Share

Mengandung Benih Rafael

Chalista beberapa kali memeriksa kalender menstruasinya, memastikan kalau ia tidak salah hitung. Namun, hasilnya tetap sama. Ia sudah telat haid selama dua minggu.

“Gak! Gak mungkin!” Chalista komat kamit sepanjang perjalanannya keluar kantor. 

‘Ini pasti gara-gara aku stres aja, makanya telat bulan ini,’ gumam Chalista meyakinkan dirinya sendiri. 

Walaupun dia berusaha berpikir positif, tapi Chalista tetap memutuskan untuk pergi ke apotek di dekat kantornya untuk membuktikan dugaannya salah. 

Setelah membeli testpack, gadis itu langsung berjalan menuju ke area kantornya dan mencari toilet di lantai 1. Chalista seakan tak bisa tenang memikirkan semuanya jika tak memastikan sekarang. 

Dengan cepat, ia masuk ke toilet dan memakai testpack itu sesuai petunjuk. 

Jantungnya berdebar sangat kencang, ditambah kondisinya yang memang tidak fit. Seluruh tubuh Chalista seperti dipukuli dua puluh orang. 

‘Kumohon… kumohon… kumohon….’

Chalista terus berdoa sambil menunggu hasil testpack itu. Ia tidak mau ketakutannya itu menjadi nyata. Ia tidak mau membenci dirinya sendiri.

Dan, napasnya tercekat. Tatapannya jatuh ke dua garis merah yang ada di benda yang dia pegang. 

‘Aku… hamil….’ tangan Chalista bergetar. Kejadian kelam malam itu meninggalkan benih pahit di rahimnya.

“Aku pasti salah liat gara-gara sakit!” Chalista masih berusaha menyangkal sambil mengusap air matanya yang entah sejak kapan merembes itu.

Penampilan sudah sangat kacau itu. Peluh menetes di dahinya dan tatanan rambutnya sudah rusak. Chalista terus menggoyangkan dan memukul-mukul testpack itu, berharap kalau benda itu rusak.

‘Ini bohong kan! Benda ini pasti rusak!’ 

Namun, hasilnya tetap tidak berubah.

Chalista menutup mulutnya, berusaha agar suara isakannya tidak terdengar sampai luar bilik toilet. Ia tidak mau orang-orang tahu ada wanita yang hamil anak kakak angkatnya sendiri, sedang menangis di sini.

“Bagaimana bisa ini terjadi padaku?” lirih Chalista, kini berganti menjadi tangis yang langsung meledak. 

Chalista menyandarkan tubuhnya yang lemas itu di toilet itu sambil menjambak rambutnya frustasi. 

Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Alasan kenapa akhir-akhir ini Chalista sering kelelahan dengan mood yang sering berubah-ubah, mual-mual, dan bahkan datang bulannya pun sudah terlambat. 

Semua bukti ini benar-benar menampar Chalista.

Chalista tidak pernah punya pacar ataupun dekat dengan siapapun seumur hidupnya. Semua ucapannya kepada Rafael saat itu hanya kebohongan. Ia hanya tidak mau hubungan mereka berubah.

Dan membuat Chalista melanggar janjinya kepada sang papa angkat.

Tok! Tok! Tok!

“Apa ada orang di dalam?” Suara seorang wanita membuat Chalista terperanjat kaget.

Buru-buru Chalista merapikan penampilannya sendiri dan memasukkan testpack itu sembarang ke dalam tas kecil berisi peralatan make up dan uang, yang selalu ia bawa. Chalista langsung mengusap air matanya dan mengatur ekspresinya. 

Chalista keluar dari toilet dan tersenyum canggung kepada wanita yang ingin memakai toilet itu. Ia melihat sekeliling. Sebelumnya, toilet itu sangat sepi. Entah sejak kapan jadi ramai begini.

Setelah mencuci tangannya, Chalista pun keluar dari toilet. Ia sengaja menata rambut panjang bergelombangnya itu sedikit menutupi sisi wajahnya. Ia tidak mau terlihat habis menangis.

Saat berdiri di depan lift yang ramai, tanpa sadar Chalista menyentuh perutnya sendiri. Pandangannya hanya nanar menatap orang-orang di depan sana. Bagaimana hidupnya setelah ini?

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia hamil anak Rafael, dan pria itu baru saja menikah.

