kesal. Sudah tambah pening kepalaku. Aku yakin di tempat Pak Haji bisa terhibur. Sebab di rumahnya aku bisa tenang membicarakan kegiatan Mas Eko putranya yang menjadi sopir di kampus ternama di Yogya. "Ning, kamu benar nggak tertarik merantau di kota saja seperti Eko," tutur Pak Haji. Hatiku mengambang, seketika pening pun hilang. "Apa mungkin, Pak Haji? Saya pakai modal apa ke sana. Mbak Titin pun nggak bisa diandalkan untuk membantu usaha keripik bapak," terangku. "Ya, siapa tahu kamu bisa mengubah nasib di sana. Eko minggu depan pulang. Bapak biasanya minta tolong padanya kalau ada lowongan di kampus jangan menutup mata dan telinga. Ajaklah para tetangga menikmati kesuksesan bersama." "Pak Haji memang baik hati dan tidak sombong. Selalu begitu berbagi kebahagiaan dengan orang lain," ujarku membuat Pak Haji mengulas senyum. Aku melanjutkan kegiatan menyapu halaman, sedangkan Pak Haji masih
Bab 32 Sengketa tanah (Pov Ning)"Bapak dimaki-maki sama Pakde No. Katanya bapak menanam ketela di lahannya." Amir masih menarik napas panjang. "Pakde No adu mulut dengan bapak, Mbak." "Apa?!" Gegas aku berlari tanpa mempedulikan Zen dan Mbak Vina yang terpaku melihatku dan Amir. Aku bergegas mencari bapak di kebun. "Pak Rahmat tutup mata ya? Jelas-jelas batas lahan ini di sini kenapa jadi berpindah setengah meter ke lahan saya?!" "Pakde, bukannya batas lahan kebun ini dari dulu sudah di sini? Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?" Kulihat bapakku mempertahankan diri. "Ada apa, Pak?" tanyaku sambil memegang erat lengannya. Bapakku membalas dengan memegang tanganku tanpa bersuara. Aku paham maksudnya menenangkanku. "Ning, bapakmu dikasih tahu. Jangan menanam lagi di lahan orang lain, dosa. Mengambil hak orang jelas rejeki yang didapat juga haram." "Tapi, Pakde. Sejak dulu juga ini
Bab 33 Gejala Struk "Maaf, Pak Rahmat harus segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut." Dokter yang bermukim di salah satu desa sebelah tengah memeriksa bapak. Aku bersyukur bapak sudah saadar dari pingsannya. Namun, beliau tidak mampu bersuara. Alhasil dokter menyarankan untuk bapak dibawa ke rumah sakit di kota. "Mari, Bu. Saya antar bapak ke kota." Zen dengan sukarela mengantar bapak ke rumah sakit di kota. Kami duduk di mobil mewah yang kata Zen milik kampus. Namun, aku masih meragukannya. Ah, kenapa juga harus memikirkan itu. Yang penting Zen syka membantu dan tidak sombong. Sepertinya benar dia memang bukan terlahir dari orang kaya raya. Tidak sampai satu jam, mobil sudah sampai di pelataran rumah sakit. Bapak didorong menggunakan brankar masuk ke IGD. Kami yang mengantar menunggu dnegan was-was di luar ruang periksa. Hanya ibuku yang menemani bapak. "Zen, makasih sudah mau direpotkan ya. A
Bab 34 Kena Tipu (Pov Ning)Esok pagi, aku sudah bersiap mengantarkan dagangan keripik ke warung langganan bapak. Selain itu, aku juga keliling dan menghampiri tempat pertemuan. "Bu, apa Pakde No benar. Kemarin Pakde berdebat dengan bapak mengenai batas kebun." "Sudah, kamu anak kecil nggak usah ikut campur. Sekarang berangkat saja!" Ibuku masih sama bersikap dingin dan ketus. Namun, aku tetap menyayanginya. Beliau masih mau menyiapkan sarapan untukku juga penghuni rumah. Meski hanya sayur bening lauk tempe goreng. Aku selalu mendoakan ibuku agar mau memandangku penuh cinta. Entah kapan suatu hati nanti pasti akan sampai saat yang kuharapkan itu. "Tin, buruan sarapan. Nanti terlambat ke rumah Jono," teriak ibuku. Aku hanya menggelengkan kepala. "Ayo, Mir!" Aku dan Amir berpamitan pada ibu untuk mengantar dagangan keripik. Beruntung Amir sudah selesai ujian jadi tidak ada pelajaran di sekolah. "Mir, kita ke sekolah kamu
Bab 35 Jebakan (Pov Ning)"Mas Jono ada, Bu?" Pagi sekali sebelum ke rumah Pak Haji, aku sempatkan ke rumah Jono. Kebetulan hari ini belum menyiapkan dagangan keripik karena kemarin seharian keliling. "Jon, ada yang nyari." Setelah ibu paruh baya masuk, keluarlah laki-laki berpakaian rapi tetapi tatapannya sinis ke arahku. "Mas, maaf sebelumnya, Ning mau tanya kenapa Mbak Titin nggak lolis seleksi jadi model? Bukankah kakakku sudah mengeluarkan banyak uang?" tanyaku pelan, tak ingin mengumbar emosi. "Memangnya harus ya ketrima?" Deg,Sikap Jono terlihat angkuh. Padahal Mbak Titin kan begitu dekat dengannya. "Tapi, Mas. Bukankah Mas Joni berniat membantunya." "Uang yang aku minta kan masih kurang banyak. Lagian aku tunggu beberapa hari nggak nambah-nambah, ya sudah diambil orang slotnya." Mataku melebar, jadi benar hanya karena uang Mbak Titin nggak diterima. Pantas saja ibu murka padaku. Sebagian uang