“Argghhh kenapa jadi seperti ini…Sayang sadarlah!” pekik Rafael sambil mengangkat tubuh Chalista yang tak sadarkan diri menuju ke mobilnya yang berhenti tak jauh dari sana.
Rafael benar-benar tak paham apa yang terjadi saat ini, tapi pikirannya saat ini hanya fokus bagaimana caranya membawa Chalista menuju ke rumah sakit secepatnya.
Dengan gerakan panik dan cepat, Rafael langsung menaruh tubuh lemas Chalista di kursi depan tepat di sampingnya dan memakaikan sabuk pengaman untuknya.
Rafael berlari menuju ke kursi kemudi, dan pria itu langsung mengemudikan mobilnya denga cepat menuju ke rumah sakit terdekat.
“Sial, apa ada rumah sakit di sekitar sini?” gumam Rafael saat dia melihat betapa sepinya daerah di sini karena memang villanya ada di daerah pegunungan yang tentunya jauh dari kota.
Beberapa kali Rafael mengumpat pelan saat dia merasa panik karena firasatnya sepertinya benar taka da rumah sakit yang dekat di sini,
“Kenapa, sayang? Jangan membuatku khawatir,” tanya Rafael saat melihat wajah syok Chalista yang membuatnya khawatir karena biasanya Chalista tidak membuat ekspresi seperti itu.“Hey..kenapa malah melamun, sih?” tanya Rafael sambil menyentuh bahu Chalista membuat lamunannya sontak buyar. Wanita itu terkejut sambil melamun.“Raf…jadi kemarin pas kamu liat aku di jalan itu kamu dateng dari luar, Raf?” tanya Chalista terlihat sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi.Rafael langsung mengangguk. “Aku hanya masuk sebentar lalu keluar lagi karena melihat mama sudah pergi.” Ucapan Rafael semakin membuat ekspresi kebingugan Chalista kentara sekali. “Sayang..aku sungguh minta maaf, aku…aku emosi karena mendengar ucapan mama mengatakan kau membiarkan Abian masuk ke kamarmu, karena itu aku marah dan langsung masuk ke kamar Monika, sungguh aku tidak melakukan apa-apa dengannya, percayalah,” lirih Rafael dengan wajah lelahnya. Terlihat sekali betapa khawatir Rafael saat ini dan Chalista dapat m
“Hanya itu, aku langsung keluar hendak mecari udara segar waktu itu saat aku pulang, aku sudah menemukanmu terkapar di tengah jalan. Aku sungguh sangat kahwatir, sayang,” lirih Rafael dengan penuh ketulusan dari wajahnya.Sementara itu Chalista semakin yakin ada sesuatu aneh yang terjadi. Pikirannya tenggelam dalam asumsinya sendiri karena awalnya dia pikir Rafael sudah jatuh dijebakan wanita licik itu karena suara desahan itu tapi ternyata pria yang bersama Monika di dalam itu bukan Rafael.Ini sungguh sangat mengejutkan bagi Chalista. Apa jangan-jangan…..Chalista mendadak merinding dibuatnya, dia berpikir apa mungkin selungkuhan Monika itu dari bali? Atau lebih spesifiknya ada di villa itu? Ya, hanya itu kemungkinan yang dapat dia pikirkan.Hanya ada 3 pria di villa itu, Abimanyu, Rafael dan Abian, dan Abian pun sudah pergi sejak tadi dan Rafael sudah menjelaskan semuanya. Dan tidak mungkin orang itu Abimanyu, papanya. Selain itu, apa mungkin penghuni villa?Argh! Chalista sungguh
“S-siapa....” Chalista menegang ketika melihat siluet seorang yang tertimpa cahaya bulan di pojok kamarnya. Suaranya gemetar tanpa bisa ditahan.Wanita berusia 23 tahun itu baru saja pulang dari Indonesia malam ini dan langsung masuk ke dalam kamarnya di lantai 3 untuk merebahkan diri. Ia tidak peduli dengan lampu kamar yang tidak mau menyala.Namun, apa yang ada di kamarnya itu? Hantu? Atau pencuri?Ting!Chalista semakin menegang ketika mendengar suara dentingan gelas, atau botol? Yang jelas, itu suara benda terbuat dari kaca. Napas berat seseorang pun terdengar samar-samar.Dengan gerakan cepat, Chalista hendak berlari keluar ruangan dan berteriak sekencang mungkin, tapi dirinya terlambat. Sosok itu, yang diketahui Chalista sebagai seorang pria, sudah menarik tangannya lebih dulu.“Tol—"Brak!“AKHH!!!”Pria itu menghimpit Chalista tepat di ambang pintu hingga pintu itu tertutup rapat kembali. Napas gadis itu menjadi tidak teratur dan jantungnya hampir copot.“Akhirnya kamu datang,
“Raf, kamu di dalem, kan? Udah siang, bangun!” mamanya kembali memanggil dari balik pintu. “Kamu harus fitting baju sama Monika hari ini, inget kan?”Rafael menoleh ke arah Chalista sejenak.“Kamu tunggu dulu, jangan ke mana-mana,” Rafael berucap sambil memakai bajunya yang berserakan di lantai. “Kita akan membahas ini lagi setelah aku mengurus Mama. Aku janji.”Saat Rafael berjalan menuju pintu, saat itulah Chalista melihat noda darah di kasur berseprai abu-abu milik Rafael. Itu… darah keperawanannya.‘Aku benar-benar sudah dinodai kakak angkatku sendiri… terlebih dia yang memaksaku.’ Chalista menutup mulutnya sambil terisak, khawatir sang mama mendengar suaranya dari luar.“KAMU MABUK LAGI, IYA KAN?!” suara bentakan khas Mayang, mama tirinya terdengar sampai ke dalam kamar. “Sudah berapa kali Mama bilang, berhenti melakukan kebiasaan buruk kamu itu!”Calista kembali menegang, takut tiba-tiba wanita paruh baya itu menerobos masuk ke dalam. Namun, mendengar suara tenang Rafael setelah
