“Ayo pergi!”Deniz menarik tangan Marissa tanpa aba-aba. Gadis bermata coklat itu terkejut, ia pun beranjak dari tempat duduknya. “T-Tapi ….” Marissa berusaha untuk menarik diri, ia menoleh pada kedua orang tuanya yang bertampang sama dengannya—bingung.“Kamu masih mau menerima kehadiran mereka? Setelah apa yang dilakukannya padamu?” ia mencekal pergelangan tangan Marissa dengan erat. Dipandangnya wajah sang istri dengan ekspresi penuh tanda tanya.“Apa?!” Marissa melebarkan kelopak matanya, pandangan mereka tertahan hingga beberapa detik. “Mana bisa begitu? Dia putri kami, kamu tidak bisa berbuat semaumu. Lepaskan dia! Atau aku akan memanggil petugas keamanan di sini,” ujar tuan Sawyer mengarah pada, Deniz.“Dia istriku! Seharusnya dia menurut dengan apa yang aku inginkan sekarang,” jawab Deniz yang menyangkal perkataan kedua orang tua, Marissa.“Kau! Beraninya kau membantah semua ucapanku,” tunjuk tuan Sawyer yang memicu perhatian sekitar kembali.Banyak pasang mata memperhatikan
DUG!Tubuh Deniz terjengkang ke belakang. Pria yang tidak siap dengan serangan mendadak dari Marissa itu terhuyung hingga jatuh ke bawah lantai. Deniz memegang area sensitif di sekitar dua pangkal pahanya. Ia merasakan sakit yang begitu menyengat hingga ke puncak ubun-ubun."Kamu," jari telunjuk Deniz diacungkan pada Marissa yang kini merubah posisinya. Gadis berambut coklat keemasan itu duduk di atas ranjang dengan menutup mulutnya yang terbuka lebar.Kamar bergaya modern minimalis itu terkesan luas dengan kaca jendela yang dibiarkan terpampang pada sebaris sudut ruang. Sinar matahari leluasa menerobos masuk melewati sela gorden dan kini menimpa pada sebagian sisi tubuh, Marissa. Terlihat siluet indah menempa dinding tembok, menggambarkan situasi perasaan Marissa kala itu. “S-Sorry,” Marissa merasa tidak enak hati, ia melihat Deniz tengah mengelus bagian belakang tubuhnya yang terasa sakit.“M-Maaf soal yang itu. A-Aku tidak mencantumkan hal itu dalam tawaran pernikahan kita. Sunggu
“Sebenarnya, apa arti pernikahan yang kamu inginkan? Kenapa kamu mempermainkan aku seperti ini?” Deniz pun tak mau mengalah, ia menyerang balik istrinya hingga tidak bisa menjawab. “D-Deniz, kenapa kamu jadi sensitif seperti ini?” Marissa tertawa kecil, ia menggeleng pelan. Seperti dugaan Deniz, Marissa benar-benar mempermainkan perasaannya. “Jika kamu masih menganggapku, pakai gaun itu! Ada kejutan untukmu,” Gadis itu mengernyit, ia melirik ke arah gaun yang dimaksud oleh suaminya. Tapi sebuah kejutan yang dikatakan oleh Deniz, membuat Marissa memajukan tubuhnya yang semula bersandar di sofa yang empuk. “Kejutan? Untukku ….?” Marissa menunjuk dirinya sendiri, tepat di depan dada. *** Keduanya berjalan saling beriringan. Marissa melingkarkan tangannya pada lengan, Deniz. Semua mata tertuju pada pasangan yang nampak serasi itu. Mereka membelah barisan para tamu yang seolah tumpah ruah di bawah gemerlapnya sorot lampu dan iringan musik klasik. Deniz menepuk pelan punggung tangan
“A-Apa maksudmu? K-Koruptor?” wajah Marissa terangkat dengan kedua alisnya yang saling bertautan.“Kau. Jangan sembarangan bicara!” tunjuk Deniz dengan ekspresi yang tidak menyenangkan.“Tau apa kamu, Deniz? Kamu hanya orang luar yang sok tahu mencampuri urusan kami,” balas Kevin dengan menunjuk balik pada pemuda di hadapannya itu.Pesta di malam itu, seharusnya berjalan dengan meriah. Sebuah pesta yang seharusnya menjadi pesta terindah dalam hidup, Marissa. Ya! Hari ini seharusnya menjadi pesta pernikahan dirinya dengan Kevin, andai saja dia tidak menangkap basah pria itu berselingkuh dengan adik angkatnya sendiri.“Aku tahu, meski kalian menyembunyikan kebenaran itu di sarang semut sekalipun.” Jawab Deniz dengan sorot mata yang dingin. Ia memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana. Deniz menegaskan pada mantan tunangan istrinya, jika ia tidak akan membiarkan mereka menyembunyikan apapun. Deniz akan mengejarnya untuk mengembalikan kehormatan istrinya.Prok, prok, prok ….Tepuk t
