Sepi, ya? XD Hai, teman-teman. Selamat menyambut akhir pekan. ♡ Terima kasih banyak, ya, masih mendukung Fayola dan Galang sampai saat ini. Bagaimana? Apakah ada komentar untuk kami? Aku senang sekali mengetahui apa yang pembaca pikirkan mengenai novel ini. Untuk yang rajin banget memberikan gem, terima kasih banyak. Walau tidak sepuluh besar, novelku bisa mejeng di ranking bulanan. #terharu Selamat beraktivitas, besok bisa libur~ Tenang, Galang dan Fayola akan tetap menemani akhir pekan teman-teman. ♡ Salam sayang, Meina H.
~Galang~ Dibandingkan dengan anak-anak Mala, Fay memang lebih akrab dengan kedua anak Nidya. Mungkin karena dia dekat dengan ibu mereka, jadi Ezio dan Athena juga suka berada di sisinya. Bahkan kue yang secara simbolis diberikan kepada keluarga terlebih dahulu, diberikan untuk istriku. Sebelum kami menikah, aku sering menemani dia datang ke acara di rumah Nidya. Mulai dari acara ulang tahun, syukuran, atau kunjungan duka karena ada yang sakit atau meninggal. Namun kedua anak itu tetap lebih suka bersama Fay daripada aku. “Om adalah suami Tante Yola, ya?” tanya Athena yang berdiri di dekatku. Dia mengamati tubuhku baik-baik. “Apa Om baik kepada Tante Yola?” “Tante Yola mau menikah dengan Om, tentu saja karena Om baik,” jawabku. Dia mengangguk pelan. “Benar juga. Kalau Om baik, aku juga mau berteman dengan Om.” Dia pun mengulurkan tangan kecilnya kepadaku. Aku menerimanya. “Kita teman.” “Memangnya kamu masih ingat nama Om?” tanyaku, menguji memorinya. “Ingat, dong. Om Galang. Yang
Aku tidak siap dengan benturan itu sehingga terpukul mundur, tersandung kakiku sendiri, dan terduduk di lantai. Bokongku jatuh pada posisi yang salah sehingga terasa sakit. Aku sengaja tidak menggunakan tangan untuk menahan tubuhku agar tidak patah. Sial. Kalau aku tidak terkejut, aku akan jatuh tanpa melukai diri sendiri. Seseorang memekik melihat darah, barulah aku merasakannya. Cairan merah pekat itu menetes dari lubang hidungku. Seorang pelayan datang dan memberikan sebuah handuk bersih kepadaku. “Pak, tolong, jangan buat keributan di sini.” Aku mengangkat kepala dan melihat seorang petugas keamanan berdiri di depanku, melindungi aku. Aku melihat ke sekitarku. Beberapa penghuni yang berniat untuk olahraga, berenang, atau pergi ke sekolah dan tempat kerja mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Sial. Aku hanya mau kembali ke kamarku, lagi-lagi ada drama tidak penting. “Minggir! Pria berengsek itu sudah menggoda istriku! Minggir atau mukamu akan aku hajar juga!” ancam Doddy dengan
Aku harus memegang tangannya agar dia tidak segera berlari ke kamar tidurnya. Dia memberontak ingin lepas, tetapi tidak aku izinkan. Sudah malam, waktunya bersantai. Bukan melelahkan badan yang sudah penat dengan urusan rumah. “Galang! Kamu ini ada apa? Merusak suasana saja!” Dia memukul dadaku, tetapi aku hanya tertawa. “Kita bisa melakukannya besok atau akhir pekan. Sudah, kamu duduk tenang saja. Kita selesaikan filmnya lalu beristirahat.” Aku tidak melepaskan pelukanku sampai aku yakin dia menuruti aku. “Baiklah. Baik.” Dia akhirnya mengalah. Aku tersenyum penuh kemenangan, lalu melepaskan pelukanku. “Bagaimana keadaan di tempat kerja hari ini? Aku lihat sudah dua hari tidak ada demonstran lagi.” “Semuanya lancar dan baik-baik saja,” jawabnya dengan nada senang. Aku mengerutkan kening mendengarnya. Dia tidak menyukai manajer barunya. Bagaimana dia bisa berkata bahwa segalanya lancar di tempat kerjanya? Namun wajah bahagianya itu tidak dibuat-buat, jadi aku tidak bertanya atau
~Fayola~ Aku semula tidak mau peduli dengan pengaduan Doddy mengenai Galang menggoda istri tidak bergunanya itu. Namun melihat dia benar-benar marah sampai memukul sahabat baikku, maka ini bukan tuduhan main-main. Doddy selalu menjaga sikap demi reputasi keluarganya. Setelah Galang pergi ke kantornya, aku bergegas menuju halte. Ojek daring yang aku pesan pun datang, dan mengantar aku kembali ke gedung apartemen. Para petugas keamanan tidak akan usil memberi tahu Galang mengenai kepulanganku. Jadi, aku tidak takut ketahuan. Tempat yang aku tuju cukup mudah ditemukan. Pria yang bertugas juga sangat ramah kepadaku. Aku membutuhkan waktu cukup lama untuk menyampaikan maksudku, karena merasa segan. Namun aku harus melakukan ini atau penasaran selamanya. “Oh. Ibu meminta hal yang sama seperti permintaan Pak Galang, suami Anda,” katanya dengan ramah. Dia berjalan mendekati sebuah meja dengan komputer di atasnya. “Silakan, Bu.” Aku mendekat dan melihat layar besar di depan kami. Melihat p
