PoV Abang
Ibu sudah membaca buku harian Ayah. Tidak ada kata yang terucap darinya. Hanya terlihat kedua mata dan hidung yang memerah. Seperti habis menangis.
Setelahnya, masih dengan empat mata aku bercerita tentang buku harian Bunda. Tentang masa lalu dan asal usul Bunda. Ibu menyarankan agar aku menelusuri panti asuhan Muara Bunda. Memang benar ada atau hanya fiktif belaka.
“Kalau memang panti asuhannya ada, kamu cari wanita pemilik panti. Cari keterangan tentangnya. Semoga urusanmu dipermudah, Nak.” Doa Ibu diakhir pembicaraan kami.
Sore hari aku dan Ayu pamit pulang. Ibu melepas kami dengan pelukan.
***
Keesokan harinya, usai menyantap sarapan bersama istri tercinta, aku bercerita tentang garis besarnya saja.
“Sekarang Abang mau cari panti asuhan. Doain Sayang, semoga ketemu.”
“Aamiin. Abang carinya sendiri atau sama Bang Dio
PoV AbangKedua bola mataku membulat sempurna, senyum mengembang lebar. Setidaknya dengan bertemu bapak ini, pencarian tentang siapa sosok Bunda sebenarnya akan segera terungkap.“Alhamdulillah ... kalau boleh tahu, nama Bapak siapa ya? Maaf, saya hanya tahu nama Ibu Khadijah.” Kataku mengulurkan telapak tangan.“Ahmad. Panggil saja saya Pak Ahmad,” sahutnya menyambut uluran tanganku.“Saya Dendi. Dan ini ... Bang Parto.” Giliran Bang Parto yang menyalami Pak Ahmad.“Kalau begitu, mari bicara di rumah saya. Sebentar, saya tutup warung dulu.” Aku dan Bang Parto tetap duduk di bangku panjang, sementara Pak Ahmad menutup warung, dan mengunci pintunya.“Mari ikut saya,” ujar Pak Ahmad, memasukkan kunci warung ke dalam saku pakaian koko, lalu berjalan lebih dulu.“Maaf, Pak, rum
PoV Abang Setelah bertamu di rumah Pak Ahmad dan Ibu Khadijah, meluncur ke panti jompo yang terletak di dekat alun-alun kota. Dalam perjalanan, aku membayangkan bagaimana sosok asli Nenek. Seorang wanita yang telah melahirkan Bunda. Ternyata tempat panti jompo tidak terlalu jauh dari kediaman Pak Ahmad. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit kami telah tiba di halaman panti. Bang Parto memarkirkan kendaraan beroda empat di halaman yang luas. Ada beberapa mobil mewah yang terparkir di sini. Yang aku tahu, kebanyakan dari orang-orang yang kaya raya, menitipkan orang tuanya yang sudah sepuh di panti jompo. Dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan, demi kebaikan orang tua karena sibuk dengan pekerjaan si anak. Ada pula yang beralasan tidak mau direpotkan oleh orang tua yang sudah sepuh. Memang, jika orang tua telah sepuh, mereka akan kembali lagi seperti anak kecil. Aku dan Bang Parto turun dari dalam mobil. Di depan teras, menghubungi Tiara kembali. “Iya, Mas Dendi?”
PoV AbangAku terus memohon agar Nenek bersedia ikut pulang ke rumah, tinggal bersamaku dan Ayu.“Berdiri, Nak. Jangan seperti ini. Duduklah.” Nenek menepuk sebelah kanan tempat tidur. Aku menuruti. Wanita yang telah melahirkan Bunda menatapku lekat.“Dengar, Nenek sudah tua. Tidak mau merepotkan kalian.” Lirih Nenek berkata. Aku membalas tatapannya dengan sorot mata memohon.“Nek, tidak ada yang direpotkan. Apakah Nenek tidak ingin, di masa tua Nenek tinggal bersama darah daging Nenek sendiri? Apa Nenek tidak ingin melihat buah hati Dendi?” Sesaat Nenek terdiam. Ia menelisik wajahku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku menunggu jawaban ‘iya, atau bersedia ikut.’ Namun, hanya helaan napas dan kebisuan yang menyelimuti. Tidak ada jawaban pasti.Tiga Nenek jompo yang sedari tadi duduk di luar, masuk ruangan. Dua di antara mereka merebahkan dir