Dua hari berlalu.Hari ini adalah pernikahan Rafael, tapi pria itu tak mengatakan apa pun semenjak kejadian itu. Chalista juga selalu menghindar ketika Mayang menyuruhnya untuk kumpul dengan alasan jet lag.Setelah semua anggota keluarga siap, mereka pun berangkat ke hotel tempat acara berlangsung. Untungnya, Chalista tidak perlu semobil dengan Rafael. Jadi, ia tidak perlu pura-pura melupakan kejadian malam itu.Chalista tak tau bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya hari ini. Semuanya terasa campur aduk, entah sedih, kecewa, atau bahagia.Prosesi pernikahan berjalan lancar. Rafael sekarang resmi menjadi suami Monika Wardana, putri cantik dari keluarga konglomerat itu. Setelah acara resepsi tersebut, kedua keluarga memutuskan untuk makan malam yang lebih private. Dan sekarang di sinilah Chalista, duduk dengan perasaan terpaksa di seberang Rafael dan Monika, yang tampak seperti raja dan ratu malam itu.‘Bagaimana bisa aku menggantikan Kak Monika yang elegan itu?’ lirih Chalista d
Setelah makan malam yang sangat menguras tenaga itu, Chalista langsung bergegas menuju ke kamar hotel yang telah di pesan untuknya. Dia bersumpah tidak akan ikut lagi jika ada acara keluarga seperti itu. Namun, saat Chalista hendak membuka pintu kamar hotelnya, sebuah suara berat dari pria membuatnya berhenti. “Chalista!”Gadis itu langsung berbalik badan saat suara berat yang agak serak itu memanggilnya. Ia melihat papa angkatnya datang dari arah berlawanan. Bukankah tadi dia di bawah?“Iya, Pa?” jawab Chalista sambil tersenyum, sebisa mungkin menyembunyikan kekhawatirannya.“Ikut saya,” titah Abimanyu tanpa menunggu jawaban Chalista.Pria paruh baya itu langsung berjalan mendahului Chalista, ke sebuah kamar hotel suite yang ada di lantai yang sama. Seorang sekretaris pria menunggu di belakang Chalista, seolah memperingatkannya untuk tidak kabur.Wanita itu meremas ujung kebaya yang dia pakai karena tegang. Ini akan menjadi kali pertamanya dia berbicara dengan papa angkatnya setel
Chalista terkesiap karena tiba-tiba pria itu berbicara santai dengannya.“Saya baik,” jawab Chalista cepat, berusaha tidak terpengaruh.“Kamu tidak perlu berbicara formal denganku jika hanya ada kita berdua,” titah Rafael.“Tidak bisa, Pak. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya? Itu pasti akan terdengar tidak sopan.” Chalista masih mempertahankan sikap profesionalnya.Terdengar Rafael mendengus, tapi tidak menanggapi jawaban Chalista tersebut. Pria itu malah melempar pandangan ke laptop di depannya.Aura yang dipancarkan Rafael sangat dominan hingga membuat Chalista merasa terancam. Sejak dulu, Rafael memang sudah dipersiapkan menjadi CEO di perusahaan Adijaya. Namun, kini adalah kali pertamanya Chalista melihat sendiri aura pemimpin yang dipancarkan Rafael.Keheningan ini membuat Chalista canggung. Rafael tidak berbicara lagi setelah itu. Akhirnya, Chalista berinisiatif terlebih dulu, “Jika, Pak Rafael perlu sesuatu, silakan hubungi saya lewat interkom. Permisi, Pak.”Chalista ingin
Chalista beberapa kali memeriksa kalender menstruasinya, memastikan kalau ia tidak salah hitung. Namun, hasilnya tetap sama. Ia sudah telat haid selama dua minggu.“Gak! Gak mungkin!” Chalista komat kamit sepanjang perjalanannya keluar kantor. ‘Ini pasti gara-gara aku stres aja, makanya telat bulan ini,’ gumam Chalista meyakinkan dirinya sendiri. Walaupun dia berusaha berpikir positif, tapi Chalista tetap memutuskan untuk pergi ke apotek di dekat kantornya untuk membuktikan dugaannya salah. Setelah membeli testpack, gadis itu langsung berjalan menuju ke area kantornya dan mencari toilet di lantai 1. Chalista seakan tak bisa tenang memikirkan semuanya jika tak memastikan sekarang. Dengan cepat, ia masuk ke toilet dan memakai testpack itu sesuai petunjuk. Jantungnya berdebar sangat kencang, ditambah kondisinya yang memang tidak fit. Seluruh tubuh Chalista seperti dipukuli dua puluh orang. ‘Kumohon… kumohon… kumohon….’Chalista terus berdoa sambil menunggu hasil testpack itu. Ia ti