“Ide kamu mengenai demonstran itu oke juga,” kata Trici, mengejutkan aku. “Aku jadi punya alasan kuat untuk memberi skors kepadanya. Dia juga tidak bisa melawan setelah aku evaluasi habis-habisan di depan semua supervisor.”“Aku mempelajarinya dari karyawan suamiku sendiri. Ada maunya sedikit, demo. Kurang puas sedikit, demo lagi. Untung saja ada banyak orang yang mau bekerja di hotel. Jadi, mereka tinggal dipecat saja.” Sonya tertawa kecil. “Bos kamu tidak keberatan dengan demonstrasi itu, jadi kita aman.”“Para karyawan juga aman, karena mereka dibayar mahal dan tidak kehilangan pekerjaan.” Trici ikut tertawa senang. “Terima kasih juga sudah menurunkan semua berita buruk mengenai demonstrasi itu atau dirut akan memecat aku.”“Aku sudah bilang, kamu tenang saja. Kamu cukup kerjakan tugasmu, biar aku yang melindungi kamu,” kata Sonya dengan santai. Mereka tertawa bersama.Merasakan ada yang merayap di kakiku, aku menoleh dan segera menutup mulut melihat serangga itu. Namun sebelum aku
Dia berdiri dan memukul meja dengan telapak tangannya begitu keras. “Berengsek!! Aku bukan manusia serendah itu! Katakan sekali lagi kalau kamu berani! Ayo, aku mau dengar!” serunya marah.“Kalau aku salah, mengapa kamu marah?” tanyaku dengan santai. “Duduklah. Kita bicarakan hal ini baik-baik. Katamu, kamu mau kita berteman lagi. Jadi, katakan kepadaku. Apa alasan kamu berusaha untuk mendekati suamiku?” Aku memasang wajah polos.“Galang akan datang berlutut kepadaku. Tidak ada laki-laki yang bisa menolak pesonaku, Yola. Tidak ada,” katanya dengan suara tertahan, nyaris berbisik. “Ketika hal itu terjadi, kamu akan menyesal sudah menilai aku serendah itu.”“Sonya, apa kamu sudah lupa?” Aku menatap dia dengan prihatin. “Kamu sudah bukan wanita muda berusia dua puluh lima tahun lagi. Kamu sudah empat puluh.” Aku menutup mulut agar tawaku tidak meledak. “Galang pasti akan lebih memilih seorang gadis daripada perempuan bekas.”“Oh, ya? Dia menikahi kamu, mengapa dia tidak akan tergoda deng
Galang mencium aku dengan hati-hati agar tidak mengenai hidungnya, lalu memakai helmnya lagi dengan perlahan. Dia tersenyum saat mengusap-usap kepalaku sebelum pergi menuju kantornya. Ada satu hal aneh yang terjadi. Jantungku berdebar-debar.Sebelumnya, aku tidak begini. Entah mengapa beberapa hari ini aku mengalaminya. Aku juga tidak bisa tidur semalam karena memikirkan ucapannya. Apalagi aku merasa sedikit bersalah setelah tahu dia selalu serius dengan semua lamarannya.“Selamat pagi, Yola!” sapa wanita yang ada di bagian resepsionis.“Selamat pagi!” Aku mendekati dia dan meletakkan bungkusan berisi sekotak roti untuknya. “Ini camilan ala kadarnya untukmu dan rekan-rekanmu.”“Wah, terima kasih! Aku senang kamu bekerja lagi,” ucapnya dengan tulus.Rekan-rekan satu tim menyambut aku dengan wajah bahagia. Mereka bahkan terharu melihat aku kembali. Padahal aku hanya diskors, bukan dipecat atau mengundurkan diri. Setelah memberikan roti bagian mereka, aku memasuki ruanganku.Sebuah buket
“Kami tidak punya hal yang perlu dibicarakan dengan kalian,” ucapku ketus.Bukannya menyingkir, mereka malah tetap berdiri di dekat pintu. “Kita akan bicara, tetapi palingkan wajah kalian. Aku tidak mau ada penyusup lagi di unit kami. Keselamatan istriku yang paling utama,” kata Galang dengan tegas.Oh. Jadi, dia tidak memberikan kode masuk apartemen kepada Sonya, tetapi perempuan ini sendiri yang mendapatkannya entah bagaimana caranya. Dasar perempuan perebut suami orang. Beraninya dia membuat kesan seolah-olah Galang yang mengundang dia datang ke unit ini.Gara-gara fitnahnya itu, Galang mengalami banyak kesusahan. Salah satunya, dia harus merasakan malu berada di tempat umum dengan muka kehitaman. Dia tidak pernah sesedih itu melihat kondisi wajah yang selalu dia banggakan.“Seperti yang pernah aku katakan, kami tidak punya pembantu. Silakan ambil apa saja yang kalian mau yang ada di atas meja.” Aku melihat Sonya yang menatap aku dengan mata arogannya. “Jangan membuka lemari lain y