Perempuan itu lantas mengulas senyumnya. “Oh gitu.”“Selena. Saya serius!” kata Justin kembali.Selena menghela napasnya dengan panjang. “Serius? Serius dalam hal apa?" tanya Selena dengan santai.Justin menatap Selena dengan lekat. "Apa maksud ucapan kamu tadi? Kamu ... calon istri saya? Kenapa kamu bicara seperti itu pada saya?" Justin melemparkan beberapa pertanyaan kepada Selena.Perempuan itu lantas menghela napasnya dengan panjang. Ia menatap lekat wajah Justin yang tengah menatapnya dengan serius. Kemudian menerbitkan senyumnya sembari menyingkap anak rambutnya dengan pelan."Anda tidak mau bertanya dengan siapa saya bertemu?" tanya Selena dengan lembut.Namun, yang dilakukan oleh Justin malah membuang muka. Tak mengiyakan pertanyaan Selena ataupun menunggu Selena memberi tahu sendiri. Daripada sakit hati mendengarnya, lebih baik tak perlu tahu. Begitu pikirnya.Selena kembali mengembuskan napas kasar. "Pak Justin marah, sama saya? Maaf deh kalau gitu."Pria itu melirik tajam k
Selena mengulas senyum. "Hanya ini dan itu. Sedikit agak tak percaya kalau Anda sudah sadar. Tapi, semua manusia pasti akan berubah jika memang ada niat dalam hatinya."Justin meraih tangan Selena. Mengusapinya dengan lembut dan menatap Selena dengan amat dalam. "Saya sudah katakan pada kamu. Berkat penolakan kamu, akhirnya saya mau berubah. Sampai akhirnya saya tahu, kesetiaan itu mahal harganya. So, kalau kamu masih tidak percaya, jangan dulu mau menerima lamaran saya. Because ... ini baru ajakan saja. Saya akan melamar kamu di tempat yang lebih indah."Tidak etis rasanya melamar perempuan istimewa seperti kamu di tempat seperti ini. Saya ingin, ungkapan hati saya yang paling dalam itu diungkapkan di tempat yang tidak bisa kita lupakan. Masih ada waktu untuk berpikir ulang. Meyakinkan diri dan percaya, jika saya benar-benar sudah tak punya dua rasa lagi."**Satu minggu berlalu.Dengan segala kehidupan yang dilalui oleh Selena, melihat sendiri keyakinan dan kesungguhan Justin bahwa
Sesampainya di rumah sakit, Selena segera masuk ke dalam ruang Dokter Handoko yang di sana sudah ada orang tua Justin—Rosita dan Antony.“Ada apa, Ma, Pa?” tanya Selena dengan jantung yang berdetak tak karuan.Rosita menggenggam tangan Selena dengan erat. Mata yang sudah bengkak lantaran menangis itu menatap dengan lekat wajah Selena.“Ma, ada apa?” tanya Selena sekali lagi. “Ada apa dengan kondisi Mas Justin?” Kemudian, Selena menoleh kepada Dokter Handoko. Menuntut agar pria paruh baya itu menjawab pertanyaannya.“Pascaoperasi dua hari yang lalu, kondisi Justin semakin menurun. Kami nyatakan, operasinya gagal karena tidak ada perubahan pada kondisi Justin.”Mendengar penuturan Dokter Handoko, air mata Selena kembali berlinang. Apakah dia sedang bercanda? Tapi, bukan saat yang tepat untuk bercanda tentang kondisi seseorang.Selena menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia tak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.“Nggak! Dokter bohong, kan?” ucap Selena menyangkal penuturan Dokter
Di kediaman Kevin, Jasmine tengah membahas kondisi Justin semakin hari semakin memburuk.Kevin menghela napasnya dengan pelan. “Umur manusia memang hanya Tuhan yang tahu, saya nggak bisa bilang Justin akan meninggal kalau sampai berbulan-bulan tidak mendapat pendonor.“Tapi, yang namanya jantungnya sudah tidak berfungsi dengan baik, cepat atau lambat pasti akan menemukan ajalnya.”Dada Jasmine begitu sesak mendengarnya. Ia merasa kasihan kepada Selena yang terus berupaya untuk tabah melihat kondisi Justin saat ini. Ditambah, mereka sudah merencanakan pernikahan secepatnya.Kemudian mengembuskan napas dengan panjang. "Mas?" panggilnya kembali."Saya tidak tahu, Jasmine. Mencari pendonor tidak segampang mencari jagung di pasar. Memangnya saya tidak kepikiran karena kondisi Justin? Saya juga memikirkan. Tapi, apa yang bisa kita lakukan, heum? Kamu mau nyuruh saya kasih jantung saya ke Justin? Mau jadi janda kembang, huh?"Jasmine lantas menyunggingkan bibirnya. "Isshh! Bukan itu maksud s
