36Sore harinya, aku terbangun karena mendengar suara tawa orang-orang dari luar kamar. Aku bergegas bangkit dan jalan ke bilik termenung. Mempercepat pembersihan diri, lalu keluar dan berganti pakaian. Raisa dan Mami tampak sibuk di dapur sambil bercanda. Harum masakan sangat menggugah selera. Hidungku mengembang dan mengempis dengan sempurna. "Masak apa?" tanyaku sambil duduk di kursi dekat meja makan."Kentang balado, tumis sawi putih dan rolade," jawab Raisa sambil meletakkan segelas teh manis di meja. "Sini!" pintaku sembari menepuk-nepuk kursi di sebelah kanan."Nanti aja. Belum beres masaknya," tolaknya sambil melenggang menjauh. Aku terdiam, lalu meraih cangkir dan mulai menyesap teh. Kemudian mengambil sepotong bolen durian di meja. Tatapanku terfokus pada Raisa. Benar-benar tidak sabar untuk segera mendapatkan jatah preman yang tertunda seminggu Saat Mami memasuki kamar mandi, aku langsung bergerak menuju dapur dan memeluk pinggang istriku dari belakang. "Kangen," uca
37Tawa Raisa bergema di ruang tamu apartemen kami yang mungil. Sedangkan aku cuma mesem-mesem melihat tingkahnya. "Terus gimana? Beneran berantem?" tanya Raisa di sela-sela tawa."Gaklah. Cuma saling lirik aja sepanjang rapat," jawabku. "Kira-kira bakal dapat nggak, nih, proyek di perusahaan itu?" "Au ahh. Sudah keburu nggak konsen tadi. Untungnya Pak Tono sigap. Dia yang banyak ngambil alih presentasi. Ayah lebih banyak diam." "Sabar, Yah. Kalau nggak dapat, nggak apa-apa. Pasti akan digantikan rezekinya dari tempat lain." Aku manggut-manggut. "Ehm, Bun. Sekarang udah bisa kan?" tanyaku pura-pura lugu. Raisa memandangiku sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mengiakan. Dia melengos saat aku tersenyum lebar. "Mandi dulu!" perintah Raisa."Siap, Komandan!" jawabku sambil bangkit berdiri dari sofa. Berjalan sembari berjoget menuju kamar mandi. Membersihkan diri demi sang istri. Beberapa saat kemudian aku berjalan memasuki kamar yang sudah gelap. Hanya ada satu lilin aroma terapi
38Mami dan Papi ternyata betul-betul datang sesuai dengan janji. Mereka tiba beserts kedua orang tuaku, tepat di saat matahari siang sedang menyorot dengan dahsyat. Aku yang hendak keluar untuk menyambut mereka, akhirnya membatalksn niat karena tidak kuat dengan pancaran sang surya. Nanti kulitku jadi hideung dan mengurangi ketampanan. Bahaya!Darman keluar bersama Kusno. Keduanya berjibaku mengangkut banyak barang dari mobil ke teras kantor. Aku, Heni dan Endang meneruskan memindahkan benda-benda itu ke ruang tamu. "Mau baca doa di sini atau di atas?" tanya Raisa yang tengah berdiri di dekat meja Heni. "Di sini aja," jawabku. Raisa meletakkan kotak kue yang sejak tadi dipegangnya. Dia bergerak cepat membuka kotaknya. Tampaklah kue berukuran besar dengan hiasan cokelat di atasnya. Mama mengulurkan pisau kecil ke meja. Mami meletakkan tisu dan piring serta garpu kecil ke dekat kue. "Ayo, kita baca doa dulu," ajak Papi. Sekali lagi papaku yang memimpin doa. Setelahnya acara poton
39Hari yang dinantikan Raisa pun tiba. Sejak pagi dia tampak semringah. Kondisinya yang biasanya lemah sekarang terlihat lebih segar. Aku menyetir dengan santai. Sesekali beradu pandang dengannya yang tampak bahagia. Saat mobil kami memasuki halaman rumah, ternyata kedua perempuan tua sudah menunggu di teras. Pelukan hangat diberikan Mami dan Mama ke Raisa yang tak henti-hentinya tersenyum. Mereka menuntun istriku yang cantik itu menuju bagian tengah rumah. Aku terperangah saat melihat aneka hiasan yang memenuhi ruangan. Beberapa wajah yang sangat dikenal juga tampak hadir seraya tersenyum."Kalian, ngapain ke sini?" tanyaku sambil menyalami mereka satu per satu. "Numpang makan," jawab Bayu Evan langsung berlari ke arahku dan melompat masuk ke dalam pelukan. Tangannya dikalungkan di leher sembari mengusapkan bibir berulang kali ke wajah."Papi, main yuk!" ajaknya. "Nanti, ya, Sayang. Papi baru nyampe. Mau istirahat dulu. Nanti habis salat Jumat dan makan siang, baru kita main,"
40"Ayah ke sininya minggu depan?" tanya Raisa."Iya, kerjaan Ayah pasti sudah numpuk, Bun. Banyak tender, harus dikerjakan secepatnya," jawabku sambil merangkul pundaknya. "Tapi nanti Bunda bakal kangen berat," rajuknya. "Tetap doakan Ayah aja. Biar selalu sehat dan dilindungi Tuhan. Agar Ayah bisa segera datang ke sini," bujukku. Bibir Raisa terangkat dan membingkai senyum tipis. Kemudian, dia menyandarkan kepala di bahuku dengan manja. "Ayah nggak dibekalin, nih?" candaku. "Nanti aja, masih awal. Malu kalo kedengaran Mami sama Papi," sahutnya seraya tersenyum lebar. "Ya, jangan berisik. Diam-diam gitu." Tawanya seketika pecah. Aku pun terpancing untuk tersenyum. Memandangi Raisa yang sedang tergelak itu membuatku senang, karena tandanya dia tengah bahagia."Mana bisa diam-diam. Enggak seru," tukas Raisa, setelah tawanya menghilang. "Iya, sih. Kurang hot," sahutku. "Badan Bunda lagi mbulet gini, nggak bisa juga mau banyak gaya." "Ayah justru suka, Bunda makin berisi. Tamb
41Jalinan waktu terus bergulir. Hari-hariku dihabiskan dengan bekerja. Sebab Raisa masih betah di Bandung, aku jadi malas pulang ke apartemen yang sunyi dan sepi. Malam ini, aku keluar dari kantor jam 8. Petugas keamanan area yang tengah patroli, bergegas mendatangi dan membantuku menutup serta mengunci rolling door. Kami berbincang sesaat, sebelum aku berpamitan dan jalan ke mobil. Setelah memasuki kendaraan dan menyalakan mesinnya, aku memutar mobil hingga mengarah ke luar area. Aku hendak membeli makanan di luar, karena bosan dengan menu-menu yang tersedia di rumah makan sekitar gedung. Aku melajukan mobil dengan kecepatan rendah, sambil melihat-lihat tepi jalan. Aku membelokkan kemudi dan parkir di depan deretan rumah toko. Setelah mematikan mesin dan memasang rem tangan, aku melepaskan sabuk pengaman. Sekian menit berikutnya, aku sudah berada di meja terdepan. Tempat ini cukup ramai. Semua pegawainya bekerja cepat menyiapkan hidangan. Aku menyempatkan diri menelepon Raisa.
42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta
43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat