Apa yang kau lakukan, Mikail?" Megan tak bisa menahan getaran dalam suaranya. Kali ini Mikail tak hanya menyentuh dagunya dengan ujung jemari. Melainkan menggenggam rahangnya, memaksa seluruh perhatiannya tertuju hanya kepada pria itu. Seringai Mikail naik lebih tinggi saat mendesiskan jawabannya, "Kau tahu benar apa yang kuinginkan darimu." Megan menelan ludahnya. Seluruh tubuhnya menegang oleh rasa takut yang nulai merebak memenuhi dadanya. "Aku tidak bisa, Mikail. Kau tahu aku tidak siap memenuhi keinginanmu yang satu itu." "Kau memiliki terlalu banyak syarat, Megan. Apa kau tidak menyadari posisimu?" "Kau mengatakan tak akan menyentuh wanita yang tidak menginginkanmu." Suara Megan bergetar semakin hebat. Sorot tajam di kedua mata Mikail sama sekali tak menunjukkan bahwa pria itu mendengarkan kata-katanya. "Mungkin akan menjadi pengecualian untukmu." "Tidak, Mikail. A-aku tidak bisa…" Megan menggeleng dengan sekuat tenaganya dan mendorong dada Mikail untuk menjauh darinya. Ge
"Bukan pintunya, Megan!!!" Kali ini Mikail menggedor pintu kamar mandi dengan seluruh tenaganya. Hampir merobohkannya jika Megan membukanya sedetik lebih lama. Tubuh Mikail mematung, menatap wajah Megan yang merah dipenuhi air mata. "Aku sudah mengatakan ingin sendirian, Mikail." Suara Megan terdengar begitu lirih. Nyari tak terdengar jika jarak di antara mereka lebih lebar lagi. Mikail terdiam selama beberapa saat. Mengamati raut wajah Megan dengan lebih dalam dan wanita itu sungguh-sungguh menginginkan waktu untuk dirinya sendiri. "Lakukan apa pun yang kau inginkan, Megan," putusnya kemudian. "Hanya pastikan saja pintunya tidak dikunci. Aku tak akan mengganggumu." Megan berkerut kening. Terkejut dan tak menyangka dengan keputusan Mikail. Meski kelegaan itu hanya untuk sepersekian detik, karena berikutnya. Mikail berkata dengan nada penegasan yang tak bisa dibantah. "Setelah kau selesai dengan waktumu, kita akan bicara." Megan terdongak, protes sudah siap di ujung lidahnya, teta
Wajah Mikail menggelap dengan gurat amarah yang mengeras di seluruh permukaan wajah pria itu akan jawaban angkuh Megan. Bahkan dagu wanita itu terangkat, mencoba memberanikan diri dengan cara yang konyol di mata Mikail. Megan menelan ludahnya, seolah menelan habis ketakutannya akan jawaban yang diberikannya pada Mikail. "Aku hanya berjanji akan melakukan apa pun demi Kiano, Mikail. Masalah atau penyakitku sama sekali bukan urusanmu." Mata Mikail menyipit, mencermati ekspresi di wajah Megan lebih dalam. "Tidak. Aku sudah berkali-kali menegaskan padamu, urusanmu akan selalu menjadi urusanku. Jika kau tidak ingin mengatakannya padaku, aku akan melakukannya dengan caraku sendiri." Kepucatan di wajah Megan tak tertolong lagi. Kedua mata wanita itu melebar, terkejut akan paksaan yang keras di wajah pria itu. Tak ada bantahan, segala hal tentang dirinya, Mikail harus tahu. Dengan sangat detail. Dan Megan tak siap dirinya dikelupas dengan cara yang memaksa. Mikail pun berputar, hendak mel
Tak menemukan Megan di kamar, Mikail pun pergi ke kamar Kiano. Lampu kamar sudah diatur dengan mode tidur. Keheningan menyelimuti seluruh ruangan dan tatapan Mikail langsung mengarah ke tempat tidur. Melihat Megan yang duduk bersandar di kepala ranjang, kepala wanita itu miring ke samping dengan posisi tidak nyaman sedangkan di pangkuan wanita itu ada buku dongeng Kiano yang hampir jatuh ke lantai. Mikail menghampiri sisi ranjang tempat Megan terduduk. Memperbaiki selimut Kiano dan mengecup kening putranya dengan penuh kasih sayang. Kemudian menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan dan mengangkat wanita itu keluar kamar Kiano tanpa menciptkan suara sekecil apa pun agar istri dan anaknya tidak terbangun. Sesampai di kamar utama, Mikail membaringkan Megan di tempat tidur. Menarik selimut hingga ke pundak dan duduk di samping Megan. Tangannya terukur, menyelipkan helaian rambut Megan ke balik telinga. Menatap wajah cantik Megan yang rasanya tak pernah berubah. Hidu
Sampai di ruang makan, keduanya melihat Alicia yang duduk di kursi samping Kiano. Wanita itu tampak sibuk membujuk Kiano untuk membuka mulut sedangkan Kiano menggeleng. Tampak keras kepala menolak suapan dari tangan Alicia. “Kiano ingin mama yang melakukannya. Mama sudah berjanji.” “Ya, tapi mamamu sedang istirahat dan tak bisa …” Kening Megan berkerut tak suka dengan jawaban yang diberikan Alicia kepada Kiano. “Mama?” Kalimat Alicia terputus oleh suara memanggil Kiano yang langsung menyadari kedatangan kedua orang tuanya. Alicia ikut menoleh, dengan kekecewaan yang melintasi kedua matanya. Menatap Mikail dan Megan bergantian, bahkan dengan lengan Mikail yang merangkul pundak Megan. Mengisyaratkan bahwa hubungan pasangan itu tampaknya sudah membaik. Secepat ini? Alicia tak memercayai fakta tersebut. Mikail tak pernah semudah itu diluluhkan, dan lagi-lagi kehadiran Megan di rumah ini hanya untuk mematahkan segala kebiasan yang Mikail dengan telak. Kiano melompat turun dari kursi
Megan terlonjak dan tubuhnya nyaris terjungkal ke belakang jika tidak ditahan oleh pegangan Mikail di pergelangan tangannya. Cengkeraman pria itu di pergelangan tangannya semakin menguat ketika tangannya yang lain berusaha merebut ponselnya dari genggaman Mikail, menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan bibirnya untuk bersuara. Ia sudah mengangkat panggilan Nicholas, dan tak ingin membuat pria itu lebih curiga setelah ia menyebut nama Mikail sedetik sebelum Mikail merampas ponselnya. Sungguh, Megan berharap suaranya keluar selirih mungkin dan Nicholas tak sungguh mendengarkannya.Mikail menempelkan ponsel Megan di telinganya, menyeringai tipis mendengarkan suara dari seberang lalu memutusnya."Kau menyelinap keluar hanya untuk menerima panggilannya?" dengus Mikail memasukkan ponsel Megan ke dalam saku celananya."Apa yang kau lakukan, Mikail?" Megan berusaha meraih ponselnya, tetapi langsung dihadang oleh tangan Mikail. "Kembalikan ponselku.""Tidak," tegas Mikail dengan suara
Megan menatap sedih ke arah ponsel di tangannya. Layarnya retak cukup parah dan ponsel itu sama sekali tak bisa menyala. Padahal ia sempat melihat ponsel itu masih menyala sebelum Mikail menginjak lebih kuat ponselnya ketimbang lantai yang dipijak pria itu.Ia pun menarik napasnya dalam dan kuat, kemudian memasukkan ponsel rusak itu ke dalam tas dan mengingatkan dirinya sendiri untuk segera pergi memperbaiki ponsel ini. Sesegera mungkin.Sampai di lobi, pandangan Megan segera bertemu dengan Alicia dan Kiano yang menunggu di balik pintu putar. Wanita itu segera memperbaiki raut wajahnya yang kusut. Memaksa senyuman menghiasi wajahnya dalam perjalanan menghampiri Kiano.Kiano sendiri langsung melepaskan pegangannya di tangan Alicia dan menghampiri Megan. Tanpa menyadari sikap tersebut membuat Alicia semakin membenci Megan. Bahkan Kiano sepenuhnya mengabaikan keberadaan Alicia ketika sopir Megan membawa mereka bertiga menuju supermarket terbesar.“Kiano suka rasa apa, Sayang?” tanya
Megan menatap wajah mungil Kiano yang masih terpejam. Terlelap dengan sangat tenang. Di area sekitar bibir Kiano terlihat lebih memerah tapi keadaan putranya sudah jauh lebih baik. Megan yakin saat Kiano terbangun, rasa gatal di mulut putranya juga sudah sembuh. Dokter mengatakan sudah memberikan obat anti alergi dan semuanya akan baik-baik saja."Megan?" Suara feminim dari arah belakang Megan mengalihkan lamunan wanita itu. Melihat Jelita yang melangkah masuk dengan membawa kantung pakaian yang dipesannya. Juga kantung plastik yang entah apa isinya di tangan lain. Jelita meletakkan dua kantung itu ke meja dan berjalan menyeberangi ruangan menghampiri dirinya. Memeluk dan mengelus pundaknya, selalu seperti yang Megan butuhkan."Apa keadaannya baik-baik saja?"Megan mengangguk pelan. "Kau membawanya?""Ya."Megan mengurai pelukan Jelita dan bangkit berdiri.Saat itulah Jelita menyadari keganjilan di pergelangan tangan Megan. Membelalak melihat perban yang melilit pergelangan tangan wan