Andrian menghela napasnya dengan panjang, setelahnya menatap Selena dengan lekat dan menerbitkan senyumnya dengan tipis.“Sayang semuanya. Kamu, Diandra, dan Justin. Kalian adalah orang-orang yang saya sayangi. Pak Kevin dan Jasmine juga. Pada Arshi dan Gita, jangan ditanya. Mereka sudah saya anggap seperti anak sendiri.“Bahkan, Pak Kevin sering cemburu karena kedekatan saya dengan Gita dan Arshi. Lebih dekat dan sayang pada saya ketimbang pada papanya sendiri.”Andrian menjelaskan begitu detailnya menjawab pertanyaan Selena tentang dirinya yang menyayangi siapa. Andrian yang tak pernah jatuh cinta pun tidak bisa membedakan mana sayang terhadap perempuan dan saudara. Semuanya sama menurutnya.Selena pun mengangguk paham. “Begitu rupanya. Mungkin, Pak Andrian akan lebih menyayangi keponakan Anda kelak. Anak dari Bu Diandra.”Pria itu mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Tentu saja. Pada anak dari bos saya saja sayang, pada keponakan sendiri harusnya lebih sayang.”“Iya, Pak. By the
Selena lantas menceritakan alasan Justin dibawa ke ruang ICU lagi. Jasmine terdiam. Keluar-masuk ruang ICU membuatnya menjadi khawatir.“Napas Pak Justin sudah dibantu oleh alat, Bu. Jika orang tua Pak Justin ingin melepaskannya dan berserah diri, Pak Justin akan pergi untuk selamanya,” tutur Selena memberi tahu kembali.“Apa?” Jasmine lantas terkejut mendengarnya.Selena mengangguk. “Jantungnya bener-bener udah nggak berfungsi dengan normal. Pak Justin … Pak Justin masih hidup juga karena dibantu oleh alat. Bukan kritis lagi. Melainkan sudah di antara hidup dan mati.”"Ma. Maaf, ya aku baru datang jenguk Mama lagi. Datang hanya untuk curhat tentang kehidupan aku yang sekarang lagi semrawut banget."Selena tengah mengunjungi makam sang mama di tempat pemakaman umum untuk mencurahkan isi hatinya yang kini terbalut luka lantaran menunggu Justin yang hingga kini belum juga sadarkan diri."Mama. Aku sudah menemukan orang yang tepat dan mungkin akan menjagaku dengan baik suatu saat nanti.
Selena geleng-geleng kepala melihat Jasmine yang mengelak kalau dirinya sedang hamil. "Ya sudah, ya sudah. Baik hamil ataupun tidak, kalau ada bapaknya, tidak perlu panik. Kecuali bapaknya gak ada."Kemudian, perempuan itu menarik tangan Jasmine menuju kantin karena ia pun merasakan lapar lantaran dari pagi hingga kini perutnya belum terisi apa pun."Proses penyembuhan jantung yang baru dioperasi itu sekitar tiga sampai enam minggu. Jadi, setelah Pak Justin sadarkan diri, belum bisa langsung naik ke pelaminan," tutur Jasmine sembari mengisi perutnya yang sudah keroncongan itu.Selena manggut-manggut. "Begitu rupanya. Gak apa-apa, Bu. Yang penting Pak Justin sembuh aja dulu. Saya kangen suara lembut Pak Justin. Kalau lagi ngomong serius itu suaranya lembuuuut banget."Jasmine mengangguk. "Iya, Mbak. Pak Justin kalau ngomong serius emang, kayak lagi gombal."Selena mengangguk. "Iya, bener banget. Padahal aslinya nggak. Hanya saja, dia terlalu dibawa perasaan. Makanya kalau ngomong udah
Tak ada satu pun orang yang tidak menangis di sana. Setelah Selena membaca pesan itu, Jasmine dan Kevin pun ingin membacanya.Hati yang paling hancur saat ini adalah Kevin. Satu-satunya orang yang sangat ia percaya kini harus pergi untuk selamanya.“Surga tempat terbaik untuk kamu, Andrian. Saya tahu ini berat. Tapi, apa lagi yang harus saya lakukan selain bertahan hidup seperti pesan kamu pada saya.”Jasmine lantas memeluk Kevin. Ia sangat merasakan betapa kehilangannya Kevin karena kepergian Andrian. Memeluk erat tubuh Jasmine dan kembali menangis sama seperti saat Andrian menutup mata untuk selamanya.“Di mana Pak Andrian dimakamkan?” tanya Selena dengan pelan.Kevin melepaskan pelukan itu. “Di dekat makam Desi.”“Tepatnya kapan, jam berapa Pak Andrian meninggal?”“Tadi subuh, jam lima. Dia dibawa ke sini untuk diambil jantungnya. Mengonfirmasi orang tua Justin kemudian Justin dibawa ke ruang operasi, sementara Andrian dibawa ke TPU setelah proses pemandian dan sholat jenazah dilak