Share

Chalista Hamil?

Chalista terkesiap karena tiba-tiba pria itu berbicara santai dengannya.

“Saya baik,” jawab Chalista cepat, berusaha tidak terpengaruh.

“Kamu tidak perlu berbicara formal denganku jika hanya ada kita berdua,” titah Rafael.

“Tidak bisa, Pak. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya? Itu pasti akan terdengar tidak sopan.” Chalista masih mempertahankan sikap profesionalnya.

Terdengar Rafael mendengus, tapi tidak menanggapi jawaban Chalista tersebut. Pria itu malah melempar pandangan ke laptop di depannya.

Aura yang dipancarkan Rafael sangat dominan hingga membuat Chalista merasa terancam. Sejak dulu, Rafael memang sudah dipersiapkan menjadi CEO di perusahaan Adijaya. Namun, kini adalah kali pertamanya Chalista melihat sendiri aura pemimpin yang dipancarkan Rafael.

Keheningan ini membuat Chalista canggung. Rafael tidak berbicara lagi setelah itu. 

Akhirnya, Chalista berinisiatif terlebih dulu, “Jika, Pak Rafael perlu sesuatu, silakan hubungi saya lewat interkom. Permisi, Pak.”

Chalista ingin cepat keluar dari tempat ini.

“Tunggu!” tahan Rafael.

‘Sial!’

Chalista membalikkan tubuhnya saat Rafael kembali memanggilnya. Pria itu kini berdiri dari posisi duduknya, dan berjalan mendekat ke arah Chalista. Wanita itu refleks memundurkan langkahnya.

“P-Pak… apa yang Anda mau… Akhh!” Punggung Chalista membentur tembok karena Rafael terus mendekat ke arahnya. 

Pria itu menatap nyalang wajah Chalista dan menaruh kedua tangannya di antara tubuh Chalista hingga gadis itu terkurung sepenuhnya. Bahkan saat menggunakan heels setinggi 7 senti, Chalista tetap tidak bisa menyaingi tinggi Rafael yang menjulang itu.

“Pria yang kemarin itu pacarmu?” tanya Rafael dengan suara beratnya tepat di telinga kanan Chalista. 

Chalista memalingkan wajahnya saat napas Rafael membentur pipinya. “Itu bukan urusan Anda, Pak!”

“Berhenti berbicara formal padaku, Cha….” bisik Rafael.

Chalista hampir luluh, tapi ia mengepalkan tangannya untuk tetap bertahan. “M-maaf, Pak. Ini masalah pribadi, tidak pantas dibahas di kantor.”

Chalista pikir, jawabannya itu bisa membuat Rafael menjauhkan tubuhnya. Namun, pria itu malah semakin menghimpit tubuh Chalista.

“Itu menjadi urusanku, karena dia memacari adikku,” jawab Rafael, membuat Chalista mengernyit bingung. 

Bukankah Rafael tak pernah menganggap Chalista sebagai adiknya selama ini?

Chalista mendengus, lalu mendorong dada Rafael menjauh. Kali ini, ia benar-benar muak dan melupakan sikap profesionalnya yang dipertahankan sejak tadi.

“Aku sudah dewasa, kamu gak perlu ikut campur soal itu,” ucap Chalista ketus.

Rafael tidak menjawab, tapi Chalista bisa melihat urat leher pria itu menegang. Chalista tahu, kalau Rafael sedang marah sekarang karena Chalista melawannya.

Chalista berdeham, dan kembali berbicara formal pada pria itu, “Saya permisi, Pak. Silakan hubungi lewat interkom jika butuh sesuatu,” ucapnya sebelum melangkah keluar dari ruangan itu dengan cepat.

***

Setelah hari itu, Rafael seperti menyiksanya dengan setumpuk pekerjaan yang tidak berhenti setiap harinya. Ia bahkan bisa lembur seminggu penuh karena laporan ini-itu. Chalista juga sering kali mengikuti Rafael rapat di luar kantor, dan menemui beberapa klien.

Hal itu menyebabkan kondisi tubuh Chalista menjadi tidak karuan. Wanita itu jadi cepat lelah, bahkan sampai muntah-muntah. Waktu tidurnya terganggu, begitu juga nafsu makannya.

Seperti saat ini. Di saat karyawan yang lain menikmati makan siangnya, Chalista hanya duduk di mejanya. Kepalanya direbahkan di atas meja karena pusing. Sepertinya ia akan flu.

“Cha, kamu kenapa sih lemes aja dari kemarin aku lihat?” suara cempreng Sonya, rekan sesama sekretarisnya tak mampu membuat Chalista sedikit menoleh sedikit pun. 

Masih merebahkan kepalanya, ia berucap dengan bibir yang cukup pucat, “Kecapekan aja aku, Nya. Mau istirahat dulu sebentar.”

“Mau kubelikan makan siang di kantin, nggak?” tawar Sonya kemudian.

“Nggak perlu, Nya.” Chalista mengibaskan tangannya. “Kamu makan duluan aja, aku masih punya cokelat dan susu di laci, kok.”

Ya, selain nafsu makannya berubah, Chalista juga jadi lebih suka makanan manis. Sejak minggu kemarin, ia selalu menyetok cokelat atau permen jelly di laci meja kerjanya.

“Oke deh, kalau begitu,” ujar Sonya akhirnya. 

Lalu sebelum pergi, Sonya menepuk pundak Chalista. “Kamu yang sabar, ya. Pak Rafael itu orangnya emang super kejam. Aku pernah dengar, ada sekretaris yang baru kerja 6 jam sama dia, udah langsung mengundurkan diri.” 

Chalista hanya terkekeh, walaupun dalam hati membenarkan ucapan Sonya. Bukan kejam, mungkin… Rafael hanya dendam padanya.

Adegan malam itu kembali terlintas di kepalanya, membuat Chalista tiba-tiba merasa mual. Seketika, ia menutup mulutnya dan mengangkat kepalanya dari meja. Perutnya terasa bergejolak.

“Cha, kamu gapapa?” tanya Sonya khawatir.

“Nggak—hoek!” mual itu semakin menjadi-jadi, membuat Chalista pun terpaksa meninggalkan mejanya dan pergi menuju toilet.

Di dalam toilet, ia mencoba memuntahkan rasa mual itu, tapi tidak ada yang keluar. Hanya air liurnya saja. Kepala Chalista semakin berdenyut. Ia akhirnya berjalan menuju wastafel untuk membersihkan mulutnya.

“Cha? Kamu sakit?” Sonya tiba-tiba muncul di toilet, dan memeriksa dahinya. “Badan kamu agak, mending kamu izin aja deh sama Pak Rafael hari ini.

Chalista menggeleng, berusaha mengatakan dia baik-baik saja, ketika ponsel di sebelah wastafel itu bergetar. Mamanya menelepon.

Chalista  yang masih berusaha menahan pusing dan mual itu hanya melihat panggilan dari mamanya tanpa berniat untuk menjawab. Pikirannya sangat mumet hingga merasa dia tak bisa berbicara dengan siapa pun saat ini. 

Panggilan itu pun berhenti dan Chalista langsung mengernyit ketika melihat tanggal yang ada di ponselnya. Seketika, Chalista meraih ponselnya dengan cepat.

‘Tanggal… 30?’ gumamnya dalam hati. Bulan Juni sudah mau berakhir. ‘Tidak mungkin, kan….’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status