“Aku akan membunuhmu setelah ini, Deniz!” teriak Marissa dengan terengah-engah. Ia tidak memperhatikan arah jalan, gadis itu terus berlari hanya menggunakan insting.Meski terasa kehabisan napas. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri dari kejaran anak buah, Kevin. Marissa dan Deniz melewati sebuah gang kecil tanpa menghiraukan genangan air di beberapa bagian jalan.“Y-Ya! kamu boleh melakukan apapun padaku jika kita selamat,” Deniz tetap menggenggam tangan Marissa, ia tidak melepaskan sedetik pun.Dengan lincahnya Marissa berhasil melompati sebuah pipa yang tergeletak di tengah jalan. Ia mengangkat gaunnya tinggi-tinggi. Dengan lihainya ia berusaha mengimbangi langkah lebar dari sang miliarder yang kini membawanya pergi—Deniz Ansel Ghazy.“Shit! Tutup mulutmu, Deniz!” bahkan Marissa tidak menyadari jika saat ini kedua kakinya tidak mengenakan sepatu. Yang ada dalam pikiran gadis itu hanyalah lari, lari dan lari sejauh mungkin.“Hei! Berhenti disana!” teriak salah satu pria yang mas
Marissa menundukkan kepala, dahi gadis berusia 27 tahun itu berkerut seiring dengan kedua alisnya yang menyatu. Ia melihat rembesan darah pada perban yang membungkus luka di tangan, Deniz.“Kenapa?” tiba-tiba saja Deniz membuka mata setelah ia berhasil terpejam beberapa saat.“Ah, tidak. M-Maaf sudah mengganggu,” Marissa menarik diri, ia kembali duduk di sebelah pria itu.“Aku tertidur? Sudah berapa lama? Apa kita masih di jalan?” rentetan pertanyaan itu diajukan Deniz sambil membetulkan letak duduknya.“Y-Ya. Kita masih di jalan,” jawab Marissa sambil melihat sekeliling. Ia menajamkan penglihatannya ke arah luar jendela mobil.“Hem, syukurlah. Apa kamu baik-baik saja?” Deniz melihat Marissa seperti orang yang linglung.“Kamu terluka?” Deniz menyentuh ujung bibir Marissa yang terlihat lebam, ada tetesan darah yang hampir mengering.“Awh!” pekik Marissa saat jari Deniz menyentuhnya dengan tba-tiba. Marissa segera memundurkan wajahnya untuk menjaga jarak.“Sorry. Sakit, ya?” Deniz sedik
“Dari mana kamu tahu jika aku sudah tidak tinggal di penthouse?” Marissa membawa secangkir kopi untuk rekan kerjanya, Joshua.“Deniz yang memberitahumu?” ia meletakkan cangkir keramik berwarna hitam glossy di depan pria berambut keriting tersebut.Joshua memanyunkan bibirnya, lalu mengedikkan bahu. Pria muda berpostur 175 centimeter dan berperawakan kurus itu lebih fokus menyeruput kopinya daripada menjawab pertanyaan dari, Marissa.“Kamu itu, di sini mau numpang sarapan apa mau ngasih info sih?” Marissa mendengus kasar, lalu ia mengalihkan pandangan ke arah kolam renang. “Memangnya apa yang ingin kamu ketahui, Marissa? Lihatlah si tampan itu, dia sudah memperlakukanmu dengan baik.” Ujar Joshua meletakkan cangkirnya kembali di atas meja.“Ck ….!” mulut Marissa berdecak, ia memutar bola matanya dengan malas.“Mereka akan menikah,” Joshua pun membuka suara. “Mantan tunanganmu itu, sudah menghamili adikmu.” Joshua kembali melanjutkan kalimatnya, ia menoleh dan memanyunkan bibirnya den
“Jangan meracuni otak, Joshua! Dia teman baikku,” Marissa menyilangkan kedua tangannya, ia menatap Deniz yang mengekor di belakang tubuhnya sejak kepergian Joshua. “Siapa? Aku? Ngapain ….?” elak Deniz yang menyangkal ucapan istrinya. Deniz melihat gadis itu lebih manis dari biasanya, skinny jeans dipadu dengan atasan lengan pendek sangat pas di tubuh Marissa yang ramping. “Dia anak baru kemarin, Sayang. Aku mengenalmu lebih lama darinya,” goda Deniz yang kini duduk di tepi ranjang berukuran king. Desain kamar tidur yang bertemakan Amerika klasik itu terlihat sangat nyaman, apalagi Deniz menyediakan satu set meja kerja untuk Marissa. Siapa tahu, gadis itu merindukan perusahaan konstruksinya. Marissa bisa menumpahkan jiwa working holicnya di sana sewaktu-waktu. “Ish, sayang ….? Mana ada sayang di sini?” ia mendecih, lalu melengos ke arah lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ayahmu? Sudah lama kamu tidak menjenguknya setelah ….” Marissa menghentikan ucapannya, ia melihat perubaha