Kemudian, terdengar sedikit keriuhan dari arah lobi. Pandangan karyawan di sana, termasuk Chalista, langsung tertuju pada Rafael yang berjalan beriringan dengan Monika. Sepertinya  Rafael habis makan siang dengan istrinya.

Chalista semakin menekan perutnya dengan mata tidak terlepas dari Rafael. Ia melihat Monika pamit setelah memberikan satu kecupan di pipi Rafael. Pria itu pun tersenyum tipis setelahnya.

‘Mereka terlihat bahagia,’ gumam Chalista dalam hati. ‘Bagaimana bisa kamu muncul ketika ayahmu bahagia dengan wanita lain?’ lanjutnya, tertuju pada janin kecil di perutnya.

Chalista buru-buru mengalihkan pandangannya saat melihat Rafael menyadari keberadaannya. Ia kembali menatap lurus ke depan, dan berharap lift itu cepat terbuka.

Namun, tidak mungkin. Rafael sudah tiba di sebelahnya, bahkan sebelum lift itu terbuka.

“Datang ke ruanganku setelah ini, ada hal yang ingin kubicarakan,” ucap Rafael dengan gaya khas mode CEO nya.

“Baik, Pak,” jawab Chalista dengan suara serak. Lantas, matanya pun membulat, tidak menyangka kalau efek tangisannya tadi masih tersisa.

Ia melirik Rafael, takut kalau pria itu menyadarinya. Dan benar saja, pria itu tengah menatapnya dengan dahi mengernyit bingung. Buru-buru Chalista memalingkan wajah, tidak ingin Rafael melihat wajahnya yang sembab.

“Kamu—”

Belum sempat Rafael bertanya, pintu lift sudah terbuka. Chalista melupakan etikanya dan masuk lebih dulu ke lift itu setelah mencari celah di antara orang-orang itu.

Entah bagaimana caranya, Rafael sekarang bisa berdiri di sebelah Chalista kembali. Itu membuat Chalista tak bisa bernapas dengan tenang. Pria itu seakan-akan menyerap semua energinya, sampai Chalista tak bisa berkutik.  

“Jika kamu sakit, jangan bekerja hari ini,” ucap Rafael pelan dengan nada dinginnya.

Chalista tanpa sadar terus meremas tas kecil yang dia bawa. Perjalanan menuju ke lantai 30 itu terasa begitu lama. 

“Apa kamu tidak menjawabku, Chalista?” Rafael kembali berucap.

Suaranya yang dalam dan dingin itu membuat suasana di lift terasa menegangkan. Para karyawan yang tidak sengaja di situasi canggung itu hanya bisa menunduk. Dan ketika satu per satu mereka sampai di lantai masing-masing, terlihat jelas kelegaan itu.

Sekarang, tinggal Chalista dan Rafael berdua di sana, menuju lantai 30.

“Pulanglah. Kamu tidak perlu bekerja hari ini,” ucap Rafael berikutnya, tanpa menatap Chalista kali ini.

Chalista menelan ludahnya. “Saya baik-baik saja, Pak.”

Terdengar Rafael mendengus kesal. 

Ting!

Chalista menarik napas dalam-dalam, merasa lega kalau mereka sudah sampai di lantai 30. Namun, baru saja ia keluar dari lift, kepalanya tiba-tiba terasa pening. Penglihatannya mulai kabur.

Bruk! 

Chalista hampir pingsan di sana. Ia sudah jatuh, tapi kesadarannya masih tersisa setengah.

“CHALISTA!” 

Chalista bisa mendengar Rafael berteriak memanggil namanya. Namun, tenaganya seperti sudah terkuras. Ia hanya bisa memegang perutnya yang terasa menegang.

‘Oh, tidak!’ Chalista menyadari sesuatu, dan berusaha meraih tas kecilnya yang ikut terjatuh. Ia melihat isi tas itu sudah berserakan.

‘Tidak, Kak Rafael tidak boleh melihatnya,’ gumam Chalista, tapi sungguh ia sudah tidak kuat. Tangannya hanya bisa menggapai, tidak bisa meraih benda itu.

Sebelum pandangannya menggelap, hal terakhir yang Chalista lihat adalah sosok Rafael yang memegang benda kecil berwarna putih-pink itu.

“SIAL!” desis Rafael.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status