PoV AbangBunda mau nginap? Apa aku tak salah dengar?“Papa Bram emangnya kemana, Bun?”“Keluar kota. Ayu mana? Dia gak tau Bunda datang?”Aku menengok ruang televisi, khawatir kalau Nenek keluar lalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.“A-ada, Bun. Bunda duduk dulu. Biar Dendi panggilin.” Bunda duduk di ruang tamu, disusul kedatangan Bi Sumi dengan membawa secangkir teh manis.Di ruang keluarga, Ayu sedang mendengarkan Nenek bercerita.“Sayang, ada Bunda,” ucapku pelan. Nenek mendongak. Raut wajahnya berubah gusar. Aku menggenggam telapak tangannya. Menenangkan Nenek.“Bunda ke sini? Ada apa, Bang?”“Gak tahu. Temuin dulu.” Ayu mengangguk, berdiri, berjalan lebih dahulu ke ruang tamu. Aku duduk di samping Nenek.“Nak, bagai
PoV BramAda perasaan bahagia yang kudapatkan dari seorang wanita bernama lengkap Sari Wulandari. Walaupun pertemuan kami baru beberapa jam lalu, tapi aku merasa seperti sudah sejak lama mengenalnya. Apa karena wajah Jhoni ini?“Nyetirnya yang fokus, Mas. Lihat ke depan! Dari tadi lirik-lirik terus?” Aku tergelak. Ternyata Sari menyadari kalau sedari tadi aku memerhatikannya.“Gimana mau fokus, kalau ditemani sama wanita cantik macam kamu.” Sari mencubit kecil perutku.“Udah berani ngegombal ya?”“Aduh ampun ... sakit ....” Kataku pura-pura kesakitan. Sari membuang muka sembari tersenyum. Senyum yang menenangkan. Ah sial! Kenapa wanita ini dapat membuatku lupa akan Riana?“Ngomong-ngomong, anakmu ada di rumah?” tanyaku memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.“Enggak.
PoV BramApa aku tidak salah dengar? Riana adalah Suryani yang tidak lain saudara kembar dokter Rahmat yang terpisah sejak mereka masih di panti. Aku tak percaya jika Riana menyembunyikan rahasia besar ini padaku.“Kau pasti bercanda, Tari. Aku mengenal wajah Suryani. Dan kau! Jelas jauh berbeda dengannya.” Cetus dokter Rahmat menggelengkan kepala. Aku juga sebenarnya tidak percaya. Kalau memang Riana adalah saudara kembar dokter Rahmat, otomatis dia akan mengenalnya. Ini pasti alasan Riana saja.“Aku Suryani, Bang. Dan kau Suryadi.”“Tapi wajahmu sangat berbeda!!” Dokter Rahmat masih tak percaya. Semakin pusing melihat mereka berdua. Duduk di atas lantai, saling beradu pandang satu sama lain.“Riana! Jangan kau alihkan pembicaraan. Kalau memang kau pun mencintai dia! Katakan saja! Jangan memberi keterangan yang mengada-ada.” Geram
PoV Ayu“Papa Bram?” Aku terkejut melihat pelanggan baru butik kami yang ternyata suami baru Bunda. Papa Bram terlihat salah tingkah, ia menurunkan tangan wanita bergaya glamour dari lengannya.“Siapa dia, Mas? Anakmu?” pertanyaan wanita di sampingnya semakin membuat Papa Bram salah tingkah. Wajahnya gusar, beberapa kali mengusap wajah dengan telapak tangan.“Bu-bukan. Eh, maksudku ... dia menantu istriku. Istri dari anaknya Riana.”Kok Papa Bram tidak sungkan mengakui kalau aku adalah menantu Bunda? Apa wanita ini hanya sebatas teman atau memang ....? Wanita yang belum kuketahui namanya mengembuskan napas. Merunduk, seperti sedang menimang sesuatu.“Silakan duduk, Bu, Pa.” Aku mempersilakan mereka. Namun Papa maupun wanita di sebelahnya tetap berdiri.“Hm ... maaf, Mbak. Kami tidak jadi pesan kebaya di sini.”
PoV AbangSejujurnya, cerita Ayu tentang Papa Bram bersama wanita lain cukup menyita pikiranku. Aku mengkhawatirkan keadaan Bunda.Pantas saja semalam tidak biasanya Bunda ingin menginap di rumah. Meskipun Bunda belakangan ini sering membuatku dan Ayu sakit hati, tapi Bunda adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkanku. Tentu, tidak mau kalau adaa orang lain yang menyakiti hatinya. Sepertinya aku harus bicara dengan Papa Bram. Memancing Papa Bram agar mau berterus terang perihal rumah tangganya. Karena aku yakin, Papa Bram bukan tipikal laki-laki tukang selingkuh. Pasti Bunda melakukan kesalahan fatal hingga Papa tiriku berani main dengan wanita lain. Mumpung belum terlambat. Mungkin nanti malam, aku akan bertemu dengan Papa Bram.Tiba di kantor, aku langsung menghubungi Papa Bram. Tapi beberapa panggilanku tidak diangkat. Mengirim pesan.[Pa, jam tujuh malam,